Raina menelengkan kepala. Matanya mengerjap-ngerjap.
“Apa kau sedang merayuku sekarang, Simon?”
Mata biru Simon berbinar. “Ah, senang sekali akhirnya ada wanita yang langsung paham maksudku. Kecerdasanmu tak perlu diragukan lagi, Raina.”
Wanita itu mendengkus keras. Dia memasukkan tangannya ke saku blazer setelan kerjanya yang bergaya androgini.
“Maaf, Simon. Dalam kamus hidupku, tidak boleh ada hubungan kencan dengan rekan kerja.”
“Tapi aku bukan rekan kerjamu.” Simon bersikeras. “Aku atasanmu.”
“Apalagi dengan atasan. Dilarang keras.”
Raina tak menunggu balasan Simon. Dia berjalan mendahului pria itu memasuki restoran bergaya prasmanan yang berada di lantai enam sebuah hotel mewah di Jakarta. Namun, wanita itu tertegun saat mendengar perkataan Simon.
“Apa kau frigid? Sikapmu dingin sekali pada pria. Atau jangan-jangan kau masih perawan jadi terserang fobia takut dirayu?”
Raina membeku. Beruntung posisinya saat ini membelakangi Simon. Pria itu tak perlu melihat ketegangan di wajahnya yang memucat.
Perawan.
Kata itu terdengar begitu munafik di telinga Raina. Senyumnya getir. Lima tahun penuh dia menyembunyikan fakta tentang statusnya sekarang. Pengacara Felippe bahkan berbaik hati memberikan kartu identitas palsu demi memuluskan niat Raina memulai kehidupan pasca perceraian.
Tidak ada yang mengetahui dirinya seorang janda. Wanita itu tersenyum pahit. Mati-matian dia menjaga rahasianya. Raina tak sudi merusak ketenangan hatinya yang didapat dengan susah payah hanya karena rayuan seorang pria.
“Raina?”
Wanita itu berbalik. Senyumnya sudah menguap. Ekspresi datar itu kembali lagi.
“Ayo, kita makan. Aku sudah lapar sekali. Hari ini dua sekretarismu tidak masuk. Tenagaku terforsir untuk mengerjakan tugas mereka.”
Simon masih ingin berkata-kata lagi. Namun, pria itu mengurungkan niat. Instingnya menyuruh untuk berhenti menggerecoki Raina atau dia akan kehilangan wanita itu selamanya. Berat hati, Simon akhirnya mengikuti Raina masuk restoran.
“Astaga, kalian lama bener, sih?” keluh Bram yang sudah duduk manis dengan sepiring makanan tersaji di hadapannya.
Raina dan Simon yang datang dengan makanan di tangan masing-masing tak berkomentar. Untuk sesaat mereka hanya berdiam diri, tenggelam dalam aktivitas menyantap makan siang.
“Gue masih penasaran soal pertemuan kalian,” celetuk Bram tiba-tiba. “Ukuran bos sama aspri (asisten pribadi) kalian udah akrab banget.”
“Aku sudah bilang, aku mengenal Raina sejak tiga tahun lalu,” ujar Simon. “Dia baru lulus dari akademi sekretaris di Singapura dan melamar kerja di tempatku. Prestasinya mengagumkan jadi kutarik dia masuk perusahaan.”
“Iya juga, sih. Raina emang canggih. Lo bisa berapa bahasa, Rai? Gue pernah lihat lo ngobrol akrab sama klien Prancis.”
“Hanya percakapan dasar bahasa Prancis, Cina, dan Jepang. Aku mahir di bahasa Inggris, Indonesia, dan Italia.” Raina mendata kemampuan linguistiknya.
“Itu karena dia asli keturunan Italia,” komentar Simon. “Kau sudah tahu Raina punya separuh darah Italia dan Indonesia, bukan?” Simon memberi tahu.
“Benarkah?” Bram terlihat terkesan.
Raina mengangguk. “Ayahku orang Italia dan ibuku seorang imigran asal Indonesia. Mereka meninggal saat usiaku delapan belas tahun, kecelakaan mobil.”
Dua pria di meja makan itu memperlihatkan wajah prihatin. Raina mengibaskan tangan, menegaskan dia baik-baik saja.
“Itu sudah sangat lama. Duka citaku sudah selesai,” senyum Raina kaku.
“Jadi, setelah mereka meninggal, lo langsung pergi ke Indonesia?” Bram mengalihkan topik pembicaraan dengan halus.
Raina menggeleng. “Aku masih bertahan di Italia hingga usia dua puluh tahun. Kemudian, aku mengajukan beasiswa ke beberapa tempat di beberapa negara. Banyak yang diterima, tetapi kenalanku menyarankan untuk mencoba pendidikan sekretaris di Singapura.”
Raina masih ingat jelas hari itu. Pagi setelah Rafael meninggalkan kondominiumnya di Roma, dirinya melakukan pemilihan berkas beasiswa. Raina memutuskan ke Singapura dengan pertimbangan negara itu cukup jauh dari Italia, tetapi relatif dekat dengan Indonesia.
Dirinya ingin melihat negara tempat kelahiran ibunya. Namun, Raina tidak ingin tinggal di tempat yang sudah membuat ibunya terusir dari keluarga karena kawin lari dengan seorang bule Italia. Sialnya, kini dia justru harus menghabiskan waktu di negara kepulauan ini karena faktor pekerjaan.
“Aku mengambil studi selama dua tahun. Begitu lulus, aku melamar di Acasha dan langsung diterima. Simon sangat baik dengan langsung memberiku posisi asisten pribadi.”
Bram mengerling Simon. Sebagai sesama pria, dia tidak mempercayai kemurahan hati lajang asal New York, Amerika Serikat itu. Mencoba peruntungan, Bram melempar umpan pada pria di hadapannya.
“Mungkin enggak melulu karena kecerdasan lo aja kali?” Bram memotong daging sapinya dan menyuapkan ke mulut. “Lo itu cantik banget, Rai. Bos lo itu pasti demenlah sama yang bening-bening.”
Bram menunggu respons Simon. Dirinya juga menanti reaksi Raina. Seperti dugaannya, wanita itu masih bersikap datar. Seolah tidak terpengaruh oleh candaan Bram.
Namun, tidak dengan Simon.
Bram sedikit terkejut saat pria bule berambut pirang dengan mata biru cerah tiba-tiba memberikan satu pernyataan. Balado lidah sapi yang dikunyahnya nyaris tersembur keluar.
“Ya, aku memang menyukai Raina.” Simon menatap wanita yang duduk di sebelahnya. Dia suka pengaturan meja makan di restoran ini karena membuatnya bisa berdekatan dengan Raina.
“Suka yang kayak gimana, nih?” Bram mencoba memastikan.
Simon meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya. Pria itu mengubah posisi duduk tepat menghadap Raina.
“Jujur saja, awalnya aku menerima dia karena portofolio yang bagus. Dia sangat bertalenta sebagai seorang asisten pribadi.” Simon mengakui.
“Lalu?” Bram penasaran.
“Lalu aku mulai tertarik dengan kepribadiannya yang sangat tertutup. Dia ini terkenal dingin pada semua orang, Bram. Pria atau wanita mendapat perlakuan yang sama.”
“Ah, jiwa priamu tertantang.” Bram manggut-manggut.
“Lebih dari tertantang.” Simon meralat. “Aku ingin menjadi orang yang bisa membuatnya terus tersenyum.”
Salad yang disantap Raina mendadak jadi tidak membangkitkan selera. Tangannya yang semula aktif bergerak di mangkuk besar itu membeku. Dia sudah bisa memperkirakan apa yang akan dikatakan orang nomor satu di Acasha Indonesia tersebut.
“Bentar, kenapa gue ngerasa lo lagi nyatain perasaan sama Raina?” Bram mencoba mencairkan suasana di meja makan.
Ketegangan Raina dapat tertangkap jelas oleh hatinya. Pria itu merutuki Simon yang tidak peka sama sekali. Bahkan di awal perjumpaan dengan wanita itu pun, Bram sudah mengetahui Raina bukan tipe yang mudah dirayu ala Don Juan seperti yang dilakukan Simon sekarang.
Dan dirinya ingin melempar piring beling ke kepala Simon untuk menyadarkan pria itu.
“Karena aku memang sedang menyatakan perasaan pada Raina.” Simon membenarkan tebakan Bram.
“Aku sudah lama ingin mengajakmu berkencan. Tetapi kau selalu berlindung di balik dalih pekerjaan. Hai, Raina. Bagaimana bila kita memulai awal yang baru sekarang? Bram bisa jadi saksi jika perasaanku tidak main-main. Bukan begitu, Bram?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Janda Tersayang
RomanceRaina tidak ingin orang lain mengetahui statusnya sebagai janda dari pewaris perusahaan farmasi besar Italia, Rafael Vecchio. Apalagi wanita itu sudah memiliki kehidupan yang tenang. Jauh dari kebrutalan mantan suaminya. Namun, Raina dikejutkan saat...