6

17 2 0
                                    

"Nggak, Gi, nggak. Aku nggak kemana-mana. Aku disini, sama kamu."

"Karena dari awal emang cuma kamu. Nggak ada yang lain."

"As long as you being good for me, aku pasti nemenin kamu terus."

Giva memejamkan matanya ketika kalimat-kalimat itu terngiang lagi di telinganya. Sudah berbulan-bulan Giva berusaha melupakan setiap hal yang berkaitan dengan laki-laki itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Selama ini Giva selalu berkata bahwa ia sudah tidak apa-apa. Tidak ada lagi yang membuatnya sedih ketika ada hal yang berkaitan dengan hubungan masa lalunya. Namun, nyatanya Giva tidak bisa sama sekali melupakan itu semua.

Semua yang telah terjadi pada diri Giva tidak pernah benar-benar hilang dari pikiran perempuan itu. Sampai akhirnya hari ini, laki-laki itu datang lagi tepat di depannya dengan segala raut wajah yang sama sekali tidak bisa Giva baca.

Apakah ada penyesalan di dalam dirinya?

Apakah dia sama menderitanya dengan Giva yang tidak bisa melupakan semua hal tentang mereka?

Apakah dia ... masih peduli dengan segala sakit yang Giva rasakan?

Atau,

Apakah dia masih peduli dengan perasaan Giva sehingga ia masih belum benar-benar pergi sampai saat ini?

Giva mengusap sudut matanya yang mulai mengeluarkan air. Untungnya, air mata Giva tidak serta merta keluar dengan deras sehingga ia tidak perlu menahan malu di suasana yang sedang ramai ini.

Waktu Arga menariknya dari keadaan yang sama sekali tidak Giva harapkan akan terjadi, laki-laki itu tidak langsung membawanya pulang. Arga justru membawa Giva ke Sekolah Dasar yang sama sekali tidak ia ketahui di daerah mana.

Biasanya dalam kondisi hati yang sedang tidak baik seperti ini, Giva lebih memilih untuk pulang dan mengurung diri tanpa mau diganggu oleh siapa pun. Namun sekarang entah kenapa, ia tidak melakukan protes sama sekali ketika Arga mengarahkan motornya ke arah yang jauh sekali dari rumahnya.

"Nih," Arga menyodorkan kepada Giva satu plastik putih berisi cimol dan kentang yang sudah dibumbui dengan bubuk balado. "Di sini tuh enak tau." Gumam Arga sembari memasukan kentang ke dalam mulutnya. "Rame anak-anak SD yang sekolah sore pada lari-larian, terus banyak tukang jajanan yang gue suka juga soalnya murah."

Giva tersenyum. "Lo sering ke sini?"

"Iya. Kalau lagi suntuk."

Giva tidak pernah merasa setenang ini sebelumnya saat sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Temannya pun bukan keramaian seperti Arga. Giva lebih memilih sendirian bersama lagu-lagunya. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk pergi ke tempat ramai. Yang ia tau, ia hanya mau sendiri, tanpa ditemani.

"Kalau lagi bad mood, lo pasti lebih sering sendiri." Arga menggumam. "Sama banget kayak adek gue. Katanya, sendiri itu lebih enak. Padahal nih ya, menurut gue, ditemenin lebih enak. Lo bisa ngelampiasin kekesalan lo ke orang yang lagi sama lo. Ya ... walaupun agak kejam si hahahahahaha."

Dulu, Giva dikenalkan prinsip seperti itu oleh seseorang. Seseorang bernama Fachrian yang beberapa jam lalu hadir di depannya. Rian adalah orang yang selalu mengatakan pada Giva bahwa dalam kondisi apa pun, ia harus selalu bicara.  Mengatakan apa yang sedang ia rasakan dan apa yang membuat mood-nya tiba-tiba turun. Rian juga selalu meminta Giva untuk menjelaskan kenapa perempuan itu membutuhkan waktu untuk sendiri di saat seharusnya siapa saja bisa menemaninya.

our story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang