Luka Chandra

240 31 3
                                    

Raina duduk termenung ditaman rumah sakit, penghujung musim semi yang seharusnya ia nikmati karena pemandangan indah tapi terasa hampa sekarang.

Chandra sendiri duduk diam disamping Raina dan masih enggan untuk memulai pembicaraan. Raina pun hanya menunggu hingga laki-laki itu siap bercerita, rasanya baru kali ini Raina lihat Chandra lebih rapuh daripada saat kehilangan Ibunya.

"Masih inget nggak Rain waktu gue bilang Rehan itu udah terlalu banyak melewati ambang kematian?" Chandra mulai membuka percakapan dan Raina hanya berdeham singkat.

Bagaimana Raina bisa lupa? Laki-laki yang dia rindukan belum bangun hingga sekarang.

"Masih inget nggak waktu jaman kuliah dulu Rehan juga sering ngilang. Dan gue juga bakalan ikut ngilang biar kalian nggak curiga tentang hal lain." Lagi-lagi Raina hanya membalasnya dengan deheman samar.

"Rehan punya penyakit jantung bawaan Rain, lo sendiri juga udah tahu cerita tentang orang tuanya. Dulu waktu hamil Rehan, Mamanya suka minum-minum, suka ngerokok dan hal buruk lainnya. Dan itu adalah upaya buat gugurin Rehan waktu itu. Ibu gue sendiri yang berusaha cegah Tante Sara buat nggak gugurin walaupun akhirnya dia ngelampiasin ke cara lain. Rehan lahir dengan selamat tapi harus nanggung beban seumur hidup dari kesalahan orang lain." Chandra terdiam, menghirup nafas sedalam-dalamnya.

Kembali menceritakan masa lalu Rehan adalah hal terberat bagi Chandra, pasalnya ia sendiri selalu berada di sisi Rehan bahkan di saat masa sulitnya.

"Chan, apa Rehan juga menderita hemofilia?" Raina sudah penasaran sejak tadi, pasalnya Chandra tadi sempat berkata tentang pendarahan saat mereka tiba.

"Hmm, keturunan dari gen Mamanya. Kenapa Rehan harus menanggung beban seberat ini bahkan saat dirinya baru aja terlahir. Gue sendiri lihat bagaimana cara dia bertahan sampai sejauh, bagaimana saat dia hampir menyerah dan pergi. Dulu gue cuma bisa lihat dia kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa. Kali ini gue bener-bener nggak sanggup, meskipun gue sendiri yang nangani dia. Gue nggak sanggup setiap dia drop, tapi kalau bukan gue siapa lagi yang bisa nopang Rehan?"

"Chan, kalau transplantasi gimana? Di sini kan salah satu rumah sakit yang tingkat keberhasilan transplantasinya terbaik."

Chandra menggeleng lemah, "Donornya udah ada tapi pihak keluarganya belum ngasih ijin buat si pendonor. Dia dirumah sakit ini juga, mengalami mati otak dan udah hampir 2 tahun koma. Tapi pihak keluarga belum mau buat ngelepasin si pendonor."

Hening.

Dua orang itu membiarkan semilir angin menerpa wajah sayu mereka. Pikiran mereka berkelana memikirkan kondisi seseorang yang mereka sayangi tengah berjuang sendirian.

"Sebagai dokter lo pasti juga tahu kan Rain. Bahwa persentase kemungkinan Rehan buat sembuh itu kecil." Jujur saja Chandra sebenarnya sama beratnya untuk mengungkapkan hal ini. Karena sebagai dokter yang menangani Rehan mau tidak mau Chandra harus menyampaikannya.

"Lo yang paling tahu kondisi Rehan saat ini, Chandra. Gue tahu lo mau bilang apa, tapi gue mohon. Tolong berusaha buat Rehan sembuh atau paling tidak dia sadar dulu walaupun kemungkinannya cuma 1%." Raina menahan tangisnya.

"Gue juga berat Raina, gue berat disatu sisi gue harus profesional sebagai dokternya dia tapi disisi lain gue nggak sanggup buat lihat dia yang kayak gini. Gue cuma bisa berusaha semampunya tapi takdir tetap Tuhan yang menjalankan." Chandra bergumam lirih tapi masih bisa didengar Raina dengan sangat jelas. "Gue juga nggak bisa terus-terusan nahan Rehan di sini dengan alat-alat itu. Dia kesakitan, Rain." Lanjutnya.

Chandra menepuk kepala Raina pelan, "Lo harus kuat, biar Rehan juga semakin kuat. Gue suruh Sofia buat nemenin lo makan ya di kantin. Jangan nyiksa diri sendiri Rain, Rehan pasti nggak suka liat lo yang kayak gini."

Hai, Rain || HUANG RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang