"Impossible... semua yang lo ceritain ke gue hari ini pasti bohong, kan?!" seru Wendy tak percaya ketika, sekali lagi, Jae berhasil membuat dirinya tertawa terbahak-bahak sekaligus menyangsikan kebenaran cerita konyol yang dia bagi bersamanya selama di menara dan sepanjang perjalanan pulang.
Tapi, cowok itu malah memasang wajah seriusnya. "Eh, serius! Gue gak bohong, tau! Hari itu gue baru tahu kalo sapi sama kerbau itu hewan yang beda. HAHAHA, emang lawak sih cerita hidup gue. Kayaknya gak bakal cukup sehari buat ceritain semuanya." Jae mengerling ke arah Wendy dengan senyum lebar terulas di mulutnya.
"Well, udah keliatan dari wajah lo, sih."
Jae mengangkat alisnya. "Kenapa? Kalau gue ganteng? Emang ganteng, kok. Makasih, ya. Gue udah tahu dari dulu." Balasnya dengan nada pongahnya. Lagi-lagi, Wendy ketawa.
"Dih, sialan. Lebih ganteng Wafiq juga kemana-mana." Balasnya, menggoda Jae.
Dan benar saja, mulut Jae kontan membulat. "Woi, yang bener? Lo jangan-jangan naksir Wafiq, ya, Ndy? Dari tadi lo nyebut-nyebut nama dia mulu, deh. Awas loh, dia udah ada pacar."
Wendy mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tau kok, gue kenal Salma lebih dulu ketimbang kenal Wafiq." Ia tersenyum mengingat raut wajah Wafiq setiap bercerita soal Salma ke gue. "Kasian, dia LDR udah hampir dua tahun gara-gara Salma milih kuliah di luar negeri."
"Wah, temen-temen lo kayaknya ada hubungannya sama anak Day6 semua, ya, Ndy? Jangan-jangan lo udah kenal Jasmine duluan, nih, sebelum gue bawa dia ke kosan lo dulu?"
Pertanyaan Jae barusan kontan berhasil meluruhkan senyum Wendy.
Jasmine.
Perempuan itu menatap Jae khawatir. "Eh, Jasmine..." ia melongokkan kepala, mencari penanda di jalan yang menunjukkan lokasi mereka saat ini. "Eh, gue turun di sini aja, deh, kak. Udah deket dari kampus."
Jae menatap Wendy bingung. "Hah, kenapa kok tiba-tiba? Enggak, ah, gue anter ke kosan langsung aja. Lagian dikit lagi juga nyampe kosan, kan?" tanyanya dengan alis mengerut.
Baru aja Wendy hendak menjawab, hape Jae berbunyi.
"Bentar, ya, kita berhenti dulu. Jasmine telpon." Kata Jae, menunjukkan hapenya yang berdering dengan nama Jasmine tertera di layarnya. "Dia selalu ngelarang gue buat nerima telpon pas lagi nyetir, pasti nyuruh gue buat nepi di pinggir bentar." Ucapnya lagi, sebelum benar-benar mengangkat panggilan masuk itu.
Wendy memaksakan diri untuk menutup mulutnya yang menganga.
There's love in his words and the ways his eyes lit when he says her name.
Wendy tersenyum kecut.
Tak ada seorang pun pernah menatapnya dan menyebut namanya seperti halnya Jae menatap dan menyebut nama Jasmine.
Menghela napas, Wendy menyibukkan diri dengan apapun agar percakapan Jae dengan pacarnya gak terdengar di telinganya. Meskipun ia tahu, tindakannya sia-sia karena Jae duduk tepat di sebelahnya dan Wendy bisa mendengar dengan jelas obrolannya dengan Jasmine.
I just hope that she's not the jealous girlfriend type...
"Oh, gue udah di jalan balik, kok. Ini lagi nganter Wendy balik ke kosannya. Lo mau nitip apa? Gue nanti mampir ke kosan lo dulu sebelum balik ke kontrakan."
Wendy membelalakkan matanya lebar, mendengar Jae yang dengan santainya berkata pada pacarnya bahwa dirinya tengah berduaan dengan perempuan lain. Jae seperti menyadari kalau perempuan itu merasa panik, karena setelahnya cowok itu mengacungkan jempolnya dan menganggukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
for your happy ending
Fanfiction[inspired by the drama: The Hymn of Death] Wendy selalu ingin memuaskan hasrat bermain musiknya di tengah kesibukannya sebagai mahasiswi jurusan Hukum yang mendapat tekanan kuat dari orang tuanya. Ketika Wafiq mengajaknya mengikuti latihan rutin ba...