Pukul setengah duabelas malam, Giva masih sibuk berguling tidak jelas di atas tempat tidurnya. Kalau kemarin malam pikirannya dipenuhi oleh Rian, malam ini justru Arga lah yang memenuhi isi pikirannya.
Giva tidak tau mengapa hanya karena ucapan sepele Arga tadi sore bisa sampai membuatnya menjadi tidak tenang seperti ini. Namun, karena pada dasarnya Giva adalah tipe perempuan pemikir, berlanjutlah ia memikirkan perkataan Arga tadi sore.
"Gue khawatir."
"Gue selalu khawatir dari dulu sama lo, Gi."
Giva berdecak sembari bangun dari posisi tidurnya. Dari dulu katanya? Mereka berdua saja baru banyak berinteraksi akhir-akhir ini. Bagaimana bisa laki-laki itu langsung memiliki rasa khawatir kepadanya?
"Okay," Giva menghembuskan napasnya dengan pelan. "Nggak usah dipikirin lagi bisa kan, Gi?" Ia berbicara pada dirinya sendiri sebelum ponselnya berdering dan menampilkan nomor yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Tanpa berpikir panjang, Giva langsung menekan tombol hijau dan menempelkan ponselnya di telinga.
Tubuh Giva kembali menegang ketika mendengar suara penelepon di sebrang sana. Rasanya masih sama seperti saat ia melihat laki-laki itu di pos satpam. Tangannya meremas kuat-kuat selimut di saat suara itu kembali terdengar lagi untuk menyebut namanya.
Dan tanpa Giva sadari, air mata sudah mengalir begitu saja membasahi pipinya. Kali ini Giva tidak menghindar. Ia membiarkan laki-laki itu berbicara, mengungkapkan isi hatinya yang Giva pun tidak tau apakah itu benar atau hanya pembelaan. Pembelaan yang nantinya akan membuat Giva kembali menyalahkan dirinya sendiri untuk kesekian kalinya.
☁️☁️☁️
"Giva," Fachrian Kevlar. Laki-laki yang sampai sekarang masih sepenuhnya menyayangi Giva. Laki-laki yang selalu berhasil membuat Giva tertawa, laki-laki yang mengubah hari-hari Giva yang terasa abu-abu menjadi lebih berwarna.Mungkin akan terdengar sangat basi jika Rian mengatakan hanya Giva yang bisa mengerti dirinya. Akan terdengar basi juga jika Rian mengatakan tidak ada yang bisa menggantikan posisi Giva untuk terus berada di sampingnya.
Tapi memang begitu kenyataannya. Bahkan di saat kedua orangtua Rian meninggalkannya, hanya Giva satu-satunya orang yang masih bertahan untuk terus bersamanya.
Giva adalah segalanya Rian. Dan Rian adalah segalanya Giva.
Awalnya Rian berpikir Giva akan kembali menutup telepon ketika mengenali suaranya. Namun, setelah jeda beberapa menit, Giva masih berada di sana dan tidak mematikan sambungan.
"Kamu apa kabar?" Rian kembali berbicara dengan suara bergetar menahan tangis. Ia tau bahwa Giva tidak ada niat untuk menjawab pertanyaannya. Bagi Rian, di dengarkan seperti ini saja sudah cukup. "Kabar aku nggak pernah baik setelah jauh dari kamu, Gi."
Rian memeras baju bagian dadanya. "Sakit banget rasanya kalau sadar ternyata hari ini, hari besok, hari besoknya lagi, aku udah nggak bisa sama kamu. Aku mau banget kembali di waktu kita masih bisa sama-sama. Tapi aku sadar, Gi, susah banget untuk kembali ke masa itu. Atau mungkin bagi kamu, kita udah nggak akan bisa kembali ke masa itu lagi.
Karena aku tau seberapa bencinya kamu sama aku sekarang."
Rian tau Giva sedang menahan isak tangisnya disana. Sakit sekali rasanya di saat dulu ia mati-matian untuk membuat Giva selalu tertawa dan sekarang, dengan mudah ia juga yang membuat Giva menangis.
"Jangan nangis, Gi." Gumam Rian pelan. "Please, jangan nangis." Karena semakin Giva menangis, semakin besar juga rasa kecewa Rian terhadap dirinya sendiri.
Setelah itu, sambungan telepon mereka terputus. Tangan Rian terkulai lemas membuat ponsel yang awalnya ia pegang terjatuh begitu saja ke lantai apartment-nya yang dingin.
Rian menarik rambutnya dengan kencang sembari berteriak frustasi. Ia terus-menerus merutiki segala kebodohan yang telah ia lakukan. Ia lah penyebab semua kehancuran yang terjadi dalam hubungannya dengan Giva.
Dan malam ini, untuk kesekian kalinya Rian menghabiskan sisa malamnya dengan air mata.
*
*
*
sengaja dipendekin buat part ini.
don't forget to click vote ya guys. thankyou!🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
our story
Teen FictionIni hanya kisah sederhana dua anak remaja yang ingin bersama, tetapi terlalu sulit hanya karena keadaan.