Feeling

224 32 4
                                    

Rehan dan Raina sedang berjalan-jalan ditaman rumah sakit. Sebenarnya Chandra tidak memperbolehkan Rehan untuk keluar dulu mengingat kemarin tubuhnya sempat demam tapi Rehan memaksa dengan alasan bosan dan ingin mencari udara segar, pada akhirnya Chandra yang memang tidak bisa berdebat dengan Rehan lebih memilih untuk mengalah.

"Duduk di sana aja Rain." Tunjuk Rehan dan Raina pun mendorong kursi roda Rehan kearah bangku yang berada dibawah pohon rindang.

"Kata Chandra nggak boleh lama-lama. Cuacanya semakin dingin." Raina menunduk dihadapan Rehan sembari merapatkan mantel yang Rehan gunakan.

Raina menatap kekasihnya dengan sendu. Bibir pucat Rehan, mata sayunya yang masih tetap bersinar dan menenangkan siapapun yang menatap matanya. Wajah Rehan yang semakin tirus membuat Raina meringis pilu.

"Jangan natap aku kayak gitu, sayang. Aku kurang suka." Kalimat Rehan membuat Raina gelagapan, merasa bersalah karena tidak mampu menutupi kesedihannya.

Raina tersenyum canggung, "Maaf."

"Duduk sini." Rehan mengarahkan tubuh Raina agar duduk disebelahnya, menggenggam tangannya erat.

Mereka sama-sama terdiam menikmati angin yang berhembus menerpa, cuaca terasa semakin dingin, pertanda jika musim gugur akan segera datang.

"Sayang banget tadi nggak bawa buku sketsaku." Rehan mendesah kecewa.

"Buku sketsamu udah penuh coretanmu dan Nathan baru mau beliin yang baru."

Rehan terkekeh pelan, "Ah iya lupa."

Mereka kembali terdiam, entah hanya perasaan Raina atau memang ia merasakan kesedihan semakin menikam dadanya. Raina menatap wajah kekasihnya dari samping, mengamati lekuk indah dan hidung bangir Rehan, tanpa sadar Raina meneteskan air matanya.

"Rain, aku buat kamu nangis lagi." Rehan berkata tanpa mengalihkan pandangannya yang masih menatap lurus kedepan.

"Enggak, mataku sedikit kemasukan debu tadi makanya perih."

"Kamu tahu nggak kenapa aku suka menggambar?"

"Hm. Kenapa?"

Rehan tersenyum, "Karena aku mampu mengabadikan setiap moment bersama kalian dengan tanganku sendiri. Aku ingin terus kalian ingat, setidaknya ada beberapa hal yang bisa aku tinggalkan sebagai kenangan indah."

Raina masih terdiam, membiarkan Rehan mengutarakan apapun yang dia rasakan saat ini.

"Aku kangen Mama." Kalimat Rehan terjeda. "Jauh di dalam sini." Rehan menunjuk dadanya. "Papa sama Mama masih punya tempat tersendiri. Meskipun karena ulah mereka aku harus menanggung rasa sakit. Tapi aku bersyukur karena terlahir."

Raina merapatkan dirinya kearah Rehan, walaupun terhalang kursi roda tapi Raina masih bisa memeluk Rehan.

"Kalau bukan karena mereka, aku nggak akan ada di dunia ini. Aku nggak akan ketemu kamu dan semisal aku memilih menyerah dulu, aku nggak tahu gimana hidup Chandra tanpa aku. Kalau dibilang lelah, aku lelah. Tentu aja, aku capek. Tapi Tuhan belum mengijinkan aku untuk menyerah semudah itu, bumi seakan menahanku agar tetap disini dengan semua rasa sakit ini. Aku harus apa selain bertahan sebab ada kamu, ada Chandra, ada dreamies. Jadi aku harus memperjuangkan hidupku sendiri demi kalian. Tapi---"

Rehan terdiam, suaranya terdengar parau. Laki-laki itu menangis tanpa berusaha menutupinya lagi.

"Aku kangen Mama. Sekali aja aku pengen dipeluk Mama sebelum aku benar-benar menyerah. T-tapi aku sendiri belum siap untuk ketemu Mama. Aku takut, Rain. Aku takut kalau Mama nggak mau terima aku. Aku takut kalau aku datang ke Mama dan yang aku dapat cuma penolakan. Aku takut, Raina." Kali ini Rehan benar-benar terisak, melepaskan rasa yang selama ini ia pendam.

Hai, Rain || HUANG RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang