PART 1 : Aku 'Pulang'

572 135 75
                                    

Aku pulang.

Suasana hangat menjalar, aku merasa gerah seketika. Ku kendurkan sedikit syal hitamku agar udara masuk melewatinya.

Aneh, padahal dari jendela kecil dibalik pria gempal yang menghalangi, terlihat sedang hujan diluar sana. Decitan koper-koper yang ditarik paksa oleh serombongan tante-tante dengan aksesoris nya yang membahana memeriahi suasana. Berjubel orang sibuk menanti bagasi muncul diatas pita yang bergerak bak keong, beberapa diantara mereka bahkan asyik memberi sumpah serapahnya. Belum lagi ramainya serombongan anak muda berseragam yang kebingungan mencari barang yang hilang dan orang-orang ramai dengan bilah papan dan kertas bertuliskan nama di pintu masuk sambil sesekali menyeru. Kegaduhan ramai memekik.

Tapi hatiku sepi.
Berat rasanya menyadari perpulangan kali ini harus kembali melihat sorot teduh matanya yang terpejam begitu lama. Menapaki jejak langkahnya di kota ini yang tak ayal meminta ku untuk mengundang kembali kenangan demi kenangan yang membuat aku semakin rapuh. Disinlah aku, laki-laki dengan sorban hitam melekat dengan koper hitam yang ku seret diatas lantai biru bandara Yogyakarta. Koper hitam yang menemani 2 tahun terakhirku, tahun- tahun perjuangan dengan peluh resah dan airmata. Juga perasaan rindu yang membuncah.

Hujan rintik. Seharusnya menyenangkan, aku tentu masih ingat saat dimana kita pernah bercanda tertawa dibawahnya. Mengais, menari-nari, meraih tirai hujan dengan gembira. Sampai hari itu tiba, saat dimana untuk pertama kalinya kesukaan ku akan hujan sirna seiring dengan mengikisnya senyuman di wajahmu yang tenggelam dalam rapuh.

"Aku gapapa mas, aku kan kuat. Kamu jangan khawatir ya. Justru mas harus berangkat. Aku ga sabar tau liat mas gagah nemenin tamu-tamu nya Allah di tanah Haram. Aku gap..a.."

Brukk...

Detik yang sama, kamu terjatuh. Tepat dihadapanku. Selembar amplop coklat berkopkan sebuah Rumah Sakit Swasta yang kamu sembunyikan dibalik hijab panjangmu ikut terjatuh. Saat itu aku tau, kamu berbohong. Kamu tidak baik-baik saja. Kamu menyembunyikan sebuah fakta pahit sendirian, penyakit itu telah lama ada dan berkali-kali kamu mangkir dari tindak operasi yang seharusnya sudah lama dilakukan. Bodohnya aku yang tidak curiga sejak awal dengan sembab mu di beberapa malam, raut wajah mu yang terlihat lesu dan pucat beberapa waktu belakangan, sudut lebam di beberapa bagian tubuhmu yang katamu hanya karena terbentur. Aku bodoh, aku telat menyadari ada yang tidak baik-baik saja pada dirimu.

Aku beku seolah mati rasa.
Semua memang berubah karena waktu. Termaksud juga dengan perasaanku dengan kota ini, dengan negeri ini. Karena aku mesti belajar kembali bersikap kuat seolah tidak ada apa-apa dihadapan semua orang, walau hati kecilku teramat rapuh. Bahkan, aku sedikit ragu, apakah ia masih utuh berbentuk didalam sana. Avanza hitam berhenti tepat dihadapanku, memaksaku untuk berhenti dari lamunan. Seorang laki-laki paruh baya menurunkan kaca.

" Dengan mas Raka, betul ?"

" Betul pak"

" Baik, sesuai aplikasi ya mas?" dan aku pun mengangguk.

Mobil hitam melaju diatas jalanan kota Jogya yang tetap terlihat sama. Udara yang tetap terasa sejuk meski sepeda motor bergerombol memadati jalanan kota.

Kota pelajar, seharusnya itu menjadi ingatan yang tidak boleh aku lupakan tentang kota ini, karena tepat ketika mobil yang ku naiki berbelok sebuah sepeda motor yang dinaiki oleh seorang gadis muda dengan almet hijau melintas menukik tajam tepat dihadapan kami. Aku menghembuskan nafas kasar. Hampir saja, gadis itu tertabrak jika bapak supir tidak cepat menghentikan laju mobil.

" Maaf nggih pak, maaf sekali lagi saya minta maaf"

"Iya mba ndapapa. Hati-hati yo"
Gadis muda itu kembali melaju dengan pelan.

"Maaf yo mas, saya rem ndadak. Tadi ada mba-mba mbelok, yo saya kaget. Sekali lagi saya minta maaf ya mas.."

Ahiya, aku hampir lupa fakta lain tentang Yogya, orang-orangnya yang selalu ramah.

"Ndapapa pak, mari lanjutkan lagi" Bapak supir itu mengangguk dan kembali mengemudikan mobil hitamnya.

Sebentar lagi kerinduan ini akan terbalas, seharusnya aku bahagia dan tetap yakin keajaiban itu akan datang tapi mengapa sudut hatiku mulai ragu.

Sebentar lagi, sabar ya..

Diruang suram rumah sakit, kutemukan sosoknya terbaring. Matanya terpejam, ia larut terlelap. Kepalanya bersandar diatas bantal mungil biru muda bergambar doraemon yang pernah aku berikan kepadanya, dengan hijab panjang nya yang tetap terbalut indah.

Wajah dengan pipi cekung dan mulut yang mengaga itu terlihat damai, kedamaian sesaat setelah berbulan-bulan yang dilewatkan hanya dengan meronta tak berkesudahan dengan mata yang tetap terpejam. Alat-alat canggih yang entah apa, mengelilingi dirinya. Lagi-lagi degupan kencang memerangi dadaku.

Sakit. Setetes air mata ku jatuh. Kepalan tangan ku cengkram kuat, sampai kuku jari ku seolah tertancap disana. Satu detik. Dua detik. Tiga Detik.

Aku menyerah.
Kuhempas koper hitamku. Aku terhuyung setengah berlari kearahnya. Kugenggam jemarinya, terlihat cincin perak yang sampai sekarang tetap tersemat di jari manisnya. Tak terasa aku menghujan. Air mata ku tak terbendung, kupeluk ia sedemikian erat. Hatiku memanas. Luruh seketika.

"Sayang, aku disini" lirih kudengar suaraku sendiri.

Sedetik kemudian semua menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.


***

NAD (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang