Dari Jauh

180 29 0
                                    

Raina sedang duduk termenung di kantin rumah sakit, sudah hampir setengah jam gadis itu melamun dan membiarkan es americanonya semakin mencair. Sedangkan Jeno dan Nathan yang duduk dihadapan Raina hanya memandang gadis itu bingung.

"Heh, lo kenapa sih daritadi ngelamun?" tanya Nathan kesal karena nyawa Raina seolah sedang terlepas dari raganya.

"Raina?" panggil Jeno melambaikan tangannya didepan wajah Raina, karena gadis itu tidak menanggapi pertanyaan Nathan.

"Raina!" teriak Nathan tepat dihadapan gadis itu dan membuatnya terlonjak kaget. Suara Nathan cukup menarik perhatian orang yang sedang berada dikantin.

"Apa?! Ngapain sih teriak-teriak, gue nggak budek." seru Raina sewot membuat Nathan harus mencari kembali kesabarannya untuk kembali berbicara.

"Ya lo emang budek, kita panggil daritadi nggak nyahut. Kesambet setan kamar mayat tahu rasa lo." balas Nathan tak kalah sewot membuat Raina mendengus sebal.

"Lo kenapa sih? Tumbenan ngelamun nggak sadar tempat. Untung lo tadi diruang operasi sama gue, coba kalau sama dokter Kris, udah disembur habis-habisan lo." ucap Jeno menyela Nathan yang tadinya masih ingin mengomeli Raina.

Memang sejak tadi pikirannya tidak fokus, bahkan diruang operasi dia masih sempat melamun. Bersyukurnya karena Jeno yang menjadi partnernya.

"Ada masalah?" Nathan bertanya. Karena memang Raina akan diam jika ia sedang banyak pikiran.

Raina menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Bibirnya kelu, kalimat yang ingin ia sampaikan hanya mampu tertahan ditenggorokan. Menurutnya berbicara mengenai Rehan adalah sesuatu hal yang sensitif. Otaknya masih mengingat dengan jelas kejadian beberapa jam yang lalu.

"Rehan." satu kata meluncur dari bibir Raina dengan suaranya yang tercekat, membuat Jeno dan Nathan saling pandang bingung dengan maksud Raina.

"Rehan, g-gue ketemu Rehan. Ah b-bu-bukan, tapi seseorang yang mirip Rehan." Akhirnya dengan susah payah Raina menyelesaikan kalimat yang ingin ia utarakan pada dua sahabatnya itu.

Jeno dan Nathan tentu saja terkejut bukan main, mereka berdua saling pandang lagi hanya untuk berkomunikasi lewat tatapan mata.

"Tapi dia bilang bukan, memang sepertinya bukan sih. Tapi matanya itu mata Rehan banget. Gue nggak mungkin salah, itu mata Rehan." Lanjut Raina membuat Jeno dan Nathan kembali memandangnya, gadis itu terlihat kalut sendiri.

Ya. Mata itu. Mata laki-laki yang bertabrakan dengannya tadi memang seperti mata Rehan. Raina sangat yakin walaupun laki-laki itu menutup wajahnya dengan masker tapi matanya terlihat jelas. Walaupun sudah 5 tahun berpisah, Raina tidak akan mungkin melupakan bagaimana rupa Rehan barang seinci pun, terutama bagian matanya.

Mata yang dulu selalu menatapnya lembut, mata yang selalu menatapnya khawatir jika dirinya sedang tidak baik-baik saja, mata yang selalu menenangkan Raina jika ia gelisah. Mata yang membuatnya merasa dicintai, merasa diperlukan, merasa dihargai. Tidak mungkin Raina melupakannya.

"Lo liat dimana?" tanya Jeno penasaran.

"Ditaman depan rumah sakit deket gedung yang lagi dipakai buat pameran itu. Gue nggak sengaja nabrak dia, tapi setelah gue liat matanya.... Astaga, masa gue halusinasi lagi!" pekiknya tertahan mengacak rambutnya ftustasi.

Nathan dan Jeno dengan sigap menghentikan tangan Raina yang sedang mengacak rambutnya sendiri sebelum gadis itu bertindak lebih jauh. Lihat sekarang rambut gadis itu berantakan.

"Nggak mungkin itu Rehan." Jawab Jeno sebisa mungkin mengendalikan kegugupannya.

"Ya itu nggak mungkin Rehan. Masa iya Rehan hidup lagi, bangkit dari alam kubur dong." timpal Nathan mencoba mencairkan suasana

Hai, Rain || HUANG RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang