3 - invitation

767 112 9
                                        

"SERIUS, Ethan, dia bakal beli tiketnya sama kayak harga normal?"

"Skuterku di Bandung bisa kamu jadikan jaminan, Lydia. Kalau perlu, aku telepon orangnya sekarang—"

"Eh, tenang, tenang. Gue cuma mau make sure aja. Ini kontaknya, kan?" Perempuan dengan rambut berpotongan pixie di depannya memperlihatkan nomor yang Ethan bagikan di WhatsApp. "Lo datang tepat waktu. Sedetik aja terlambat, tiketnya udah jadi hadiah giveaway."

"Iya, itu nomornya. Kabari kalau transaksinya sukses."

Lydia mengacungkan jempol, tetapi dia belum menghentikan godaan. "Gue enggak kaget, sih, lihat lo bakal ngegebet fangirl, cuma bukan dari fandom sebesar ARMY."

"Grace bukan gebetan, kami kenala—"

"Kenalan macam apa yang sampai rela cariin tiket?" Tanpa mengalihkan pandangam, Lydia mengetikkan pesan pada ponsel. "Done. Udah gue kirim tuh info tiketnya. Lo gawe lagi sana. Ntar kalau urusan tiket beres, gue tagih traktir lunch di resto Korea kemarin."

Biasanya, saat diminta menunggu, Ethan mampu menyanggupi, bahkan saat kabar yang dinanti disampaikan beberapa hari kemudian. Namun, Senin pagi ini terasa lebih panjang. Ethan sudah menyelesaikan dua artikel dan menyunting sebuah review, tetapi jam digital di laptopnya seakan-akan berputar pada pukul sepuluh.

Bang, cek review album Halsey yang dikirim ke e-mail, dong. Pesan baru dari salah satu kontributor juniornya mengembalikan perhatian Ethan ke layar laptop. Diteguknya sisa air putih agar pikirannya lebih jernih. Sudahlah, paling tidak Grace tak murung lagi karena ada jaminan tiket dari Lydia.

"Jajangmyeon sama bibimbap masing-masing dua mangkuk, ya, Tan." Ethan baru membaca paragraf pembuka ulasan saat Lydia muncul di kubikelnya. "Delivery aja ke sini buat makan siang, terus antar ke kubikel gue."

"Kamu makan sebanyak itu? Tunggu—" Keningnya mengernyit. "Kenapa harus aku yang bayar? Aku punya utang apa?"

"Dih, lo abis kepentok apaan sampai mendadak lupa gitu?" Lydia berdecak, lalu memperlihatkan ponselnya. "Gebetan lo baru transfer duit tiket. Dia sampai ngajak ketemuan buat konser nanti."

"Namanya Grace—"

"Iya, iya, jadi, kan, traktir gue sama anak-anak divisi K-Pop?"

Sebelum Lydia menambah daftar pesanan, Ethan mengiyakan dan membuka aplikasi untuk memenuhi janji. Begitu rekan kerjanya berlalu, pria itu mengubur wajahnya dalam telapak tangan; menyembunyikan senyum semringah yang tak bisa dikendalikan.

Selang lima menit kemudian, Grace menelepon. Ethan berdeham dan memastikan suaranya tetap stabil saat menerima panggilan tersebut. "Halo, Grace."

"Halo, Ethan!" Grace memekik sejenak sebelum melanjutkan, "You really meant it, huh? Aku kira kamu cuma mau hibur aku aja waktu bilang bakal bantu cari tiket konser. Thanks so much! Lydia is such a sweetheart too. Can't wait to see the boys in two months."

"Sama-sama, aku juga lega mendengarnya." Lebih dari itu, sebenarnya, Ethan ikut bahagia saat membayangkan wajah Grace berseri-seri di ujung telepon. "Sampai ketemu di Bandung, kalau begitu?"

"Ah, ya, ya, tapi masih minggu depan, kan?"

Benar apa kata Grace, Ethan harus menghadiri acara pada akhir pekan ini sebagai liputan pengganti. Biasanya, dia tak akan repot-repot pulang ke Bandung hanya untuk satu hari libur, apalagi sekarang Dev tak perlu berkunjung setiap minggu ke psikiater.

Ethan ragu akan sanggup menunggu.

"Aku... berencana ke Bandung setelah meliput." Dicarinya alasan yang masuk akal supaya Grace tak curiga. "Ada yang harus dibicarakan dengan Dev."

State of GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang