Rafe mengumpat keras. Menuruti insting defensif, lelaki itu mendorong tubuh Raina menjauh. Perempuan itu sempat terhuyung sebelum jatuh terjengkang ke atas kasur.
Kesempatan yang tidak disia-siakan oleh Rafe. Sangat cepat lelaki itu merenggut jubah satin Raina dan bergerak di atasnya. Namun, satu tendangan kuat di pangkal paha langsung memberi hantaman telak di otak Rafe.
“Rasakan itu, Rafe!” Raina ganti mendorong suaminya hingga terguling ke samping.
Secepat kilat perempuan itu meloncat turun dari tempat tidur dan berlari ke belakang sofa. Dia membuat jarak aman dengan sang suami yang masih mengerang kesakitan karena ulah beraninya.
“Kau ... kau ....” Rafe tak mampu melanjutkan bicara.
Raina berkacak pinggang. Tatapannya berkobar-kobar penuh kemarahan.
“Kalian kira bisa menindasku, hah?” bentaknya galak. “Aku sudah mencoba menghormati keluarga kalian dengan bersikap diam. Tapi aku tak mau terus-terusan ditindas, Rafe.”
Rafe berusaha menetralisir pening hebat di kepala. Aset masa depannya yang masih terus berdenyut nyeri membuat pergerakan lelaki itu jadi terbatas. Namun, dia sangat menyadari satu hal.
Banyak yang istrinya sembunyikan selama satu bulan pernikahan.
“Kau tak pernah menampilkan citra pembangkang,” gumam Rafe susah payah.
Raina menaikkan alis tinggi-tinggi. “Karena aku masih berusaha bersabar. Sekarang aku tak bisa menahan diri lagi karena kau menyebutku budak ibumu.”
Raina berjingkat-jingkat ke meja rias. Sudah sejak lama dia mempersiapkan hal ini. Tak disangka, akan tiba hari di mana dirinya harus mengambil tas perlengkapan khusus.
Dalam gerakan sangat cepat, Raina membuka laci dan menyambar ransel kecil. Kemudian, perempuan itu bergegas berlari ke arah pintu keluar.
“Raina Vecchio!” raung Rafe murka.
Namun, perempuan itu tak menggubris teriakan sang suami. Tangannya sigap menyambar mantel bulu tebal selutut yang tergantung di gantungan samping pintu. Sebelum membuka pintu, perempuan itu sempat berkata dalam nada sedingin es pada Rafe.
“Rafael Rys, aku akan kirim pengacaraku besok pagi. Jika tak mau permasalahan ini terendus publik, kau harus mau menandatangani surat perceraian kita.”
Lalu Raina membanting pintu sangat keras. Meski tubuhnya hanya setinggi seratus enam puluh lima sentimeter, tetapi perempuan itu punya kekuatan cukup besar untuk membuat engsel pintu nyaris copot.
Pelariannya berjalan sangat mulus. Tidak ada pelayan yang mencegahnya pergi. Semua masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Padre dan Madre, kedua mertuanya, juga sangat kebetulan tidak berada di tempat. Pengawasan pada Raina jadi sangat longgar.
Laju kaki perempuan itu berada dalam kecepatan maksimal. Raina mulai megap-megap. Paru-parunya serasa pecah karena efek sangat kencang berlari. Akan tetapi, dia tidak mengendorkan diri.
“Raina!”
Jantung perempuan itu nyaris berhenti berdetak. Dia menoleh ke belakang dan menemukan sosok Rafe berlari sangat cepat. Wajah Raina pucat pasi.
“Astaga, kenapa dia masih nekat, sih?” Perempuan itu merutuki kesialannya.
Dengan kecepata larinya sekarang, dirinya pasti akan terkejar sangat mudah oleh Rafe. Pasalnya kaki lelaki itu jauh lebih panjang dibanding kaki Rana. Sementara jarak dari tempatnya sekarang menuju gerbang depan masih sangat jauh.
“Haish, sial! Sial!” Otaknya berputar cepat.
Matanya lantas tertumbuk ke tempat payung di foyer rumah. Ada beberapa payung dalam posisi tertutup berada di guci mahal buatan produsen gerabah terkenal Italia. Gerakan Raina sangat cekatan meraih dua batang payung besar lantas melemparkannya ke titik strategis.
Kali ini Raina bersorak dalam hati. Lemparannya sukses mengenai pergelangan kaki Rafe. Lelaki itu terjungkal ke depan dengan bunyi berdebum sangat keras.
Raina tak melepaskan kesempatan itu. Dia kembali berlari secepat mungkin. Di depan pintu rumah, perempuan itu bertemu dengan sopir keluarga Vecchio. Pria berumur tiga puluh lima tahun dengan kecakapan mengemudi luar biasa.
“Tolong, bawa aku pergi dari sini.” Air mata sudah merebak di mata Raina. Dia berusaha keras tidak menangis. Beberapa kali perempuan itu melirik ke belakang. Harap-harap cemas Rafe masih lama untuk bangkit dari jatuhnya.
“Ada yang tidak beres, Nyonya?” Sang sopir mengernyitkan dahi.
“Ya, amat sangat tidak beres. Tolong?” Raina sungguh-sungguh meminta belas kasihan.
Terdengar raungan keras lagi dari dalam. Wajah Raina pucat pasi. Sang sopir sempat melirik ke pintu masuk rumah sebelum mengambil tindakan cepat.
“Silakan masuk.”
Satu syukur dipanjatkan perempuan itu pada Tuhan. Dia melompat ke jok belakang. Bersamaan dengan roda mobil berjenis sedan warna hitam metalik itu menggilas paving block halaman, pintu menjeblak terbuka.
“Raina, berhenti!” Teriakan Rafe terdengar sangat keras.
Namun, Raina tidak peduli. Air mata akhirnya mengalir turun. Dia menoleh ke belakang sekali lagi. Hatinya teriris perih melihat Rafe berlari telanjang kaki mengejar dirinya.
“Anda mau tisu, Nyonya?”
Raina mengangguk. Dia kembali duduk menghadap depan. Di jok belakang, tangisnya pecah berderai. Perempuan itu tak merasa malu kepergok menangis oleh salah satu sopir keluarga.
“Apa yang harus saya katakan saat kembali ke rumah?”
Raina menatap sopir dari spion atas dasbor mobil. Pandang mereka bertemu. Perlahan perempuan itu mengeluarkan belati kecil dari dalam tas ranselnya.
“Lukai dirimu dengan ini. Bilang saja aku kabur di tengah jalan.” Raina masih sesenggukan. “Karena aku memang akan turun di tengah jalan.”
***
Raina berjalan tersaruk-saruk menyusuri Via Prifata Frateli Gabba. Jalan yang menuju Bulgari Hotel Milano. Kaki perempuan itu nyaris mati rasa saat berhasil menjejak lobi mewah hotel berbintang lima itu.
Dalam hati Raina masih was-was. Jarak hotel ini dengan rumah suaminya di Piazza Sant’ Erasmo tak sampai tiga kilometer. Sangat mudah bagi lelaki itu untuk melacak keberadaannya. Namun, Raina masih menggantungkan harapan pada Tuhan. Dia ingin beristirahat sejenak sebelum menyusun rencana baru.
“Satu kamar biasa,” pinta Raina pada resepsionis berseragam abu-abu gelap.
“Untuk berapa lama, Nona?” Resepsionis cantik itu bertanya dalam bahasa Inggris beraksen Italia.
“Dua hari saja.” Raina mengeluarkan dompet dari tas ransel mungilnya. “Aku bayar tunai.”
Resepsionis mengangguk. Tangan terawatnya mengulurkan kartu magnetik. Senyumnya ramah dengan tutur kata sopan.
“Kamar 301, Nona. Petugas kami akan mengantar Anda.”
Raina mengangguk kaku. Dia mengikuti porter berseragam warna senada dengan resepsionis menuju lift. Sepanjang perjalanan menuju lantai tiga, interior ruangan yang didominasi palet warna abu-abu dalam berbagai gradasi itu cukup menenangkan saraf Raina yang tegang.
Saat tiba di depan pintu bernomor 301, Raina berkata pada sang porter.
“Maaf, apakah aku bisa minta bantuan lebih?” tanya perempuan itu seraya mengulurkan beberapa lembar euro.
Mata sang porter berseri-seri. Anggukan kepalanya resmi menjawab permintaan Raina.
“Tolong, hubungi nomor ini. Bilang padanya untuk menemui Raina Prameswari di hotel besok pukul enam pagi.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Janda Tersayang
RomanceRaina tidak ingin orang lain mengetahui statusnya sebagai janda dari pewaris perusahaan farmasi besar Italia, Rafael Vecchio. Apalagi wanita itu sudah memiliki kehidupan yang tenang. Jauh dari kebrutalan mantan suaminya. Namun, Raina dikejutkan saat...