01

39 6 5
                                    

Saat itu, selama 2 hari ospek,  aku belum mengenal siapapun,  hanya sekedar tau muka tanpa tau nama.

Oh,  kecuali Tubagus Mahendra.  Laki-laki yang memberiku sepatu putih yang setelah dilihat-lihat ternyata ada noda cat biru dibagian samping kiri sepatunya.

Kelas ospek dibagi sesuai jurusan. Kemarin dia bilang jurusan sastra. Gedungnya ada disebelah gedung Seni Rupa, jurusan ku.  Tapi sampai saat ini aku belum melihatnya lagi setelah kejadian aneh kemarin.

"hai"

"eh-iya halo" kataku

"ikut duduk, boleh?"

Sebenarnya kenapa dengan box semen ini,  2 kali duduk disini,  2 kali juga aku diajak ngobrol orang asing.

Kali ini perempuan  cantik,  kulitnya putih seperti porselen, tingginya setara dengan ku, dengan mata sipit cantiknya. Blaster china sepertinya. Itu pikiran yang muncul di otakku dulu

"boleh duduk aja"

"aku Kiara Anandita,  kamu?"

"Sewindu Rubby Andriani"

"namanya cantik"

-Dan mirip merek sepatu , tambahku dalam hati

"kamu juga"

"dipanggil apa?"

"biasanya Rubby , tapi sesenangnya saja si"

"kamu jurusan Seni Rupa kan?  Aku juga,  tadi aku liat kamu dikelas,  tapi baru berani nyapa sekarang"

Sudah cantik,  baik,  pintar bersosialisasi pula.  Sempurna untuk takaran manusia.

Jujur aja, saat itu aku bingung harus respon bagaimana, ku tanya saja "kamu asli orang sini?"

"bukan,  aku anak rantau dari Jakarta. Kalo kamu?"

"aku purwokerto asli"

"kuliah di Unsoed biar deket rumah?"

"bisa dibilang gitu"

"minta nomor kamu boleh?" tanyanya

"boleh"

Setelah mengetikkan nomorku di handphone dengan logo apel tergigitnya. Kami berdua kembali ke kelas lalu melanjutkan kegiatan ospek.

Dan.. Yah kurang lebih seperti itu pertemuan ku dengan Kiara, perempuan dambaan Tubagus saat ini.

.

.

Dulu, atau mungkin sampai saat ini (?)  aku sangat mensyukuri jarak kampus dan rumah yang tidak terlalu jauh,  25 menit waktu jika berjakan kaki,  10 menit dengan sepeda,  tidak tau jika pakai motor, karena belum pernah.

Saat itu,  pukul 14.20 kegiatan ospek hari kedua selesai,  ku ambil sepeda lalu membuka gembok yang kupasang di sela gerigi ban sepedaku.  

Bukan karena takut dicuri,  hanya belajar dari pengalaman ku saat SMA, mungkin  karena ringannya massa sepeda,  orang-orang seenaknya menggeser sepedaku. Dan itu cukup jauh dari tempat awal aku memarkirkannya pagi. Entah jahil atau memang sepedaku menghalangi jalan keluar kendaraan lain.

Gak jarang aku terkena lost bicycle syndrome .

Ku kayuh sepedaku sambil mendengar lagu jadul melalui hands-free. Aku hanya pakai sebelah,  karena ayahku bilang bahaya kalau dipakai sepasang .

"RUBBY! BY-A! "

Kepala sesosok laki-laki muncul diantara jendela angkot,  itu Tubagus. Laki-laki yang kini aku diagnosa mengalami gangguan jiwa. Gila dia.

Untung saja rem sepedaku sudah diperbaiki ayah minggu kemarin,  coba kalau tidak,  mungkin aku akan nabrak anjing hitam yang sedang tertidur di tepi jalan raya.

Angkot itu berhenti, gak lama sosok Tubagus muncul sambil merogoh saku baju dan mengeluarkan uang 5000, dia bilang "makasih pak" .

"kamu apa-apaan sih?!" sungutku akhirnya

"aku?  Turun dari angkot"

"Tubagus,  denger ya tadi itu bahaya.  Gimana kalo aku jatuh atau nabrak anjing tadi ? Terus anjingnya marah gimana?"

"Rubby,  sebelum kamu jatuh aku akan nangkep kamu lebih dulu,  kalo anjing nya marah aku marahin dia balik. Kebetulan aku udah belajar bahasa anjing"

Gila, dia benar-benar gila.

"Ya udah maaf, tadi aku cuma manggil kamu,  gak niat nyelakain atau gimana" katanya

"Memang ada apa?  Mau ngambil sepatu?"

"Bukan,  mau ketemu temenku"

"Rumahnya disekitar sini?" tanya ku

"iya"

"Yaudah kalo gitu aku duluan" pamitku

"Tunggu By-a,  aku ikut di sepeda kamu ya"

Kulirik sekitar,  belum ada angkot lain yang lewat,  ya sudahlah sekali ini saja.

"yaudah naik,  kamu tunjukin jalannya"

"iya"

Setelah mengayuh pedal sepadaku beberapa menit, laki-laki dibelakangku belum juga menunjukkan jalan. Dia cukup berat,  padahal badannya ideal.

"ini lurus aja?" tanya ku

"iya kayanya"

1 menit kemudian ku tanya lagi "belok ngga?"

"kayanya belok deh"

"ini lurus terus?"

"kayanya lurus"

Percakapan aku dan dia selanjutnya seperti itu,  aku bertanya dan dia menjawab 'kayaknya'.

"emang namanya siapa sih? kita udah muter muter dari tadi, baru kali ini aku pulang dengan sepeda sampai 30 menit"

"genit baget By nanyain nama temen aku"

Apa katanya?! karena kesal ku suruh dia turun setelah dia men-cap aku 'genit'.

"terserah,  kamu cari sendiri saja rumah teman mu"

Sepanjang aku mengayuh sepeda, selama itu pula mulutku berkomat-kamit mengutuk Tubagus. Untung saat ku turunkan dia, posisi kami ada di depan gang rumah ku.  Coba kalau jauh?  gak kebayang gimana kebasnya bibirku karena berkomat-kamit terlalu lama.

Kumasukan sepeda ke pekarangan rumah,  menaruh sepeda pada tempatnya, tempat yang sengaja ayah buatkan untuk ku.

Masuk rumah,  membersihkan diri dan meluapkan emosi, lagi.  Kesal sekali aku. Lihat?! Gara-gara dia aku lupa menyapa ayah saat pulang.

Aku berniat menemui ayah tapi sepertinya sedang ada tamu.  Sebentar,  itu bukan tamu. Tapi orang gila yang mengaku bisa berbahasa anjing.

Itu pikiran ku untuknya dulu, memang sebenci itu.  Tapi lihat sekarang?  Sesuka itu.

"Rubby,  ini loh nduk ada temenmu,  dari tadi nunggu kamu. Pakde tinggal ya nak Bagus,  kalian ngobrol saja"  setelah menegurku, ayah berpamitan dengan Tubagus

"iya Pakde" katanya

Selepas ayah pergi, "kamu ngapain disini?!" tanyaku dengan nada yang sebenarnya tidak sopan dilontarkan pada orang yang berkunjung.

"ke rumah temenku, kan tadi aku udah bilang"

ASTAGA !

Seperti itu kisah singkat awal ku dengan Tubagus dan Kiara. Yang dulu terasa menyenangkan tapi  kurasa tidak lagi untuk sekarang. 

Aku menyesal,  entah kenapa.  Mungkin karena berteman dekat dengan Tubagus,  entah menyesal karena berteman dekat juga dengan Kiara, gadis yang ditatap laki-laki yang ku harap, atau menyesal atas rasa yang ku timbulkan sendiri.

T i t i k  D i d i HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang