5 | Kalau Begitu, Jangan Vanila!

1.8K 200 3
                                    

“Aku tidak akan menyentuhmu tanpa izin, Rai.” Lelaki itu meraih tangan Raina dalam genggaman. “Percayalah padaku.”

Raina ingin percaya. 

Namun, dia tahu lelaki di hadapannya ini punya berjuta cara untuk merayu. Rafael seorang Don Juan tulen. Kemampuannya menaklukkan hati wanita tak perlu diragukan lagi. Termasuk Raina yang merasa akan meleleh hanya dengan tatapan sepasang mata cokelat tajam itu.

Sesadar Raina, dia mengucapkan tidak sebagai penolakan untuk permintaan Rafael. Namun, lidahnya terbukti pengkhianat sejati. Raina seolah merasakan kesadarannya menghilang saat dia menjawab permintaan pria itu.

“Oke,” ujarnya sambil melangkah mundur.

Dan itu kesalahan fatalnya. Raina sangat paham dan mengerti hal itu. Nyatanya, dia masih juga terjebak pada pesona seorang Rafael Rys. Bulu kuduk perempuan itu meremang saat Rafael mulai menyentuhnya, seolah ujung jari lelaki itu memiliki sihir yang melumpuhkan seluruh saraf.

Dan saat Rafael menariknya ke pelukan, kesadaran Raina praktis menghilang. Dia tak mengingat lagi lembaran surat cerai yang terlipat rapi dalam tas tangannya. Dia tak ingat lagi bagaimana tegasnya dia menolak rujuk dengan lelaki itu saat proses mediasi. Pengaruh Rafael saat ini terlalu kuat untuk dilawan oleh kesadaran Raina.

Dia bergidik saat merasakan sesuatu yang basah menggoda ujung-ujung bibirnya. Raina sempat melancarkan protes, tetapi aksi itu dianggap undangan oleh Rafael. Dia melahap mulut yang terbuka, membiarkan lidahnya bermain di sana, menghisap indra pengecap yang lembut dan basah. Raina sungguh menggairahkan.

Sensasi dan rasa lelaki itu juga membuat wanita itu mabuk. Raina tahu dirinya akan menerima penyesalan terbesar sepanjang hidup. Namun, dia tak mampu lagi menolak Rafael. Saat lengan kokoh lelaki itu membopongnya ke tempat tidur, Raina hanya mampu mengalungkan tangan ke leher Rafael erat-erat.

“Bolehkah?” tanya Rafael.

Raina hanya mengangguk singkat. Bibir lelaki itu tertarik ke belakang membentuk senyum lebar. Bak membawa kristal paling berharga di dunia, Rafael meletakkan tubuh Raina sangat hati-hati di atas hamparan seprai lembut. 

Kala lelaki itu hendak menyelimuti diri Raina, perempuan itu mendorong dada mantan suaminya dengan tegas.

“Tidak boleh?” tanya Rafael. 

Kerut di kening lelaki itu memancing kesima di hati Raina. Perempuan itu bertanya lirih. Tempat tidur bututnya sedikit melesak tertimpa beban tubuh dua orang. Saat itu Raina khawatir keputusannya akan membuat salah satu furnitur di kondominium ini akan patah jadi dua.

“Ini untuk terakhir kali?” tanya Raina memastikan.

Rahang Rafael mengencang. Lelaki itu terlihat sangat kesakitan seolah menahan sesuatu yang berat. Butuh beberapa detik hingga kepala berambut cokelat lelaki keturunan Italia-Inggris itu mengangguk.

“Ya, ini yang terakhir kali.”

Raina menggigit bibir bawah. Gestur yang sangat disukai oleh Rafael. Bagi Rafael, gerakan seduktif Raina adalah sebuah undangan. Tidak boleh ditolak sama sekali.

Dan perempuan itu bersorak dalam hati saat merasakan pengaruh dari gerakan kecilnya. Rafael sudah setegang busur panah sekarang. Dia mengerang kala telapak besar Rafael menangkup payudaranya dan meremas lembut. Ibu jari pria itu bahkan sempat memainkan puncak dada yang menonjol dari balik blus tanpa bra.

“Kalau begitu, jangan vanilla,” ucap perempuan itu lirih. Napasnya terengah merasakan sentuhan sang mantan suami yang kian liar dan intens.

Bola mata Rafael melebar. Lelaki itu menunduk. Menggoda mulut Raina, meneliti, dan akhirnya sepenuhnya melahap keranuman yang ditawarkan. Rafael susah payah mengakhiri sesi manis itu lalu mengangkat kepala dan menatap mata Raina yang terkesima.

“Kau yakin?”

Anggukan Raina adalah sebuah keniscayaan. Rafael menyeringai. Dia bangkit dan turun dari tempat tidur. Tidak ada dasi karena lelaki itu mengenakan setelan kasual. Namun, dia masih memiliki ikat pinggang.

“Aku suka kejujuranmu, Raina.” Rafael meloloskan sabuk kulit dari celana panjangnya. 

Perlahan didekatinya sang perempuan. Kemudian, meraih dua pergelangan tangannya. Tanpa kesulitan, pria itu membentuk simpul shibari, salah satu simpul erotis berasal dari Negeri Tirai Bambu, yang menghubungkan tangan Raina dengan kepala tempat tidur. Wanita itu terentang, sepenuhnya terekspos.

Perlahan Rafael membuka kaki si mantan istri. Lelaki itu berbisik lembut di telinga Raina.

“Aku akan memastikan dirimu menyesali perpisahan kita.”

***

Sekali lagi perempuan itu tidur seperti orang pingsan. Saat Raina terbangun, matahari sudah tinggi dan Rafael sudah pergi. Satu-satunya bukti kunjungan lelaki itu tadi malam hanya rasa perih di sekujur tubuh dan kaus yang tercabik. Serta bekas kepala di bantal di sebelahnya.

Raina berbaring ke sisi tempat tidur itu, membenamkan pipi pada bantal Rafael, dan mengingat kembali penyatuan mereka tadi malam. Rasanya jauh lebih menyenangkan ketimbang seks di lagi hari.

Namun, secepat rasa senang itu datang, secepat itu pula rasa sedih melanda. Ada satu rung kosong di hati Raina mengingat semalam adalah pertemuan terakhir mereka. Raina tak ingin mengetahui ke mana Rafael akan pergi. Dan lelaki itu juga tak memberi tahu apa pun tentang rencana masa depannya. Kecuali tentang dirinya yang menolak hak waris Vecchio.

Perempuan itu meregangkan badan. Aroma ruangan yang terkena cahaya matahari terhidu sangat menyegarkan. Gara-gara kedatangan Rafael, perempuan itu lupa menutup jendela kamar. Untungnya lantai hunian Raina terletak jauh di atas. Dia tidak perlu khawatir ada mata jahil pengintip yang melongok ke dalam kamar.

Tak peduli jika belum berpakaian, perempuan itu turun dari tempat tidur. Langkahnya tertuju ke konter dapur mini. Tidak ada mesin pembuat kopi otomatis. Sebagai gantinya, perempuan itu menjerang air dan membuat racikan kopi favoritnya.

Tangannya dengan terampil membilas kertas filter. Kemudian, memasangnya pada chemex (alat penyeduh kopi manual) berbahan gelas borosilikat. Raina lalu menuangkan dua sendok bubuk kopi dan mulai menyeduhnya perlahan dengan air panas yang sudah disesuaikan suhunya.

Aroma harum kopi menguar di kondominium bermodel studio itu. Mata Raina berbinar menatap tetes demi tetes cairan hitam pekat mulai memenuhi bagian bawah chemex. Perempuan itu menikmati cangkir pertamanya dengan duduk di tepi jendela. Melihat pemandangan Roma yang mulai sibuk di pagi hari.

“Selamat datang di dunia barumu, Raina Prameswari.”

Perempuan itu menyemangati diri sendiri. Tangannya terjulur keluar jendela, merasakan embusan angin yang lembut. Samar-samar bekas jerat sabuk Rafael terlihat di pergelangan tangannya.

Bibir perempuan itu tak tahan untuk tidak tersenyum. Sudah berjam-jam berlalu, tetapi tubuhnya masih bisa merasakan kehadiran Rafael. Raina memejamkan mata. Menyimpan seluruh kenangannya bersama lelaki itu dalam benak. Kemudian, membuka mata dan beranjak dari jendela.

“Kau tak akan bisa selamat jika tetap ada di negara ini, Raina.” Perempuan itu bermonolog.

Felippe sudah memperingatkannya akan hal itu. Katherine Rys Vecchio tak akan pernah membiarkannya bebas meski Raina berjanji akan menghilang seumur hidup dari hadapan klan tersohor itu.

Untungnya, Felippe sudah membantunya mempersiapkan diri. Raina meraih tas tangan dan mengeluarkan sepucuk amplop tebal. Isinya lembar-lembar dokumen penting dalam beberapa bahasa asing.

“Baiklah, sekarang waktunya menyusun rencana baru.” Raina menata lembaran dokumen itu di atas meja. Mata cokelat gelapnya membaca satu demi satu dokumen yang berjajar rapi.

“Jadi, kau akan mulai dari mana, Raina Prameswari?”

***

Janda TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang