"Gue suka sama lo, that's true. Gue mau lo putus sama Jasmine, no, that's not true. Kalian berdua emang match made in heaven dan semua orang tahu itu, Jae. Gue-well, let's just say gue pingin ngutarain perasaan gue sebelum akhirnya kita pisah until only God knows when."
[]
"Wendy!"
Wendy menolehkan kepala dan melambaikan tangan pada Wafiq yang berlari kecil menyusul dirinya yang beberapa langkah di depan Wafiq. Cowok itu terlihat membawa gitar akustik yang Wendy yakini punya teman satu band-nya.
Begitu dia udah berdiri di samping Wendy, perempuan itu menjulurkan sebotol air mineral ke arah Wafiq yang diterimanya dengan senang hati.
"Lo gak buka hape, ya? Gue udah coba hubungin lo berkali-kali dari semalem, tapi gak ada yang lo baca sama sekali, dah." Ucap Wafiq setelah meneguk air mineralnya.
Wendy mengangkat alis, merasa nggak menerima pesan dari Wafiq. "Eh, masa? Gue kemarin seharian juga buka hape, tuh. Bentar deh, gue cek."
Wafiq menggelengkan kepalanya. "Gak usah, udah ketemu juga. Jadi gini, lo mau gak ikut gue latihan nge-band?"
"Hah? Latihan band? Tumben banget? Bukannya band lo udah lengkap, ya, personilnya? Sampe anak jurusan lain juga jadi anggotanya, kan?" balas Wendy dengan bertubi-tubi pertanyaan yang dilemparkannya ke Wafiq. Cowok itu menimpali pertanyaan Wendy dengan kekehannya.
"Iya, latihan band. Iya, tumben, soalnya emang lagi mau cari suasana baru aja, sih. Iya, udah lengkap. Iya, ada anak jurusan lain juga." Balasnya dengan wajah geli khas Wafiq. "Eh, udah kejawab semua belum?"
Perempuan berambut kuncir kuda itu menyenggol lengan Wafiq, bercanda. "Ish, kebiasan, deh." Sungutnya. "Oalah, gue kira ada apaan. Buat iseng aja, nih, berarti gue joinnya?"
Wafiq menggumamkan jawabannya. "Yah, enggak iseng juga, sih. Sebenernya-" Wafiq melemparkan senyum tengilnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "-ada temen gue yang kapan lalu lihat lo nyanyi part time di kafe depan kampus, Wen. Terus, yah, dia kepo, deh."
Wendy memutar bola mata begitu mendengar jawaban Wafiq. "Gak nyangka, deh, gue ternyata dikenal sama anak Day6. Sebuah kehormatan banget loh, ini." Kelakarnya yang disambut dengan tawa renyah Wafiq.
"Lagian siapa, sih, yang gak kenal sama lo, Wen? Anak seantero jurusan hukum kayaknya kenal banget sama kutu buku kampus yang satu ini."
Wendy tersenyum tipis mendengarnya.
"Ya udah, bisa-bisa aja, sih, guenya. Kalian kapan latihannya emang?"
Wafiq melihat jam tangannya. "Hmmm, masih ada sejam lagi sampe waktu sewa studio kita mulai, Wen. Lo masih mau kemana gitu, gak? Sebelum kita cus ke studio."
Wendy mengangkat map yang dia pegang dan Wafiq langsung mengangguk paham. "Gue mau anter berkas ini dulu ke basecamp. Lo ke studio sama siapa, Fiq?"
"Gue biasanya bareng bang Jae, sih. Dia bawa mobil soalnya. Lo mau bareng kita juga?"
Wendy menggeleng, mengingat kalo dirinya sendiri juga bawa kendaraan pribadi ke kampus. "Gue bawa motor, sih. Ntar lo shareloct atau kirim titik di google maps aja bisa, kan, Fiq? Atau gue bisa deh, ngikutin mobil temen lo sampe lokasinya."
Wafiq terlihat tidak setuju sama ide perempuan itu. "Tempatnya lumayan jauh, loh. Gak papa lo naik motor sendiri? Mana sore-sore gini."
Wendy justru ketawa. "Gak papa kali. Udah, ntar lo kirim aja lokasinya. Gue cabut ke basecamp dulu, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
for your happy ending
Fanfiction[inspired by the drama: The Hymn of Death] Wendy selalu ingin memuaskan hasrat bermain musiknya di tengah kesibukannya sebagai mahasiswi jurusan Hukum yang mendapat tekanan kuat dari orang tuanya. Ketika Wafiq mengajaknya mengikuti latihan rutin ba...