epilogue

1.3K 115 18
                                        

"AKU sudah menemukan siapa bias-ku."

"You mean, you were finally chosen by your bias?" Melemparkan godaan pada Ethan kadang jauh lebih menyenangkan ketimbang flirting bagi Grace. "Siapa, siapa?"

"Taehyung," jawabnya. "Benar kata kamu dulu, aku lebih condong ke vocal line. Mereka berempat punya kualitas vokal yang bagus dan unik. Jin kuat di ballad dan lagu-lagu berbahasa Jepang. Jimin... aku harap dia lebih sering membawakan lagu-lagu akustik, vokalnya masuk di sana. Jungkook sangat pop, tapi masih bisa main ke genre-genre lain.

"Lalu Taehyung—"

"He is something else, right?"

Kekasihnya mengangguk. "Melankolis. Aku masih belum bisa lepas dari Singularity. Semoga dia menulis lebih banyak lagu seperti Blue & Grey untuk mixtape-nya."

Setelah setahun lebih menjalin hubungan jarak jauh, Grace akhirnya bisa tinggal dan kerja satu kota dengan Ethan. Kendati berat meninggalkan butik dan Bandung, prospek pekerjaan maupun jalinan asmaranya sudah menunggu terlalu lama di Jakarta. Bantuan pun tak berhenti mengalir saat Grace mengurus kepindahannya. Termasuk mengontrak rumah bersama Lydia, Ninit, dan dua orang penghuni lain di sekitar Kemang.

Hari ini, tepat sebulan sejak pindah, Grace menyeret Ethan dari apartemen untuk membeli kebutuhan perayaan tahun baru di tempatnya. Troli mereka sudah dipenuhi beberapa bungkus popcorn, mentega, empat botol besar soft drink, dan tiga kotak wafer. Sementara Lydia dan Ninit memegang sektor barbeque dan kembang api.

"Sayang Dev enggak bisa gabung sama kita. Kali terakhir dia ke Bandung malah ketemu Nicole." Antrean kendaraan di dekat pintu keluar menandakan lonjakan kepadatan menjelang puncak acara. "Apa kita ke Singapura aja menjelang due date? Kapan perkiraan Dev melahirkan?"

"Katanya sekitar tiga bulan lagi, pertengahan Maret," jawab Ethan tanpa melepas fokusnya dari kemacetan. "Menurutku kita pergi setelah dia melahirkan saja. Ibuku kebetulan bakal ke Singapura sekitar bulan April, jadi kita bisa kumpul semua."

Grace mengambil jus jeruk kemasan dari kantung belanja. "I wanna met your mom. She sounds like a cool person."

"Kurasa dia juga bakal menyukaimu." Ethan bersandar pada jok begitu mendapatkan ruang kosong di tengah antrean yang semakin menggila. "Kabari Lydia kita bakal telat. Dengan situasi kayak gini, kita baru bisa sampai sejam lagi."

Tidak seperti biasanya, Ethan terlihat lebih tegang, padahal mereka sudah lama menantikan momen liburan akhir tahun. Grace sempat menduga kalau kekasihnya sedang stres karena beban pekerjaannya semakin berat setelah diangkat sebagai senior editor. Ethan juga bukan tipe orang yang bakal menghindari pesta mengingat dia jarang meminta Grace pulang duluan saat mereka mendatangi fashion show atau after party.

"Ly bilang enggak apa-apa, mereka udah handle kebutuhan lain di rumah." Bunyi klakson yang saling sahut di sekitar mereka kian mengganggu. "May I turn on the radio? Atau pasang playlist Spotify?"

"Jangan—" Salah satu tangan Ethan refleks menangkap pergelangan tangan Grace. Kedua matanya menatap Grace dengan sorot cemas; membuat kecurigaan Grace meningkat. "Maksudku—aku mau membicarakan sesuatu sama kamu."

Jemari Ethan yang mendingin menguatkan dugaan Grace kalau pria itu memikirkan hal berat. Ethan merunduk; memperhatikan lampu lalu lintas untuk beberapa detik. Ketika lampu berubah merah, dia melepas cengkeraman tangannya dari Grace.

"Kamu tahu, Grace, aku kadang masih enggak percaya bisa punya hubungan yang stabil seperti ini. Keluarga yang dulu terlihat sempurna di mataku ternyata punya borok. Hubungan-hubunganku sebelumnya? Menyedihkan. Berkomitmen dengan seseorang terkesan seperti impian yang enggak pernah bisa kuwujudkan."

State of GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang