9 - clearing the air

806 107 16
                                    

SESUNGGUHNYA, tawaran memberikan kunci cadangan itu hanya ide iseng yang melintas di benak Ethan. Dia butuh hari yang lebih panjang dan malam yang lebih tenang untuk menghabiskan waktu bersama Grace. Maka saat Grace mengabari kunjungannya ke Jakarta, Ethan menguji sejauh mana rencananya bekerja.

Mendapati Grace menerima tawaran tersebut benar-benar di luar ekspektasi Ethan.

Ditemani sayup-sayup dialog dari film di televisi, Ethan memastikan Grace berbaring nyaman di sampingnya. Dari raut wajah gadis itu, dia bisa menebak topik apa yang akan dibahas. Topik yang juga sudah lama ingin Ethan bicarakan.

"Aku belum jawab pertanyaan-pertanyaan kamu pas kita lagi barbeque." Jemari Grace menekan-nekan telapak tangannya. "LDR bukan hal baru buatku meski rata-rata usianya lebih pendek dari pacaran di kota yang sama. Sayangnya, kita cuma punya opsi ini sekarang, kan? Makanya aku enggak bisa jawab saat itu juga."

Tentu ada pilihan lain: mengakhiri penjajakan sebelum mereka meneruskannya ke jenjang lebih serius. Pilihan yang ingin Ethan singkirkan jauh-jauh dari otaknya. "Kamu enggak sendiri, Grace. Fokusku tiga minggu terakhir kacau banget."

Sentuhan tangan Grace berubah menjadi genggaman erat. "Ingat aku pernah bilang Dev kasih kebebasan buat ambil job di luar butik? Aku bisa nyusul Dev resign, tapi kontrakku baru habis akhir tahun depan. Terus kata HRD, kalau keluar sebelum kontrak selesai, aku harus bayar penalti.

"Dari situ, aku membayangkan kemungkinan-kemungkinan kalau kita beneran LDR. Beda kota? Enggak masalah, Bandung-Jakarta lumayan deket. Kita bisa giliran berkunjung juga. Sampai kita absen kemarin... aku mulai was-was." Grace beralih memeluk lengannya. "Kalau tiga minggu aja kita udah uring-uringan, gimana setahun? How do we manage it?"

"Kamu mempertimbangan bagaimana kita menjalaninya, sementara aku dari awal sudah menawarkan opsi lain?"

"Ya, ya, menolak dan mengakhiri masa penjajakan terdengar lebih praktis. Kita bakal terhindar dari patah hati atau awkward gara-gara enggak sengaja ketemu." Kemudian, Grace memindahkan bobot tubuhnya sampai menghadap Ethan. "But, it's too late, Ethan. I found myself falling for you. I wanna be with you."

Dari awal, Ethan menyiapkan dirinya untuk menghadapi sikap Grace yang tanpa basa-basi. Berani. Bold, kalau meminjam kata Dev. Sementara Ethan cenderung meraba-raba. Penuh misteri, seperti yang dikatakan beberapa mantannya. Sikap yang, sayangnya, mengantarkan petaka pada sejumlah kisah asmaranya.

Malam ini, Ethan harus melakukan perubahan besar.

Niat mengajak Grace untuk berkomitmen masih sekuat saat kali pertama Ethan mengungkapkannya. Menyimak keresahan dan kegamangan gadis itu mendorongnya untuk segera mengambil keputusan: terus menggantung Grace atau mengakhiri dilemanya?

Di bawah temaram lampu lantai, Ethan menarik Grace ke dalam dekapannya. Meresapi hangat dan wangi parfum khasnya yang dia rindukan.

"Mau jadi pacarku, Grace?"

"Huh?" Ethan mengaduh saat Grace tak sengaja menekan bagian bawah rusuknya. "Sorry, sorry, did I hear it right?"

"Perempuan seperti kamu pasti bakal cepat pergi kalau aku terlalu lama menunda. Kita juga bakal lebih mudah mengatur hubungan, bukan?" Sepasang mata yang menatapnya berbinar semakin cerah. "Sekali lagi, mau jadi pacarku, Grace?"

"Bold of you assumed I'd say no?" Grace memeluknya erat; memicu desiran yang sudah lama absen Ethan rasakan pada tubuhnya. "Yes, Ethan, I'd love to."

Ethan tak tahu berapa lama mereka mempertahankan pelukan itu. Seakan-akan tak ada yang mau melepas. Hal terakhir yang dia ingat adalah bisikan I love you berkali-kali dari Grace di sela-sela detak jantung mereka yang berdegup seirama.

*

"Aku kira kamu bakal ngajak aku dinner romantis dulu sebelum nembak." Begitu bubur ayam pesanan mereka sampai, Grace mengambilkan sendok untuknya dan Ethan. "Padahal Dev bilang kamu orangnya romantis."

Ethan memasukkan ponselnya ke saku. "Mau sekalian aku undang kru reality show atau Youtuber biar satu Indonesia tahu kita pacaran?"

"Ethaaan."

Pagi itu, Ethan mengajak Grace sarapan di warung bubur ayam dekat apartemen. Mereka datang tepat setelah Mang Uso, sang penjual, menurunkan kursi terakhir dari meja. Sehingga tanpa menunggu lama, dua porsi bubur ayam lengkap tersaji di meja mereka.

"Jadwalku masih padat, malah semakin padat sampai pameran nanti. Baru bisa narik napas lega pas konser BTS," ujar Grace. "I'm gonna make sure to clear my schedule, jadi aku bisa ketemu kamu sesudah konser."

Dary Lydia, Ethan tahu Grace akan berkumpul bersama mereka untuk menyiapkan kebutuhan konser. Pakaian, tiket, sampai briefing proyek yang dirancang fandom. Lydia bahkan sudah gugup sejak menerima undangan konferensi pers dua hari lalu.

"Gue bakal ketemu Min Yoongi," kata Lydia dengan mata berkaca-kaca saat itu. "This is a good chance to sue him."

Dari warung bubur ayam, Ethan mengajak Grace bersantai di taman sekitar apartemen. Di sana, Ethan melihat wajah-wajah familier dari penghuni lain yang sibuk dengan masing-masing kegiatan. Jalan kaki. Bersepeda. Senam aerobik. Pemandangan umum di Minggu pagi yang jarang Ethan nikmati karena selama ini dia lebih sering bangun siang.

Spesial untuk hari ini, karena Grace yang terbiasa bangun pagi.

"Grace, waktu aku cerita tentang masa laluku, apa kamu sempat kecewa?" Sinar matahari membelai hangat punggung Ethan; menenangkannya sebelum meluncurkan pertanyaan tersebut. "Kamu tiba-tiba minta dansa denganku, tapi belum benar-benar menanggapi kisah itu."

"Bukan kecewa, tapi lebih ke kaget. Your situation was so messed up," sahut Grace. "It was also the 'click' moment, you know. Berhari-hari aku bikin hipotesis soal masa lalu kamu, terus begitu dengar versi lengkapnya gimana, I was like oh, it clicked. Made sense.

"Kalau dansa"—gadis itu merenung—"aku pengin nenangin kamu. Membuka luka semenyakitkan itu pasti susah dan aku bangga kamu bisa melewatinya."

Ethan menyelipkan helai-helai rambut Grace ke belakang telinga. "Winter Bear?"

"It's my go-to song for that occasion." Grace memiringkan wajah sampai telapak tangan Ethan menangkup pipinya. "Thank you for being vulnerable with me."

Dari Instagram Stories yang Grace unggah, kabar tersebar dalam hitungan jam. Ethan baru selesai menjemur pakaian kala menerima dua pesan dari Dev. You two are dating? Super gross, katanya di pesan kesatu. Well congrats. Ingat pesanku, treat her well.

Di dapur, Grace tengah menata belanjaan sembari mengobrol dengan Jasmine lewat video call. "Ma, I know it's 6 AM there, but I just wanna tell you I'm taken," katanya saat panggilan tersambung. "Ethan? Oh, dia lagi beres-beres. Mama mau ngobrol?"

Sebelum pulang ke Bandung, Ethan menyimak Bring the Soul bersama Grace. Meski film dokumenter itu menghiburnya, sebagian besar fokus Ethan justru tersita pada celetukan dan komentar Grace. Gadis itu baru menyadarinya di pertengahan film kala mendapati Ethan tak kunjung merespons, lalu menyentak lamunannya dengan ciuman di pipi.

Jika dulu Ethan merasakan kobaran gairah selepas meresmikan hubungan, kini bersama Grace, dia justru dilimpahi rasa lega dan tenang. Masih ada percik dan desiran, tetapi keyakinannya berkomitmen belum pernah sekuat ini.

Apa karena Grace sebenarnya lebih dari kekasih? Apa dia jodohnya?

"Babe, I have to go now." Grace bangkit dari kursi. "Mau antar aku lagi pakai motor?"

Ethan belum siap membebani kepalanya dengan hal yang lebih berat. Satu hal pasti, dia tak lagi membiarkan Grace sendiri dalam ketidakpastian.

***

State of GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang