4 | Aku Tidak Menyentuh Tanpa Izinmu

2K 213 2
                                    

“Dia meminta cerai?” 

Felippe mengangguk. Pria setengah abad itu datang sendiri ke kantor Rafael Vecchio, tidak mewakilkan ke ajudannya. Semata-mata karena menghormati permintaan calon janda yang terlihat sangat terluka kala bertemu dengannya.

Sekarang, mata terlatih Felippe mengamati sang calon duda yang terlihat sangat terpukul. Meski berusaha keras menyembunyikan perasaan, dan cenderung berhasil bila yang dihadapi bukan Felippe, Rafael tidak pernah sukses melakukannya.

“Itu hanya gertak sambal,” kecam Rafael.

Namun, gelengan Felippe membuat pegangan Rafael di tetikus laptop mengencang.

“Nyonya Prameswari bersungguh-sungguh dengan perceraian ini, Tuan.” Felippe kembali mengulurkan berkas perceraian yang sempat dikembalikan Rafael.

“Tolong, Anda tangani dokumen ini.”

“Jika aku tidak mau?” Rafael menaikkan alis. Punggung lelaki itu sekaku papan. Tangannya sudah gatal ingin mencekik leher istrinya karena sangat berani mengajukan permintaan konyol itu.

“Maka kami akan berusaha keras membuat perceraian ini menjadi kenyataan,” ujar Felippe tenang.

Rafael terdiam. Emosinya masih belum stabil pasca Raina kabur semalam. Ditambah kedatangan Serena dengan rajukannya yang luar biasa melelahkan. Rafael bahkan belum sempat beristirahat sejak dari bandara Malpensa.

Dibukanya lagi berkas pengajuan perceraian di hadapannya. Alasan perceraian menjadi fokus Rafael. Lelaki itu mengertakkan gigi membaca baris yang tertera di sana.

Pengajuan tuntutan karena perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan suami.

“Kami akan melampirkan surat visum dan diagnosis psikiater.” Felippe menambahkan.

Rafael hanya melirik tanpa menggerakkan kepala. Raina sudah memberi tahu semua yang terjadi, batin lelaki itu. Visum dan psikiater akan memperkuat perempuan itu mengajukan gugatan pisah.

“Kusangka dia menikmatinya.” Tanpa sadar Rafael bergumam lirih.

“Maaf, Tuan?” Felippe menatap lembut lelaki muda yang terpisah jarak meja mahoni besar dengannya.

Rafael menggelengkan kepala. Ingatannya dengan kurang ajar menampilkan sosok Raina di kamar khususnya. Tubuh perempuan itu terikat kuat di ranjang. Tak berdaya di bawah dominasi Rafael. Namun, di sisi lain, perempuan itu juga sangat memengaruhi hasrat Rafael.

Tidak ada yang menjadi dominan dalam hubungan mereka. Rafael merenung. 

Tangannya dengan tenang meraih pena dan menorehkan tanda tangan di berkas yang diinginkan. Kemudian, secara elegan lelaki itu mengembalikan dokumen pada Felippe.

“Pengacaraku akan menyelesaikan urusan tunjangan mantan istri, Tuan. Permisi, aku masih harus mengerjakan hal lain.”

***

Raina tak menyangka proses perceraiannya akan sangat cepat dan mudah.

Hanya dalam tiga bulan, status baru telah disandangnya. Dari istri seorang Rafael Vecchio, menjadi janda bungsu salah satu klan terkenal Italia itu.

Kini, Raina tidak hanya menjadi seorang janda dari keluarga terpandang, tetapi janda yang kaya raya berkat kemurahan hati Rafael yang memberinya tunjangan tak terkira.

“Oke, ini adalah kompensasi untuk kekerasan yang kau terima selama menikah, Raina.” 

Perempuan itu berusaha menyugesti diri sendiri. Dirinya tidak ingin berkubang dalam penyesalan dan rasa bersalah. Seluruh uang yang diperolehnya, Raina anggap sebagai hak yang memang pantas dia terima.

Tambahan lagi, pengacara dua keluarga juga sangat kooperatif. Mereka menjaga privasi para kliennya dengan sangat baik. Tidak ada satu pun media yang mengendus perceraian bungsu Vecchio tersebut. Bahkan hingga saat ini, identitas istri sang pewaris kedua klan farmasi itu juga masih sangat dirahasiakan.

“Ironis sekali. Aku bahkan belum diperkenalkan ke publik, tapi sudah menjadi janda.” Raina memutar kunci pintu kondominium lamanya.

Hunian sangat kecil dan kumuh yang terletak di salah satu sudut Roma. Dia sudah meminta tetangganya, yang tidak tahu-menahu tentang pernikahan Raina, untuk menjaga kondominium agar tetap terlihat bersih meski berada di lingkungan yang kumuh. 

Bau apak khas ruangan yang jarang mendapat asupan sinar matahari langsung menyambut perempuan itu. Hampir setengah tahun dirinya meninggalkan tempat ini. Secepat kilat Raina membuka seluruh jendela. Semilir angin musim semi dengan cepat merangsek masuk menghalau aroma lembap.

Tak perlu banyak berbenah. Sang tetangga sudah memberikan jasanya dengan sangat baik, setimpal dengan upah yang dikirim Raina tiap minggu ke rekening perempuan tua itu. Dirinya baru saja tiba dari Milan diantar anak buah Felippe, pengacara perceraiannya. Kini, perut Raina dihantam rasa lapar luar biasa.

Dia memutuskan membeli kebab di toko seberang gedung kondomonium. Pemiliknya masih mengingat Raina dengan sangat baik dan memberikan ekstra daging ke porsi pesanan perempuan itu. Penuh rasa terima kasih, Raina kembali naik ke huniannya di lantai tiga dengan menggenggam kebab gendut sarat protein.

Namun, langkah perempuan itu terhenti di ujung anak tangga teratas. Matanya nyalang memandang sosok yang bersandar di dinding kondominiumnya.

“Mau apa kau ke sini?” tanya Raina dingin.

Rafael berdiri tegak. Mata cokelat lelaki itu menjelajahi sosok sang mantan istri. Bibir tipis Rafael menyeringai.

“Halo, Janda,” sapa lelaki itu dalam nada sensual yang sangat diingat oleh telinga Raina.

Perempuan itu terbelalak. “Enyah dari hadapanku, Rafe.”

“Jangan terus-terusan mengusirku, Madam.” Rafael mendekati Raina.

Yang didekati berkelit lincah menghindari sang mantan suami. Koridor lengang itu tidak terlalu lebar. Raina sempat bersentuhan bahu dengan lelaki itu.

“Kau memang pantas diusir.” Raina memasukkan anak kunci ke lubangnya.

“Tempat tinggalmu sangat bobrok.” Rafael mengamati pintu kayu tipis yang sangat mudah didobrak. “Tunjangan bulanan dariku bahkan bisa digunakan untuk membeli rumah mewah, Rai.”

“Bukan urusanmu aku mau tinggal di mana.” Perempuan itu berkata ketus. “Silakan pergi. Aku tak ingin melihatmu lagi.”

Namun, kaki Rafael yang terjulur menahan daun pintu kondominium menutup. Raina menyipitkan mata kesal.

“Bisakah kau tidak menggangguku lagi, Rafe?” pinta Raina.

“Aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan.” 

“Kita sudah melakukannya di pengadilan.” Raina mengingatkan pertemuan terakhir mereka saat hakim membacakan putusan cerai.

Rafael menggeleng. “Besok aku akan meninggalkan negara ini.”

Raina tertegun. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Rafael. Sangat luwes pria itu menyelinap masuk dan menutup pintu kondominium. Kini, mereka berdiri berhadapan di lorong kecil tempat penyimpanan sepatu.

“Aku akan pergi, Rai. Sudah kuputuskan untuk tidak mengambil hak waris perusaan Padre.”

Raina menelan ludah. Itu keputusan yang sangat besar. Dirinya tahu itu. Yang tidak perempuan itu mengerti, mengapa Rafael harus mengatakan rencananya pada dirinya.

“Izinkan aku tinggal di sini malam ini.”

“Rafe?” Raina menggeleng. “Tidak boleh. Kita sudah bukan suami istri lagi.”

“Aku tidak akan menyentuhmu tanpa izin, Rai.” Lelaki itu meraih tangan Raina dalam genggaman. “Percayalah padaku.”

***

Janda TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang