null

21 5 0
                                    

Edna sudah terbiasa ditekan dan tertekan. Tapi bagaimanapun rasa terbiasa itu, ia merasa lelah. Akhirnya ia menyerah. Edna, memutuskan untuk keluar dari tekanan itu. Sayangnya, hidup memang tidak semudah itu. Benar, keluar dari tekanan satu maka Edna harus menghadapi tekanan lain, tekanan baru. Tekanan yang benar-benar membuatnya nyaris gila.

Tapi, hei! Ini Edna. Perempuan yang sanggup menghadapi tekanan selama berbelas-belas tahun lamanya. Ia bisa menghadapi tekanan lain, seperti sebelum-sebelumnya. Benar, harusnya seperti itu. Edna adalah perempuan yang menghargai kehidupan. Ia tidak boleh menyerah.

Tapi, hei! Edna yang sekarang... tidak lagi tahu apa yang ia inginkan. Rasanya, ia tidak. Menginginkan apa pun. Kalau dulu, keluar dari tekanan adalah motivasinya untuk hidup. Tekanan yang itu, tekanan dari orang sekitarnya. Tekanan penuh pengharapan, ekspektasi, yang bahkan-hanya membayangkannya saja Edna ingin muntah. Kenapa? Karena, ia membayar harga itu sendiri.

Sayangnya, pembayarannya bahkan tidak dihargai oleh orang sekitarnya. Edna heran, kenapa ia masih berusaha? Padahal sudah tahu kalau tidak akan mendapat timbal balik. Selama ini... Edna sedang apa? Benar, timbal baliknya dari pencapaiannya dapat ia nikmati. Benar sekali, tapi-pencapaian itu, kenapa terasa seperti cangkang kosong?

Cangkang kosong yang indah. Tapi, benar-benar tidak ada isinya. Apa bahkan cangkang itu kuat? Benar-benar. Selama ini Edna sedang apa? Setelah ini, harus apa? Rasanya ia tiba-tiba tersesat... Terasa kosong, tapi begitu berisik.

"What's your dream, Na?"

"....apa mati termasuk impian?"

"...uh? Kamu mau mati?"

"Ya. Kamu bisa membantuku?" Kalimat itu terdengar ringan tanpa beban.

"..."

"Jadi, impian itu... apa?" Mata Edna menerawang jauh, terlihat tanpa emosi.

"Harapan? Sesuatu yang kamu inginkan?" Lawan bicaranya menjawab cepat.

Edna mengangguk, "...tapi orang normal biasanya menggunakan impian untuk bertahan hidup." Edna menjeda, "jadi, kalau impianku adalah mati, aku harus hidup atau mati?"

"Berhenti, Edna. Kamu bisa istirahat."

"Haruskah?" Lawan bicaranya mengangguk.

Kemudian Edna bangkit dari tempat duduknya yang nyaman. Memenuhi saran dari temannya untuk istirahat. Mungkin, ia memang harus berhenti berpikir, dan istirahat-tidur. Itu satu-satunya cara agar ia tidak berpikir secara sadar.

···

Katanya, mati memang tidak menyelesaikan masalah. Benar. Tapi, coba katakan hal itu pada orang yang tidak memiliki masalah juga tidak memiliki keinginan untuk hidup. Manusia, biasanya hidup agar ia bahagia. Tapi, Edna bukan hidup untuk bahagia. Tapi untuk menemukan tujuan hidup, bahagia itu bonus untuknya.

Edna kali ini harus setuju dengan pendapat ayahnya. Edna tidak normal. Benar. Mana ada manusia normal seperti Edna. Ia tidak menginginkan sesuatu. Bahagia itu sebuah emosi, sebuah perasaan. Edna, terbiasa memalsukan emosinya. Sampai-sampai ia bingung membedakan emosi palsu dan nyata.

"What's your dream, Edna?" Edna menggumam pelan.

Berbicara dengan dirinya sendiri adalah langkah ampuh untuk menjawab berbagai pertanyaan di kepalanya yang ricuh itu. Semoga saja, Edna tidak benar-benar gila karenanya. Atau mungkin sebenarnya sudah? Entahlah.

"Let's make a plan, Edna! The new and great one!-or maybe two?" Edna tersenyum.

e-note

Published: 11/05/21
Tes ombak sebelum kapal berlayar hukumnya wajib!

See you!
-edam.

Northern StairsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang