Dia sadar

235 33 12
                                    

Dua bulan sudah mereka berada di London. Raina mengambil cuti untuk pekerjaannya, ia tidak peduli jika saja harus dipecat. Dan sahabatnya yang lain pun juga terlihat tidak keberatan menetap di London selama ini.

Dua bulan juga Rehan belum mau membuka matanya, laki-laki itu masih terlelap damai dalam mimpinya.

"Kita balik ke penthouse Rehan dulu ya Rain. Sekalian ngambilin baju lo." pamit Amira sambil mengepak beberapa pakaian kotor miliknya dan juga milik yang lain.

"Chandra sama Sofia ada diruangannya kalau lo butuh apa-apa." Freya menimpali dan memeluk Raina sebentar.

"Hm. Lagian kak Mark sama Jifan juga ada kok. Kalian istirahat aja."

"Kita pamit dulu ya Rain." Raina hanya mengangguk singkat sebagai persetujuan untuk kedua pasangan itu kembali ke apartement Rehan.

Ruangan itu kembali hening. Hanya ada Raina yang terjaga hingga larut malam, sedangkan kak Mark dan Jifan sudah terkapar diruangan samping yang memang khusus untuk orang yang menunggu pasien.

Keadaan Rehan memang stabil untuk saat ini, tapi sempat beberapa kali juga mengalami kejang. Raina cukup bersyukur karena Rehan masih mampu bertahan walaupun dalam keadaan koma.

Raina masih berharap ditengah lautan putus asa saat melihat kedua mata itu masih terpejam rapat.

"Sayang, masih nggak mau bangun ya? Aku sampai bolos kerja cuma buat nemenin kamu loh." Mengusap pelan tangan Rehan yang tidak diinfus. Menempelkannya pada sebelah pipinya berharap dengan cara seperti itu Rehan mampu merasakan kehadirannya.

"Kamu tahu nggak aku selalu mimpi buruk selama 5 tahun karena nggak ada kamu. Kalau aku berhari-hari nggak bisa tidur, akhirnya aku maksa anak-anak buat ikutan nginep di studio kamu dan anehnya aku bisa tidur nyenyak tanpa mimpi apapun." Raina menghirup nafas dalam-dalam seolah oksigen disekitarnya menipis.

"Aku nggak akan marahin kamu kok Re. Jadi jangan takut buat bangun ya. Janji aku nggak akan marah sama kamu." Air mata Raina tiba-tiba mengalir begitu saja tanpa bisa ia cegah.

Hatinya pilu, rasa sesak mememenuhi setiap rongga dadanya. Harusnya Raina sadar lebih awal sejak ia menemukan obat itu, harusnya Raina siap dengan kemungkinan buruk yang ada.

"Tidur Rain. Jangan nangis, Rehan nggak akan suka. Nanti gue yang dimarahin, kita yang dimarahin kalau lo nangis." Suara Mark tiba-tiba memenuhi ruangan itu.

"Hmm." Raina hanya membalas sekenanya. "Gue belum ngantuk kak."

Mark mendekat kearah ranjang Rehan, mengusap pelan kepala Rehan. "Re, kalau bukan karena Raina aku nggak bakalan tidur di sini buat nemenin kamu. Jadi kamu harus cepetan bangun."

Raina hanya diam masih menangkupkan wajahnya dilekukan lengannya, Mark sendiri membiarkannya karena ia tahu dengan menangis mungkin perasaan Raina akan sedikit ringan.

"Gue mau ke tempat Chandra dulu. Mau sekalian cari makan. Lo mau makan lagi nggak Rain?" Tawar Mark sebelum beranjak dari tempatnya berdiri.

"Nggak kak, minum dingin aja." Jawab gadis itu parau masih dengan wajah yang disembunyikan dilekukan lengannya.

"Aku tinggal dulu bentar ya Re." Mark tetap saja pamit ke Rehan meskipun ia tahu tidak akan ada jawaban. "Jifan juga ikut gue Rain. Nanti kalau ada apa-apa langsung telfon aja."

Seperginya Mark, Raina masih menyembunyikan wajahnya bahkan kini dengan suara tangis lebih kencang. Hingga akhirnya tertidur dalam posisi duduk dan wajah sembab.

Tepat setelah beberapa saat Raina tertidur tiba-tiba saja jemari Rehan bergerak dengan pelan, matanya terlihat sedikit terbuka dengan perlahan. Rehan kembali memejamkan matanya mencoba menyesuaikan cahaya yang berlomba masuk menusuk retinanya.

Hai, Rain || HUANG RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang