"S-sakit. S-sesak, Chan." Entah rintihan ke berapa yang keluar dari bibir Rehan.
Dadanya sungguh terasa panas menyengat, paru-parunya tidak mampu untuk diajak bernapas dengan cara yang benar. Rehan hanya merintih melampiaskan rasa sakitnya dengan mencengkeram erat kaos yang menutupi dada kirinya.
Ditengah perjuangannya untuk melawan rasa sakitnya, dapat Rehan rasakan sebuah sentuhan lembut dari Chandra dipunggung tangannya, mengusapnya pelan seolah Chandra sedang menghantarkan sebuah ketenangan agar sakit yang Rehan rasakan lekas menghilang.
"Tunggu sebentar sampai obatnya bekerja ya. Tahan sebentar." Chandra menenangkan sang sahabat dan membenarkan letak masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya.
Lagi-lagi yang mampu Rehan lakukan hanya merintih sembari menahan sakit, harusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit ini tapi nyatanya Rehan tidak sekuat itu.
Ini menyiksa. Menyiksa bagi Rehan dan juga menyiksa bagi Chandra. Mereka tersiksa dengan cara yang berbeda.
"Lebih baik?" Tanya Chandra saat melihat Rehan yang sudah bisa bernafas dengan normal. Diiringi suara elektrokardiograf yang mulai terdengar normal, itu pertanda jika jantungnya sudah berdetak secara normal.
Rehan mengangguk lemah sebagai jawaban. Tubuhnya lemas, tenaganya terkuras habis hanya karena harus menahan nyeri di dada.
"Kita ke rumah sakit ya? Biar kamu dapat perawatan intensif." Chandra mencoba membujuk Rehan dengan suara bergetar dan penuh kekhawatiran.
Pasalnya Rehan hanya berada di penthousenya dan merubah salah satu kamar kosong menjadi kamar rawat yang sewaktu-waktu bisa Chandra gunakan ketika Rehan kambuh, lengkap dengan berbagai alat medis yang sekiranya Chandra butuhkan. Bukan hal sulit bagi Rehan untuk melakukan itu semua.
"Nggak mau." Jawabnya lemah.
"Kamu bisa aja collapse di sini saat aku nggak ada. Ayolah kak, jangan keras kepala. Aku udah nurutin kakak buat nggak pernah ke rumah sakit dan cuma di rumah. Tapi lihat sekarang kakak drop, kondisi kakak makin menurun. Apa perlu aku telfon Raina biar dia tahu sekalian kalau kakak masih hidup?" Chandra terlampau kesal dengan Rehan hingga mampu mengomeli seseorang yang tengah terbaring lemah dihadapannya.
"Ini udah tahun ketiga kamu menghilang dari hidup dia. Dan dia bakalan lulus kuliah satu bulan lagi, katanya mau lihat Raina wisuda. Jadi minta tolong kerja samanya ya Rehan Arjunata, dokter Chandra Bagaskara menyuruhmu untuk perawatan intensif di rumah sakit." Chandra hampir kehilangan kesabarannya menghadapi sifat keras kepala Rehan.
Rehan menyerah, dia lebih memilih mengikuti apa saja yang Chandra sarankan.
"Oke, terserah kamu aja."
Chandra tersenyum bangga, "Gitu kek dari kemarin, buang-buang tenaga aja pakai debat segala."
Chandra segera bergegas merapikan semua kebutuhan Rehan dirumah sakit. Selama ini jika para sahabatnya tidak ada maka dia sendiri yang akan menjaga Rehan.
"Kak."
"Hm."
"Aku telfon Nathan ya. Biar dia kesini."
"Terserah kamu, Chandra."
Rehan hanya pasrah dengan segala sesuatu yang akan Chandra lakukan. Toh percuma saja jika ia membantah dalam kondisinya yang sudah jelas-jelas sedang tidak baik-baik saja.
"Harus cepat sembuh, biar bisa lihat Raina wisuda. Nanti aku temenin." Chandra masih terus mengoceh dan Rehan hanya menanggapinya dengan gumaman pelan.
Chandra sedikit tersenyum saat melihat Rehan sudah jatuh terlelap.
"Selamt tidur kak, jangan lupa bangun nanti." Bisiknya pelan sembari membenarkan letak selimut Rehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Rain || HUANG RENJUN
Fanfic"Maaf aku hanya tidak ingin meninggalkan kesan menyakitkan. Karena seindah apapun itu perpisahan tetap saja menyakitkan. Hiduplah dengan baik Rain, aku mencintaimu." -Rehan