8 - mencari kepastian

498 95 6
                                    

PAMERAN tinggal menghitung minggu. Kurang dari sebulan, batin Grace kala mengecek kalender. Di sisi lain, ada satu tanggal spesial yang menantinya di akhir bulan: konser BTS. Keresahan dan antusiasme yang silih ganti bergejolak membuat fokus Grace mudah goyah; menyebabkan sejumlah pekerjaannya tak kunjung selesai sementara tenggat terus mendekat.

"Kak, ada yang bisa saya bantu?" Riska, asisten Grace, berdiri di ambang pintu. "Kata Kak Dev, Kak Grace lebih membutuhkan saya di sini."

Mata Grace memindai kertas desain yang menumpuk dengan sampel kain. "Boleh, boleh. Tolong sortir file desainku sesuai tanggal, ya? Langsung loncat ke Maret aja."

Dev pasti menyadari kemunduran performanya sampai mengutus Riska, padahal mereka sempat berselisih paham gara-gara beberapa perlengkapan pameran belum sampai di butik. Walau bukan hal baru, Grace kadang sulit mengenyahkan perasaan tak enak dan berusaha bekerja lebih baik untuk mencegah kemungkinan buruk lain terjadi.

"Hei, lunch dulu, yuk?" Grace menoleh ke pintu; Dev sudah berisap pergi. "Hari ini kita bakal lembur lagi, jadi jangan sampai perutnya kosong."

"Saya kebetulan udah janjian sama... pacar saya," Riska menyahut malu.

"Okay then. Grace, shall we?"

Keduanya meluncur ke sebuah tempat makan di Jalan Cihapit. Dev memilih meja di lantai dua yang terletak di area outdoor. Setelah memesan makanan dan minuman, baik Grace maupun Dev bergeming sembari mengamati kendaraan yang lalu-lalang.

"Is there something that stressed you out recently?" Dev membuka pembicaraan. "You're doing well as always. Cuma, kamu enggak sesantai biasanya. Apa gara-gara pameran atau... aku yang bakal cabut setelah acara selesai?"

Grace meremas lututnya. "I'm nervous, I mean, ini kan pameran perdana yang aku tangani sama kamu. Kita punya klien-klien potensial, tapi somehow aku cemas bakal bikin mereka kecewa. It's a big deal for us."

"Aku paham." Pramusaji meletakkan dua piring nasi tutug oncom dengan ayam goreng dan dua gelas jus alpukat. Dev meminta segelas air putih sebelum melanjutkan, "I just hope you won't overthink. And please take everything easy. Kalau ada unek-unek, cerita aja. Aku enggak mau kejadian kemarin keulang, sementara kita punya acara besar."

"Trims, Dev." Sebagian beban yang menggayuti pundak Grace seakan-akan lepas. "I'm so gonna miss you when you're not here anymore."

Lawan bicaranya terkekeh. "Kenapa, Riska kurang bagus?"

"Oh, she's doing good. Mungkin aku bakal minta dia enggak manggil aku Kakak terus. Kami, kan, seumuran."

Satu hal yang enggan Grace ceritakan adalah, tentunya, hubungannya dengan Ethan. Jadwal pekerjaan mereka sama-sama nyaris tanpa jeda; memaksa keduanya tak bertatap muka selama tiga minggu terakhir. Dia juga belum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu walau bisa dilakukan lewat telepon atau pesan singkat.

Sekembalinya ke butik, Grace disambut kain-kain yang terlipat rapi dan file yang disusun dengan runut. Meski begitu, dia belum bisa mengusir kegelisahannya. Maka, diambilnya sebungkus matcha dari salah satu laci untuk diseduh. Barangkali teh akan membantunya fokus kerja.

Sebelum Grace sempat ke pantri, Dev masuk ke ruangan dengan salah sudut bibir terangkat. Mendapati ekspresi tersebut, Grace lega karena sahabatnya tak lagi menjaga jarak.

Akan tetapi, dia mengendus sebuah rencana di balik senyum mencurigakan itu.

"Sabtu pekan ini kamu ke Jakarta lagi, ya. Ada fashion show di Kuningan." Serta-merta, mata Grace membulat. Benar, kan? "Nanti Riska bakal kirim voucher kamar hotel sama tiket travel ke email kamu."

State of GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang