6 | Simon Reyes

1.7K 178 0
                                    

Lima tahun kemudian.

“Raina, laporan penjualan yang gue minta tadi, lo taruh mana?”

Wanita itu menunjuk arah barat dengan ibu jarinya, tanpa menoleh sama sekali pada sang penanya. Fokusnya masih tertuju penuh pada layar laptop di hadapannya.

“Gila, ngapain kudu rapat jam segini, sih?”

“Karena penjualan divisimu menurun semester ini,” jawab Raina menjawab pertanyaan retoris rekan kerjanya.

Sarah menghela napas panjang. Dia menumpukan dagu di kubikelnya sendiri. Sementara Raina yang tengah menumpang kerja di sebelahnya tetap bergeming.

“Lo enggak capek kerja sama tiran kayak gitu?”

“Sepadan dengan upahnya.” Raina menjawab singkat.

“Dasar mata duitan,” cibir Sarah dalam nada bercanda.

“Maaf. Di dunia ini uang memegang peranan penting. Bahkan perbuatan bernilai kebajikan pun membutuhkan uang.”

Sarah memutar bola mata. Diketuknya bilik kubikel. “Kalian berdua sama-sama monster. Mengerikan.”

“Terima kasih untuk pujianmu.”

Raina tidak melirik ke arah Sarah sama sekali. Namun, dia mengetahui wanita itu sudah pergi menuju pertemuan darurat dengan Simon Reyes.

Wanita itu akhirnya menghela napas panjang setelah mendengar pintu ditutup. Kini, dia benar-benar seorang diri di kantor yang lengang. Para pegawai tengah beristirahat makan siang kecuali divisi marketing yang harus melakukan rapat dadakan dengan sang CEO perusahaan.

“Ya, Tuhan. Lelah sekali.” Dia bersandar ke kursi putar. Dipijat-pijatnya tengkuk. Mata Raina terpejam rapat-rapat. Perih karena berjam-jam berjibaku di depan laptop.

“Kenapa Maria dan Grace harus tidak masuk berbarengan?” keluh Raina. “Astaga, mereka hanya terkena hujan sesorean, tetapi sudah flu berat? Dasar manusia rapuh.”

Wanita itu merutuki para sekretaris CEO yang mendadak absen secara berbarengan. Otomatis pekerjaan jadi terbengkalai. Dan dirinya yang tertimpa sial harus menangani urusan dua wanita asal Amerika Serikat itu.

Raina membuka mata. Pandangannya tertumbuk ke langit-langit kantor yang dicat putih bersih. Sangat membosankan. Wanita itu berpikir untuk merekomendasikan warna-warna ceria guna diterapkan di kantor. 

Namun, cengiran lebarnya segera muncul saat teringat perusahaan yang menjadi tempatnya bernaung sekarang tidak bermain dalam industri kreatif. Warna-warna ceria sedikit tidak kompatibel dengan perusahaan ini.

“Aku lapar sekali.” Rania bergerak. 

Pandangannya kembali tertuju ke laptop. Dia sudah menyelesaikan pergantian jadwal sang atasan hingga satu bulan ke depan. Gara-gara pria tiga puluh tahun itu harus pergi ke luar negeri selama beberapa minggu. Agenda keluarga dadakan yang memaksa Raina kalang kabut mengubah berbagai jadwal kerja sang bos.

Kini, waktunya beristirahat. Dia bergerak mematikan laptop. Matanya mengerling jam meja kecil di meja kubikel yang dipinjamnya. Sisa setengah jam lagi waktu istirahat. Masih ada waktu untuk makan di kantin lantai tiga. 

Hanya saja, rencana Raina terpaksa harus tertunda saat ekor matanya melihat bayangan sang atasan keluar dari ruang rapat. Dalam hati, wanita itu mengeluh keras. Dia sudah sangat lama tidak bersosialisasi dengan kolega kantornya. Jangan sampai istirahat kali ini dia juga kehilangan bertemu orang-orang lagi.

“Sudah makan?” tanya pria itu dalam bahasa Indonesia berdialek asing.

Raina menahan ringisan dalam hati. Di hadapan pria bertinggi seratus delapan puluh sentimeter dengan badan gempal layaknya binaraga itu, dia berusaha menampilkan ekspresi serius. Versi profesional dari pekerjaannya sebagai asisten pribadi sang CEO.

Perlahan Raina menjawab. “Aku baru mau pergi ke kantin lantai tiga.”

“Makan bersamaku saja.” Simon memberi isyarat dengan kedikan bahu agar wanita itu mengikutinya.

Raina menghela napas panjang. Simon Reyes, sang CEO dari perusahaan multinasional Acasha Foods Brand, tak pernah memberinya kesempatan mengatakan ‘tidak’. Setiap perintah pria itu seolah harus dipatuhi oleh setiap orang. Meski begitu, Simon bukanlah seorang pria yang arogan. Justru dirinya merupakan pimpinan paling baik hati dan super loyal pada perusahaan juga karyawan. 

“Rapatmu?” Raina bingung.

“Ada Adam yang akan menggantikan tugasku.”

Raina manggut-manggut. Nama orang yang disebut oleh Simon merupakan salah satu perwakilan Acasha Asia yang sedang melakukan kunjungan ke Indonesia. 

“Tidak apa-apa Adam ditinggalkan sendiri?”

Simon mengangguk. “Dia lebih kejam dibanding diriku. Anak-anak perlu mendapat treatment khusus dari kantor cabang lain.”

Kekeh yang lolos dari bibir Simon memancing rasa kasihan di hati Raina. Wanita itu melirik ke ruang rapat dan tersenyum miris. Dia sudah bisa membayangkan Sarah akan meminta sesi curhat dadakan setelah rapat selesai.

Dua orang itu segera berlalu dari kantor yang lengang. Tidak ada percakapan terjalin di antara mereka. Kebiasaan sejak pertama kali bertemu tiga tahun silam di Singapura dan terus dipertahankan oleh Raina hingga detik ini.

Meski kebiasaannya yang irit bicara itu sering diprotes Simon, Raina tidak peduli. Dia lebih nyaman jika membatasi hubungan dengan siapa pun secara profesional. Dan salah satu senjata utama Raina adalah dengan sesedikit mungkin bicara.

Begitu keduanya berada di lobi, Raina bisa merasakan tatapan penasaran dari orang-orang. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Gunjingan tentang dirinya dan Simon akan terus bergaung meski sudah ada bantahan tegas darinya.

“Mereka terus saja mengira kita punya hubungan khusus.” Simon berkomentar saat tak sengaja menangkap resepsionis berbisik pada rekannya sembari memelototi dirinya.

Raina hanya mengangguk dalam diam. Simon melirik wanita yang berjalan anggun di sebelahnya.

“Bagaimana bisa membuatmu lebih ekspresif lagi, Raina?” Simon memulai protesnya lagi.

“Jangan pernah berusaha,” jawab Raina dingin.

“Ayolah, kita sudah saling mengenal selama tiga tahun. Setidaknya bersikaplah lebih hangat padaku.” Simon berdecak.

“Banyak yang bisa memberikan sikap hangat padamu. Jangan menunggu sesuatu yang tidak pasti.”

Itu perkataan penuh muatan filosofis sekaligus sindiran. Simon menyeringai. Selama ini tidak ada yang mengetahui sifat aslinya kecuali Raina. Dan wanita itu pula yang tak henti membuatnya penasaran hingga nyaris mati berdiri.

“Mereka semua membosankan.” Simon mengaku.

“Tolong, perlakukan para wanita dengan lebih terhormat. Aku satu gender dengan mereka.”

“Kuragukan hal itu. Kau bukan manusia, Rai. Kau itu kulkas berjalan.”

Sayang, Raina tidak terprovokasi ejekan Simon. Wanita itu masih tetap memasang wajah tenang cenderung datar. Seolah ekspresi dan emosi telah menghilang dari jiwa Raina. Di sampingnya, Simon tak henti berdecak kagum. Konsistensi asisten pribadinya pada sikap dingin memang patut diacungi jempol.

“Kita makan di mana?” Simon membuka pintu mobil bagian penumpang untuk Raina.

“Terserah,” jawab wanita itu datar.

Simon sekali lagi berdecak. Dia paling benci saat seorang wanita mengucapkan kata terserah. Namun, pengecualian hadir bagi Raina. Karena ‘terserah’ versi wanita itu justru sangat memudahkan Simon.

“Oke, kita makan di resto—”

“Simon!”

Pria itu membek. Umpatannya terdengar kala mendengar panggilan berulang semakin mendekatinya. Simon membungkuk ke arah sisi dalam mobil untuk meminta bantuan pada Raina. Namun, pria itu justru dibuat terkejut oleh sang asisten.

Karena Raina tengah tersenyum lebar saat ini.

***

Janda TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang