three

132 31 4
                                    

Dua minggu berlalu sejak Wendy ikut Day6 latihan bareng di studio dan dirinya belum pernah ketemu lagi sama mereka, kecuali Wafiq yang beberapa kali berbagi kelas yang sama denganya. Yang lainnya, bahkan bertemu saat Wendy part time di kafe milik Juna pun tidak. Wafiq bilang mereka berlima lagi sibuk persiapan lomba yang akan mereka ikuti minggu depan.

"Fiq."

Wendy menyikut Wafiq yang sibuk membaca buku paket di sampingnya. Sebentar lagi kuis akan diadakan dan Wafiq benar-benar memanfaatkan waktu di detik-detik terakhir untuk memantapkan pemahamannya atas materi Hukum Perdata yang akan diujikan setengah jam lagi.

Wafiq tak mengalihkan matanya dari buku. "Hmm, apa?"

"Gue hampir ketahuan, dong. Semalem pas lagi manggung di kafe punya Juna."

Cowok itu langsung menutup bukunya secepat kilat. "Serius? Kok bisa?"

Wendy mengendikkan bahu. "Ada sepupu gue semalam. Untung belum sempet dia lihat gue, gue udah turun dari panggung duluan."

Wafiq mengerutkan keningnya. "Si Tara? Tukang Cepu yang dulu ngaduin lo ikut lomba padus di SMA?" dia mendecakkan lidahnya. "Wah, ternyata masih panjang juga umurnya dia."

Perempuan yang kali ini rambutnya terurai itu tertawa kecil, mencubit pelan lengan Wafiq. "Meskipun ngeselin, dia masih sepupu gue tau, Fiq. Doain yang baik-baik aja, kenapa?"

Wafiq yang hari ini memakai kemeja flanel itu menggerutu. "Iya, iya, maaf. Abis kesel banget gue sama dia!" dirinya membanting bolpen yang dipegangnya dengan keras. "Keluarga lo juga sebenernya ada masalah apa, sih, Wen?"

Pertanyaan itu, Wendy juga gak punya jawabannya. Dirinya menghela napas berat dan hanya melemparkan senyum miris ke arah Wafiq. Melihat Wafiq yang masih bersungut-sungut kesal, Wendy kembali membuka buku paket milik Wafiq dan menjorokkannya di depannya. "Nih, baca lagi. Abis ini kuis." Ucapnya, tersenyum geli.

Wafiq memutar bola matanya. "Tuh, liat."

Wendy mengikuti pergerakan tangan Wafiq yang bolak-balik menunjuk mejanya dan meja Wafiq sendiri. "Apa?"

Wafiq menghela napas. "Lo bahkan gak perlu belajar?! Ini matkul paling menyeramkan di dunia ini dan lo gak perlu belajar buat kuisnya?! Udah gila emang."

Wendy tertawa terbahak-bahak, tak peduli dengan banyak pasang mata yang menatapnya kesal karena mengganggu mereka belajar.

Baru setelah Wafiq menyenggol lengan Wendy keras, tawanya mereda. Wendy menyeka air matanya yang keluar akibat tertawa terlalu keras. "Makasih, Fiq. Lo tau aja caranya bikin mood gue jadi lebih baik."

Wafiq menepuk pundak Wendy dua kali. "You're welcome anytime, Wen."

Perempuan itu menatap Wafiq, lalu menghela napas dalam-dalam. "Jadi pacar gue aja yuk, Fiq? Di antara anak Red Velvet, cuma gue aja nih yang masih available. Mereka setiap pergi kencan selalu barengan, tau. Gue jadi sendirian di kosan. Kan, kasian?" curhat Wendy, mengingat Sella dan Abyan yang katanya barusan jadian pekan lalu.

Wafiq menatapnya kasian. "Iya, kasian banget, sih, Wen." Tangannya bergerak menepuk bahu Wendy lagi. "Tapi, kan gue juga udah taken..."

Wendy meringis. "Iya, tahu, ish. Bercanda juga." Gerutunya. "Titip salam buat Salma, ya. Gue kangen banget. Udah lama gak ketemu sama dia."

Wafiq mengacungkan jempolnya. "Aman. Dia juga kemarin-kemarin nanyain lo. Kayaknya bulan depan dia mau ke sini, pulkam bentar sebelum balik lagi ke perantauan."

Kali ini giliran Wendy yang menepuk pundak Wafiq. "Sabar, ya. LDR emang berat. Tapi, gue tau lo sama Salma bisa ngelewatin fase ini, Fiq. Trust me."

for your happy endingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang