6. Black Map

23 5 0
                                    

Kasus penemuan kepala pasangan suami-istri di pegunungan telah berlalu hampir tiga bulan lamanya. Masih belum ada kemajuan. Anggota tubuh lain belum ditemukan. Sebenarnya gunung tempat penemuan kepala itu sudah dibuka sebulan setelahnya. Namun, masyarakat mungkin masih berhati-hati, sehingga tidak benar-benar ada yang mendaki ke sana.

Selama—hampir—tiga bulan itu, Edna terus bekerja dengan FromUs Travel. Dalam seminggu, paling banyak ia datang 3-4 kali. Sisanya ia gunakan untuk—mencari cara untuk memenuhi tujuan hidupnya. Bahkan, sampai sekarang masih terasa aneh itu mengatakan itu sebagai tujuan hidup.

"Gimana, Edna?" Edna menolehkan kepalanya.

"Gimana...apa?" Troy, atasannya itu tertawa pelan.

"Kamu, kerja tiga bulan di sini gimana?" Edna terdiam sebentar, kemudian mengangguk.

"Lumayan, buat isi waktu luang." Edna menjawab singkat.

Troy mengangguk pelan, "masa probation kamu tinggal satu bulan, mau lanjut atau...?" Masa probation, masa percobaan yang berlangsung selama tiga bulan sudah hampir selesai.

"Hmm... memangnya saya lulus tahap probationnya, Mr?" Edna bertanya hati-hati.

"Lulus lah, masa nggak." Troy terkekeh pelan, "gimana? Mau lanjut?"

"...ng, masa kontraknya berapa lama, Mr?" Edna saat ini memikirkan tentang Death plannya.

"Rata-rata kontrak kami 5 tahun. Sebentar, saya ambil perjanjian kontraknya." Troy kemudian berjalan ke ruangannya yang tak jauh dari tempat mereka duduk, hanya terlapisi kaca.

Kantor tempat Edna bekerja terbilang luas dan hanya memiliki sekat-sekat pada ruangan tertentu. Sekat-sekat itu sendiri hanya berupa kaca tebal tembus pandang. Alhasil, kantor itu benar-benar terlihat luas karena transparan—hanya dapur dan kamar mandi saja yang diberi sekat tembok putih.

"Ini." Edna diberi map hitam dengan kertas-kertas bertuliskan tinta hitam di dalamnya. "Bisa kamu bawa pulang juga, pertimbangkan ya, satu minggu lagi bisa kamu bawa." Edna mengangguk.

"Terima kasih, Mr. Troy." Edna tersenyum tipis.

"Anytime, kamu bisa tanya kalau ada poin yang kurang jelas." Edna kembali mengangguk sambil tersenyum.

Edna dalam kepalanya kembali bertanya-tanya, haruskah ia lanjutkan pekerjaan ini? Atau sebaiknya hentikan saja? Sejujurnya Edna cukup menikmati suasana kerjanya saat ini. Untuk orang lain ini mungkin kesempatan bagus—tapi baginya, ini hanya jalan lain untuk mencapai hal yang lagi-lagi tidak ia ketahui ujungnya.

Pada akhirnya, ke mana semua ini akan membawanya?

Seminggu mungkin cukup untuk memikirkan kembali rencananya, memilih untuk menetap di pekerjaan ini selama 5 tahun—atau tidak. Itu artinya, 'death plan' miliknya juga harus ia jadikan bahan pertimbangan.

"Edna!" Edna yang dipanggil pun mendongakkan kepalanya.

Pria paruh baya menatapnya dengan tatapan marah. Itu ayahnya. Sosok otoriter yang selama ini menekan Edna dan saudaranya.

Edna hanya diam. Tumpukan kertas yang berisi kontrak kerja masih berada di pangkuannya. Ia baru sampai di rumah beberapa menit lalu—ah, entahlah, apa tempat ini bisa disebut rumah? Masih, tentu saja—definisi rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal, apa lagi memangnya.

"Kamu masih kerja di tempat itu?!" Ayahnya merampas map di pangkuan Edna.

Ah, drama ini lagi.

"Iya." Edna menjawab singkat.

"Berhenti. Keluar dari tempat itu! Buat apa kamu kuliah kalau kerjanya serabutan begitu?!" Matanya tertuju pada map hitam yang kini sudah tergeletak mengenaskan di bawah kaki.

Edna manarik napasnya dalam, mencoba menahan emosinya yang bisa meluap kapan saja. Dadanya terasa sesak karena berusaha menahan amarah. Apa orang di hadapannya ini tidak bisa mengontrol emosi barang sedikit?

"Hm." Edna tercekat, mulutnya hanya bisa menggumam.

BRAK

Pintu kamarnya ditutup dengan keras.

Kerja serabutan, ya? Edna terkekeh sinis. Kerja serabutan macam apa yang digaji sebanyak Edna—apalagi hanya masuk 3 sampai 4 kali dalam seminggu. Oh benar, ayahnya kan memang begitu.

Suka meremehkan orang lain.

Edna ingin muntah. Perutnya terasa melilit. Edna selalu begini jika mendengar hal yang terdengar tidak masuk akal—menjengkelkan, membuatnya muak.

"Sedikit lagi, Edna, kamu bisa keluar dari tempat ini." Edna mengambil map hitam yang kondisinya masih cukup baik, walaupun isinya agak kusut. "Mari kita lanjutkan pekerjaan serabutan ini."

⟨ e-note

Published: 11/07/2021

Masih ingat chapter awal kan? Edna bisa seperti itu karena apa?—nah, ini contoh kecilnya :)

Kalau kalian jadi Edna, kalian bakal ngapain waktu diomongin begitu? Marah balik? Diam kayak Edna? Atau—santet aja? wkwkwk.

see, you!
–edam.

Northern StairsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang