Wendy menyeruput minumannya hingga tandas, mengacuhkan ucapan kedua orang tuanya yang sudah beberapa hari ini berada di kota untuk mengurus kepindahan Wendy yang tak bisa ia tolak lagi. Bahkan kedua orang tuanya tak mau menunggu Wendy menyelesaikan studinya di semester ini yang baru berjalan beberapa minggu. Mereka tak mau mengambil risiko meninggalkan Wendy di kota ini dan memberi kesempatan untuk perempuan itu bermain musik lagi.
Wendy menghela napasnya keras, masih tak mengerti jalan pikiran kedua orang tuanya tak peduli seberapa keras ia mencoba.
"Ma, Pa."
Suara Wendy menghentikan debat di antara kedua orang tuanya. Mereka berdua langsung menatap Wendy. Wendy tidak pernah menyukai cara mereka berdua melihatnya.
"Wendy di sini sampe bulan depan, kan?"
Mamanya mengangguk. "Secara administratif begitu. Tapi Mama pingin kamu ikut Mama dan Papa balik ke Surabaya besok lusa. Kenapa?"
Wendy menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. "Wendy minta, sekali aja, diizinin tampil buat yang terakhir kali di Dies Natalis kampus. Minggu depan."
Raut wajah Mama kembali memerah mendengar permintaan Wendy. Wendy menghela napas, sudah menebak respon negatif yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya.
"Ma, Wen—"
"Udahlah, Ma. Biarin aja. Toh, Wendy udah nurut kita buat pindah universitas."
Baik Wendy dan Mamanya sama-sama melotot, menatap ke arah Papa Wendy tak percaya. Terutama Wendy, yang tak pernah menyangka akan datang suatu hari di mana Papanya akan memihak Wendy, bukan Mamanya.
Wendy hanya diam setelahnya, membiarkan orang tuanya kembali berdebat, kali ini dengan Papanya yang berada di pihaknya.
Hingga ketika Mama Wendy tiba-tiba merangsek keluar dari kafe tempat mereka duduk, Wendy menghembuskan napasnya dan menatap ke arah Papanya. Wendy terkejut melihat sorot mata yang tak pernah dilihatnya di sana sebelumnya.
Sorot mata penuh kasih sayang memenuhi tatapan Papanya yang biasanya hanya menatap Wendy datar dan tanpa ekspresi apapun.
"Pa..."
Papanya mengendikkan bahu. "Udah, biar. Nanti Papa yang bicara sama Mama kamu." Jawab Papanya singkat. Kemudian, hening. Tak ada yang kembali bicara di antara mereka berdua.
Rendy, Papa Wendy mengusap pundak anak perempuannya itu. "Maafin Papa, ya."
Wendy semakin melotot tak percaya. Papanya meminta maaf?
"Pa... maaf kalo Wendy gak sopan, tapi, kok, tiba-tiba banget?" tanya Wendy khawatir. Tiba-tiba takut hal buruk akan menimpa Papanya yang tak biasanya bertingkah seperti ini.
Papanya tertawa. "Kaget, ya?" tanyanya dan dibalas Wendy dengan anggukan cepat. "Papa juga kaget ketika tiba-tiba diajak ketemuan sama temen kamu. He told me everything about your progress both in music and academic. Thus, i know that you are nothing like your grandparents. I should've encouraged you since then, but, i did nothing."
Wendy mengerutkan dahinya. "Temenku?" kepalanya memutar nama-nama temannya.
"Cowok."
Jantung Wendy berdebar lebih cepat. "Wafiq?" tebak Wendy, meskipun tahu benar tebakannya itu kemungkinan besar salah.
Ketika melihat Papanya menggelengkan kepala, badan Wendy serasa diguyur oleh air es. Jantungnya berdebar cepat sekali.
"Jae."
Wendy mengumpat di dalam hati, tersenyum miris.
He really did a lot.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
for your happy ending
Fanfiction[inspired by the drama: The Hymn of Death] Wendy selalu ingin memuaskan hasrat bermain musiknya di tengah kesibukannya sebagai mahasiswi jurusan Hukum yang mendapat tekanan kuat dari orang tuanya. Ketika Wafiq mengajaknya mengikuti latihan rutin ba...