Gerakan bayangan kepala riska di lantai tetiba berenti begitu ada sebuah suara orang hendak beli dari balik kelambu pintu kamar.
"Yah, bentar. Mau beli apa, dek?" tanya riska ramah ketika udah keluar dari kamar.
Nggak mau buang kesempatan untuk bisa kabur, gue pun segera merangkak keluar dari kolong ranjang.
Padahal gue pengin sih ngintip bang rasyid ganti baju, tapi situasi sedang kurang mendukung.
Jadi gue mesti tunda dulu rencana itu sampe situasi kembali kondusif.
Melalui celah sempit dari bukaan kelambu di bagian sisi pintu yang sengaja gue sibak sedikit untuk memantau keadaan di luar kamar.
Segera beranjak keluar dari balik kelambu pintu begitu liat riska balik badan bikin punggung dia jadi hadap ke arah pintu kamar di mana ada gue yang lagi mengintip.
Entah sedang cari apa di rak lemari perlengkapan barang komoditas dapur. Di mana ada banyak tumpukan minyak goreng, gula, dan tepung terigu yang kesusun rapi di tiap rak lemari itu.
Refleks gue taroh telunjuk ke bibir kala seorang bocah lelaki tetiba menoleh, trus bengong liat gue mendadak muncul dari balik kelambu kamar.
Bocah sontak kasih balasan dengan anggukan patuh dan segera bekap mulut pake kedua telapak tangan.
Bocah pintar.
"Mau beli apa lagi, dek?" tanya riska sambil taroh sebungkus bubuk jelly kemasan ke kantong kresek barang belanjaan si bocah.
"Lho, kenapa mulut kamu? Kok dibekap gitu?" sambung riska heran ketika si bocah balas omongan dia dengan gelengan kepala pelan.
"Ris, telor ada?" celetuk gue bikin perhatian riska segera beralih ke gue.
"Lha, raka? Kok kamu bisa tetiba ada di situ?" tanya riska dengan segaris kerut samar di kening dia. "Padahal sejak tadi aku nggak ada dengar orang masuk kemari selain bocah itu."
"Perasaan lo aja kali. Lagian mana sampe gue ke sini kalo nggak jalan kaki."
"Bisa jadi. Oya, mau beli berapa kilo?"
"Seperempat aja."
"Oke, tunggu bentar. Aku timbang dulu," pinta riska sambil angkat sekotak telur ke atas meja dan dengan cekatan dia menaruh beberapa butir telor ke wadah timbangan.
"Ada lagi?"
"Cukup itu aja. Berapa?"
Gue pun segera kasih duit sesuai nominal harga barang ke riska.
"Oya, ka. Ada yang ketinggalan, nih?" seru riska ketika gue hendak beranjak keluar dari rumah buk eni.
Sesaat gue pikir, entah bagaimana riska tau kalo gue udah lancang masuk ke kamar dia dan bang rasyid tanpa ijin.
Tapi firasat buruk gue terbukti salah besar begitu balik badan dan liat tiga butir telor di telapak tangan riska yang mengulur ke gue.
"Anggap aja bonus karena kamu sering belanja di toko ibu aku," jelas riska sambil taroh ketiga telor itu ke kantong kresek gue.
"Makasih, ris. Baik betul sih kamu," puji gue bikin pipi riska merona, meski samar. "Kalo semisal gue borong semua barang dagangan di toko ini, apa kamu bakal kasih telor kembar burung suami kamu ke gue sebagai bonus?"
Senyum di bibir riska sontak melesap begitu dengar omongan gue. "Maksud kamu ... apa, ka?"
Duh, pake acara keceplosan pulak. Riska bakalan curiga nih kalo sepekan belakangan ini, gue demen betul sama kontol lakik dia.
"B-becanda, elah. Serius betul, sih?" sahut gue sambil ketawa, meski kedengaran canggung dan garing.
"Maaf, aku kurang paham sama humor receh anak cowok. Jadi rada lola tangkap maksud guyonan kamu tadi."
"Nggak apa. Oya, udah sore nih. Gue cabut dulu ya," pamit gue sambil mengangguk pelan ke bocah yang masih betah tatap gue dengan muka polos.
To be continue >>>