Hari ini lapangan menjadi dua kali lipat lebih ramai karena jadwal olahraga yang digabungkan antara kelas 12 IPA 1 dan 12 IPS 4.
Ketidaksukaannya terhadap bola berjenis apapun selalu membuat Giva lebih memilih untuk duduk daripada ikut bermain. Perempuan itu menyeka keringat yang mengalir di dahinya setelah menyelesaikan pengambilan nilai bola basket di pagi hari ini. Giva mendudukan bokongnya di pinggir lapangan seraya memperhatikan Shana, Ranin dan teman-temannya yang lain yang sudah lebih dulu bermain volley di sisi kanan lapangan.
Giva memperhatikan bagaimana serunya orang-orang bermain bola dengan segala jenis tawa dan sesekali kegeraman kala mereka kalah dengan lawan. Ingin sekali rasanya Giva ikut bermain. Namun, bagaimana bisa jika bola menuju ke arahnya saja ia sudah kabur duluan. Yang ada, team-nya selalu mendapat kekalahan nantinya.
Karena merasa butuh minum, Giva berdiri untuk pergi ke kantin. Ia sempat memberi kode kepada Shana sebelum akhirnya berjalan sendiri menuju koridor yang mengarah ke kantin.
"Hai," sapa laki-laki yang baru saja mensejajarkan langkah disampingnya. "Mau ke kantin?"
Giva mengangguk. "Perasaan tadi lagi ikut main bola deh. Kok tiba-tiba disini?"
"Pas liat lo bangun langsung kepikiran buat nyamperin."
Setelah seminggu berlalu saat Arga dan Giva pergi bersama, keduanya sama sekali tidak berbalas pesan apapun. Jika mengirim pesan pun, Arga tidak cukup pandai untuk mencari topik. Arga juga tidak mau terlalu banyak berbasa-basi yang mungkin akan membuat Giva menjadi risih. Mereka hanya saling melempar senyum ketika sedang berpas-pasan di koridor ataupun kantin.
Lucu sekali sebenarnya kalau dipikir-pikir Arga ini. Katanya ingin dekat. Tapi justru sekedar mengirim pesan di Instagram saja ia memikirkan banyak hal.
"Mau beli minum, kan? Biar gue yang pesan. Lo duduk duluan."
Giva mengangguk mengikuti permintaan cowok itu. Sampai sekarang Giva masih tidak mengerti apa tujuan Arga. Tujuan laki-laki itu yang tiba-tiba memberinya makanan, mengantarnya pulang ketika mereka tidak sengaja bertemu malam itu dan mengajaknya pergi. Ya ... walaupun ia tau itu baru terjadi sekali. Tapi Giva merasa aneh saja.
Waktu Giva bercerita kepada Shana dan Ranin perihal ia pergi bersama Arga, kedua temannya langsung menebak kalau laki-laki itu sedang mencoba melakukan pendekatan. Namun, Giva tidak menanggapi dengan serius. Lagian masa iya?
Kenapa juga Giva yang dilihat laki-laki itu ketika dia jarang sekali menampakkan diri semenjak kejadian satu tahun lalu?
Es teh manis yang ditempelkan dipipinya membuat Giva kembali sadar dari lamunannya. Perempuan itu tersenyum sembari menerima es teh yang sebelumnya ditempelkan Arga dipipinya.
"Bengong aja," gumam Arga. "Mikirin apa?"
"Enggak ada." Jawab Giva.
"Jangan banyak pikiran. Cepet tua nanti."
Giva terkekeh mendengar ucapan yang sudah Arga ucapkan padanya malam itu. "Dua kali loh, Ga, lo ngomong gitu."
"Dua kali juga loh Qi, gue ngeliat lo bengong kayak gitu."
"Tapi gue nggak banyak pikiran," Giva menyesap es teh manis yang belum ia minum sama sekali. Namun, minuman itu tidak sampai ke tenggorokan karena Giva menahan itu semua di mulut sebelum akhirnya berdiri dan menghampiri wastafel terdekat untuk kemudian ia muntahkan.
Giva baru ingat, ia tidak bisa meminum es yang begitu manis. Dulu waktu pertama kali berteman dan ke kantin dengan Shana dan Ranin, Shana sempat menawarkan diri memesankan makanan untuk mereka yang langsung disetujui oleh Giva dan Ranin.
KAMU SEDANG MEMBACA
our story
Teen FictionIni hanya kisah sederhana dua anak remaja yang ingin bersama, tetapi terlalu sulit hanya karena keadaan.