Keesokan harinya, Arga mendapati Giva di kantin dengan kondisi mata yang bengkak seperti habis menangis semalaman. Saat melewati meja yang di tempati oleh Giva dan teman-temannya, Arga juga sempat mendengar Shana dan Ranin memaksa Giva untuk memakan roti yang sudah mereka belikan.
Arga sama sekali tidak berniat memalingkan pandangannya ke arah lain. Ia terus memperhatikan Giva. Perempuan itu terlihat tidak bersemangat sama sekali. Bahkan, Giva memakan rotinya dengan tatapan kosong.
Arga hanya bisa menghela napas. Ternyata, usahanya untuk membantu suasana hati Giva kemarin tidak sepenuhnya berhasil. Karena buktinya, perempuan itu masih tetap menangis. Arga tidak bodoh. Apalagi alasan mata Giva membengkak kalau bukan karena menangisi laki-laki itu. Otaknya terus berputar memikirkan cara apa lagi yang harus ia lakukan agar Giva bisa cepat lupa dengan kejadian kemarin. Ia tidak mungkin membiarkan Giva larut dalam kesedihan seperti itu. Ada hal yang lebih penting yang bisa Giva lakukan daripada menangisi laki-laki brengsek seperti Rian.
"Liatin teruuussssss," ledek Adnan yang baru saja datang bergabung bersama anak IPA lainnya.
"Diliatin doang mah nggak bakal bisa bikin Giva jadi milik lo, Ga." Sahut Mamet.
"Samperin lah!" Adnan berucap lagi. "Diem aja tuh anak dari pagi di kelas."
"Yaelah, Nan, tiap hari juga Giva diem aja di kelas. Ngerem dipojokan kayak mau bertelur." Kali ini, Risan yang berbicara.
"Iya sih. Emang anaknya pendiem."
"Samperin, Ga." Ujar Galen dengan suara serius, tidak seperti biasanya. "Gue tau lo khawatir."
Arga menatap Galen sebentar sebelum akhirnya berdiri dan menghampiri meja Giva dan teman-temannya. Kedatangan Arga sama sekali tidak mencuri perhatian Giva. Perempuan itu masih diam sembari mengunyah rotinya dengan tatapan kosong. Bahkan, saat Ranin bertanya pada Arga apa tujuannya menghampiri meja mereka, Giva tetap masih diam.
"Mau ngomong sama ... Giva." Ucap Arga. Ia menenglengkan kepalanya agar bisa melihat Giva lebih jelas. "Gi ..." panggilnya tepat di sebelah telinga Giva.
Giva menoleh dengan wajah terkejut. "Eh ... Ga? Ada apa?"
"You okay?" Niat awal ingin mengajak Giva berbicara di tempat lain sepertinya tidak tersampaikan. Arga sudah tidak peduli dengan tatapan bingung Shana dan Ranin saat tiba-tiba pertanyaan seperti itu keluar dari mulutnya. "Lo masih inget nggak kemarin gue bilang apa?"
"Ga--"
"Kenapa bengkak matanya?" Gila. Sepertinya Arga benar-benar sudah berani terang-terangan sekarang. "Kemarin lo--"
"Nggak apa-apa," selak Giva sembari berdiri menghadap Arga. "Gue nggak apa-apa, Ga." Lanjutnya. "Lo kenapa deh?"
Kenapa katanya?
Gue khawatir sama lo. Gue nggak bisa liat lo kayak gini. Gue nggak mau lo sedih. Teriak Arga dalam hati.
Dan nggak apa-apa katanya?
Kenapa bisa sih Giva mengatakan dirinya nggak apa-apa di saat Arga tau kalau semuanya sedang tidak baik-baik saja.
"Pulang gue tunggu di parkiran." Ucap Arga sebelum akhirnya berlalu, meninggalkan Giva yang masih menatapnya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
our story
Teen FictionIni hanya kisah sederhana dua anak remaja yang ingin bersama, tetapi terlalu sulit hanya karena keadaan.