five

130 34 5
                                    

Jae mendorong bahu Wendy untuk duduk di hadapannya setelah mereka selesai menyanyikan beberapa lagu.

"What?"

Wendy menganga tak percaya ketika melihat di tangan Jae terdapat kertas yang berisi tulisan tangan cowok itu. Bukan tulisan mirip cakar ayam itu yang membuat Wendy terkejut, tapi apa yang ditulis oleh Jae.

Lirik lagunya.

Wendy menatap Jae bingung. "Lo... lo udah hafal lirik lagu gue, Jae? Atau lo udah baca seluruh isi buku harian gue?" tanya Wendy, lebih bingung lagi untuk mengartikan perasaan apa yang dirasakannya saat ini.

Kecewa, karena Jae telah mengusik privasinya?

Bahagia, karena Jae telah membantunya menyempurnakan lagunya?

Atau lega, karena orang yang mengetahui rahasianya adalah Jae?

Jae tersenyum tipis. "Gue rasa, selain lo berbakat dalam hal musik, lo juga berbakat dalam dunia tulis-menulis, Ndy. That's why i can not stop reading your book, rasanya kayak lagi baca novel." Jelasnya, sambil menyerahkan kertas itu ke tangan Wendy. "But still, i am—"

Wendy mengangkat tangannya, menghentikan Jae sebelum cowok itu kembali meminta maaf. Anehnya, biasanya Wendy akan merasa marah setiap kali ada orang yang membuka buku hariannya tanpa izin, termasuk sahabat-sahabatnya. Tapi, Wendy yakin, kali ini perasaan yang dominan bukanlah perasaan kecewa atau marah.

Wendy mengulas senyumnya pada Jae. "It's okay, Jae. I'm glad that it's you who read my diary. Makasih banyak, ya."

Raut wajah Jae yang semula terlihat gugup itu kini mencair dan ia menampilkan cengiran lebarnya, sebelum kemudian menyuruh Wendy untuk duduk dan mencoba kunci gitar yang dibuatkannya untuk Wendy. Cowok itu mendudukkan diri di samping Wendy, sembari sesekali membantu Wendy untuk menyesuaikan tangannya menekan senar gitar yang tepat untuk menghasilkan nada yang benar.

Wafiq adalah orang yang pertama kali menyadari kesibukan mereka berdua. "Eh, lagu siapa, tuh? Kok gue baru denger?" tanya Wafiq pada Jae dan Wendy.

Mereka berdua saling berpandangan, sebelum kemudian kompak mengendikkan bahu mereka sebagai jawaban dari pertanyaan Wafiq.

Wafiq mendecakkan lidah. "Dih, ngeselin." Gerutunya sebelum menyibukkan diri dengan keyboard-nya.

"Bang Jae! Hape lo bunyi, nih!"

Seruan dari Abyan menghentikan arahan Jae yang tengah membantu Wendy memetik gitar akustik milik cowok itu. Selagi perhatian Jae tengah teralihkan, Wendy menggunakan waktu itu untuk menenangkan dirinya yang... merasakan banyak sekali emosi dalam rentang waktu yang cukup singkat setelah ia menginjakkan kaki di studio musik hari ini.

Wendy memetik gitar itu pelan, mencoba menghafalkan kunci gitar yang dibuatkan Jae untuknya. Perempuan itu tersenyum diam-diam, dalam hati bertanya-tanya bagaimana bisa Jae membuat kunci gitar ini dalam waktu semalam, setelah Wendy dengan asal menyanyikan lirik lagu itu di menara satu hari yang lalu.

Dan lebih menakjubkannya lagi, Jae hafal dengan persis bagaimana nada yang diinginkan oleh Wendy ketika ia menceritakannya pada laki-laki itu tempo hari.

Sembari tangannya memetik gitar, mulut Wendy menggumamkan lirik lagunya.

"My love is like water..."

Wendy berhenti memetik gitarnya ketika merasakan seseorang menduduki tempat di sebelahnya. Dan perempuan itu harus menahan rasa kecewanya ketika mendapati bahwa orang itu adalah Sebastian.

"Hmm, kok berhenti?" tanyanya, menatap Wendy dengan alis yang terangkat.

Wendy tertawa kikuk. "Nggak papa, kak. Tangan gue masih kagok dipake main gitar. Biasanya cuma asal-asalan doang gue mainnya." Balasnya, sembari mengedarkan pandangannya ke penjuru studio.

for your happy endingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang