"Aku nggak minta ayah buat menghargai semua usahaku. Soalnya aku tahu itu percuma." Edna memundurkan langkahnya, "tapi, bisa nggak—ayah, nggak menghalangi aku buat melakukan apa yang aku mau. Jangan cuma, minta aku lakuin apa yang ayah mau."
Mata Edna yang sudah berkaca-kaca sedari tadi akhirnya menumpahkan air mata. Kalimat itu sudah ingin ia ucapkan sedari dulu. Tapi tidak bisa, selalu tercekat di tenggorokan begitu saja.
Ayahnya tampak terpengkur. Seperti masih mencoba mengais informasi yang baru saja diterimanya. Tapi tak urung, Edna melihat berbagai macam emosi di wajahnya. Mulai dari, marah, kesal, berbagai emosi negatif—tapi, entahlah, apa ayahnya bahkan merasa bersalah? Sosok otoriter di depannya ini—merasa bersalah? Mustahil.
"Edna—"
"–yah. Aku nggak minta diberi watak, pemikiran, karakter, apa pun itu, seperti ini. Tapi, lingkunganku yang membentuk aku seperti ini. Jangan nyalahin orang lain, ayah yang paling tahu kalau aku selama ini berusaha nggak keluar dari jalur yang ayah tentukan. Begitu dengan kakak." Edna berusaha mengatur napasnya, "tapi ayah, mungkin orang-orang itu benar. Anak kedua memang yang paling suka melawan. Aku nggak mau jadi seperti kakak."
"Lalu? Apa yang mau kamu lalukan? Pergi dari rumah?" Ayahnya mendengus sinis. "Memangnya kamu bisa apa?"
Memangnya kamu bisa apa?
Memangnya Edna bisa apa?
"Aku, akan berusaha mencari jalanku sendiri. Aku, mau berusaha mencari arah utaraku sendiri." Edna menundukkan kepalanya.
Edna sadar, ayahnya pasti memiliki alasan mengapa ia melakukan hal seperti ini kepada anak-anaknya. Menjadi orang tua memang bukan perkara mudah. Tapi, menjadi anak dari orang tua seperti ayahnya, Edna tidak sanggup lagi. Edna tidak bisa menahan diri lebih dari ini.
"Oh, begitu?" Nadanya terkesan tenang tapi membawa ombak besar yang cukup menenggelamkan seseorang. "Kalau kamu merasa sudah cukup dewasa untuk itu, seharusnya juga kamu juga sudah tau konsekuensinya, Edna."
Edna mengangguk pelan. "Iya."
Tanpa kata, ayahnya meninggalkan ruangan itu. Ruangan yang akan ditinggalkannya sesegera mungkin. Hawa berat di ruangan itu masih terasa berat bahkan setelah ayahnya pergi.
Edna menutup pintu pelan, kemudian menguncinya. Edna menghempaskan badannya ke atas kasur. Bantal ia letakkan di depan wajahnya. Tak lama kemudian, Edna terisak pelan. Tangis yang ia tahan sejak tadi, sudah ia lepaskan. Semakin lama, isakannya makin kuat hingga ia sulit bernapas. Tangannya kirinya mengepal di atas bantal, tangan kanannya ia gunakan untuk menepuk dadanya yang semakin sesak.
Edna tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Apakah ini perasaan sedih atau senang? Atau dua-duanya? Sedih karena harus meninggalkan semuanya. Atau senang karena akhirnya ia bisa meninggalkan semuanya. Bagaimanapun, Edna bisa sampai di titik ini karena semua itu. Di salah satu sisi, Edna benar-benar ingin meninggalkan, tapi ia juga tidak sanggup jika benar-benar harus merelakan semua.
Bukankah manusia benar-benar makhluk egois?
»—»
"Edna, are you...okay?" Mendengar pertanyaan itu, Edna tersenyum tipis.
"Hmm, i'm not—but, it's okay not be okay sometimes. Right?" Lawan bicaranya menepuk pundaknya pelan sambil merangkulnya dari samping.
"Betul sekali, Edna. Next time, next step, you'll be stronger. I'm proud of you, you really do a great job!" Katanya masih dengan merangkul Edna.
Edna mengangguk pelan, matanya kembali berkaca-kaca. "Thank you, sister."
"You're very welcome, hehe. Santai aja di sini, anggap rumah sendiri. Biasanya juga dulu sering nginep." Edna kembali mengangguk.
Ia benar-benar bersyukur dan berterima kasih karena memiliki teman yang sangat suportif. Kadang dunia memang aneh, baik, jahat, sulit dimengerti pada saat yang bersamaan. Bagaimana bisa orang yang tidak berhubungan darah dengan kita malah yang selalu ada untuk kita? Padahal katanya darah lebih kental daripada air. Tapi, karena sepertinya tidak semua darah bisa menyatu dengan baik—jadilah seperti ini akhirnya. Air dan darah yang menyatu padu, membentuk molekul lain, mungkin? Haha, ya sudahlah.
⟨ e-note ⟩
Published: 31/07/21
Hae, it's edam!
Double update kok, soalnya kemarin nggak update hehe.
–see you when you see me,
Edam!

KAMU SEDANG MEMBACA
Northern Stairs
AdventureEdna terbiasa tertekan dan ditekan. Baginya, segala sesuatu harus sudah direncanakan. Kalaupun gagal, hal tersebut tidak akan melenceng jauh. Awalnya begitu. Kemudian Edna bertanya-tanya. Selama ini, yang ia rencanakan-pada akhirnya untuk apa? Apa i...