Pagi itu, kediaman tiga bersaudara BiJiNa dihebohkan karena suhu tubuh Bianca yang cukup tinggi.
"Lo tuh ya, kerja keras buat checkout shopee boleh, tapi seenggaknya jaga kesehatan kali?! Kan kalo udah begini semua jadi repot!" Oceh Jiselle sembari mengompres dahi Bianca.
Bianca yang masih terbaring lemas memandang termometer di tangannya. 38,6 derajat celsius. Terakhir kali ia demam setinggi ini sekitar 18 tahun yang lalu, sewaktu ia SD.
"Wina udah berangkat?" Tanya Bianca.
"Udah, sama temennya. Nggak naik motor, tenang aja," Jawab Jiselle. "Bi, udah tau lo tuh sering lembur, makan jarang, istirahat jarang, badan gak fit, masih sok-sokan nerobos ujan! Wonderwoman kali lo?!"
"Suhu tubuh gue bisa naik sederajat dengerin bacotan lo, Sel," Lirih Bianca.
"Ck, yaudah gue pergi dulu! Lo tidur, jangan ngegame. Cowo gue udah beliin bubur tadi, jangan lupa makan! Nanti sore gue beliin sop kambing. Pokoknya lo jangan kemana-mana dan jangan ngapa-ngapain!" Perintah Jiselle panjang lebar dan menepuk pelan pipi Bianca sebelum keluar dari kamarnya.
Bianca memejamkan matanya. Sial, matanya berat, kepalanya pusing, badannya lemas. Namun otaknya tidak bisa berhenti memikirkan pekerjaannya di kantor. Pasti si Ian brengsek itu tidak segan untuk menambah pekerjaannya.
"Izin dulu deh," Gumamnya dan mengirim pesan singkat kepada Wanda, sebelum akhirnya kembali memeluk bantalnya dan terlelap.
***
"Bianca belom dateng?" Tanya Ian kepada Wanda setelah melihat kubikel Bianca yang kosong.
Wanda menggeleng. "Izin pak, flu berat sampe demam tinggi katanya. Kayaknya sih gara-gara kehujanan kemaren," Ujar Wanda, sengaja mengungkit kejadian kemarin siang.
Lagi-lagi reaksi Ian hanyalah, "Oh." dan melangkah pergi tanpa pertanyaan lebih lanjut. Baru berjalan beberapa langkah, Ian berbalik menghadap Wanda.
"Wanda, saya minta nomornya Bianca."
Sebenarnya Wanda was-was, takut Ian masih dengan tidak teganya memberikan pekerjaan untuk Bianca yang sakit. Tapi apa boleh buat, tidak mungkin kan Wanda menjawab, "Gak boleh, nanti bapak nyuruh Bianca kerja terus nambah dosa."
Sekarang Ian terduduk di kursi kerja dengan ponsel yang menunjukkan nomor ponsel Bianca di tangannya. Selama lima menit penuh ia hanya memandangi nomor itu dengan pikiran yang melayang entah memikirkan apa.
"Masa iya Bianca flu sampe demam gara-gara gue suruh beli nasi goreng kemaren?"
Ian mengalihkan fokusnya kepada monitor di depannya dan mengetikkan sesuatu.
"Flu dan demam bisa terjadi karena kedinginan, kena hujan, kena angin, atau kena debu," Gumamnya seraya membaca membaca kalimat-kalimat yang keluar dengan serius.
Ian langsung meraih ponselnya untuk menghubungi Bianca.
"Bi-an-ca, i-ni sa-ya I-an, ma-u na-nya- nggak, nggak. Kayak anak kuliah mau modus ke gebetan," Gumam Ian sembari mengetik dan menghapus kata-kata yang ia ketik di ponselnya.
"Se-la-mat pa-gi Ar-bi-an-ca, ka-mu sa-kit yah, kok gak-ma-suk- kok malah kayak om-om pedofil!?"
Ian mengacak rambutnya frustasi. Ternyata memulai obrolan yang bukan obrolan bisnis dengan seseorang itu sulit, Ian baru tahu.
"Telepon aja deh," Batinnya dan mendekatkan ponsel ke telinganya, menunggu Bianca untuk menjawab panggilannya.
"Halo?" Sapa Bianca ketika menjawab panggilan. Ian dapat mendengar suara wanita itu yang sedikit sengau khas orang flu di seberang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta, Tahta, Bianca x hanseungbi
RomanceHarta, Tahta, Wanita. Ketiga hal itu harus Tristian Jayendra miliki. Tidak lebih, tidak kurang. Sampai ia bertemu Arbianca Karissa pada suatu malam, yang membuat keduanya saling memasuki hidup satu sama lain, dan mengakibatkan Tristian, pada akhirny...