Giva menghela napas kasar ketika melihat kertas-kertas yang sudah lebih banyak coretan merahnya setelah tadi membawanya ke guru pembimbing. Ternyata, membuat karya tulis tidak segampang yang Giva pikir. Apalagi jika guru pembimbingnya sangat teliti. Ia harus benar-benar memperhatikan setiap kata agar tidak ada typo, mengatur ukuran font dan jenis font sesuai dengan apa yang sudah ditentukan.
Semenjak duduk di bangku kelas duabelas, tidak ada lagi malam santai bagi Giva. Yang biasanya ia hanya mengerjakan satu atau dua tugas, sekarang sudah berubah menjadi bertumpuk-tumpuk tugas. Entah itu PR harian, latihan soal-soal tryout, merevisi karya tulis dan lain-lain. Sebenarnya, ada untungnya bagi Giva. Ia jadi terdistraksi dari hal-hal yang selalu mengganggu pikirannya ketika sedang tidak melakukan apa-apa.
"Apa nggak kurang banyak itu coretannya?" Suara dari belakang telinga Giva membuat perempuan itu menoleh sembari mengelus dada karena terkejut. "Kaget ya?" Arga dengan cengiran khasnya. "Revisi berapa lembar?"
Tanpa sadar, Giva mengerucutkan bibirnya. "Hampir tiap lembar ada yang di revisi." Ucapnya.
"Liat ya." Arga mengambil kertas-kertas milik Giva yang menumpuk di meja piket. Ia memperhatikan setiap coretan merah yang tertera disetiap lembar itu. Sesekali, alisnya mengernyit membuat Giva juga menekan bibirnya menahan kekehan ketika Arga terlihat tidak paham dengan materi yang tertulis disetiap lembar karena itu bukan bagian dari pelajarannya.
Tatapan Giva tidak beralih sedikit pun dari wajah Arga. Dan entah kenapa, tiba-tiba saja ada rasa bersalah dari dalam dirinya ketika ia mengingat kejadian kemarin saat menolak laki-laki itu untuk mengantarnya pulang.
"Ga..." gumam Giva.
"Hmm?"
"Maaf ya,"
"Maaf untuk?"
"Maaf aja." Aneh memang. Giva memilih untuk tidak memberi tau alasan ia meminta maaf disaat sebenarnya ada alasan di balik kata maaf yang ia ucapkan.
"Jangan pernah ngucap kata maaf disaat lo nggak benar-benar melakukan kesalahan." Arga merapikan kertas-kertas yang isinya tidak ia mengerti sama sekali. "Karena kata maaf itu berharga, Qi." Setelah itu, ia mengembalikan kepada Giva. "Mau dibantuin nggak ini?"
Giva terdiam mencerna kalimat awal yang Arga ucapkan tanpa berniat menjawab pertanyaan terakhir laki-laki itu. Pikirannya berkelana entah kemana. Jika dipikir-pikir, ia sering kali mengucapkan kata 'maaf' di saat ia tidak melakukan kesalahan apapun. Seperti pada Arga barusan. Dan jika dipikir-pikir, memang bukan salahnya jika ia tidak mau diantar pulang oleh Arga kemarin. Karena ia memiliki pilihan dan itulah pilihannya.
Lalu, untuk apa Giva meminta maaf?
Arga menjentikan jarinya di depan wajah Giva. "Kan, bengong lagi."
"Eh iya," Giva tersenyum kikuk. "Tadi ngomong apa?"
"Mau dibantuin nggak ini revisiannya?" Arga mengulangi pertanyannya yang belum sempat di jawab. "Emang sih, gue nggak ngerti sama materinya. Tapi kali aja gitu lo butuh bantuan lain?"
"Hmm, nanti kali ya kalo udah butuh?"
"Okay." Arga mengangguk sembari bangkit dari duduknya. "Gue balik ke kelas dulu kalo gitu. Daahhh, Qi."
KAMU SEDANG MEMBACA
our story
Teen FictionIni hanya kisah sederhana dua anak remaja yang ingin bersama, tetapi terlalu sulit hanya karena keadaan.