Jantung Simon sontak berdegup kencang. Dia tidak ingat kapan terakhir kali melihat senyum selebar itu di wajah Raina. Yang jelas, suasana hati Simon yang semula terjun bebas, kini langsung melonjak drastis.
“Simon!”
Pria itu mengaduh dalam hati. Keasyikannya menikmati senyum di wajah Raina terusik karena ulah seorang pengganggu. Ekor matanya menangkap bayangan pria lokal tengah berlari-lari kecil ke arahnya.
“Hei, lo mau makan siang? Gue nebeng, dong.”
Ingin rasanya pria itu mencekik leher sang pengganggu lalu menendangnya jauh-jauh ke Sungai Ciliwung. Level keberisikan orang yang baru datang itu setara dengan sampah yang dilihatnya banyak bertebaran di sungai legendaris Jakarta itu.
“Hai, Bram?” Raina menyapa dari dalam mobil. “Kami mau makan siang. Bareng aja, yuk?”
Simon melotot galak pada Raina. Yang dipelototi sedang tidak melihat ke arahnya. Atau pura-pura tak melihat, tuduh pria berambut pirang itu dalam hati. Kemudian, dia melempar tatapan tajam membunuh pada Bram.
“Wih, kebetulan. Kantin penuh banget. Gue antri dari tadi malah kehabisan makanan.”
Tanpa izin Bram langsung masuk ke kursi belakang mobil berjenis sedan itu. Percakapan remeh-temeh dengan segera terjadi antara Bram dan Raina. Sementara Simon praktis jadi kambing congek di antara dua orang itu.
Menggerutu panjang-pendek, Simon akhirnya duduk di belakang roda kemudi. Pria itu terpaksa menjadi relawan dalam interaksi Bram dan Raina yang sangat akrab. Kecemburuan menghantam telak dada Simon karena tidak dilibatkan dalam percakapan dua orang tersebut.
Lebih menjengkelkannya, citra dingin Raina seolah luntur di depan Bram. Wanita itu beberapa kali terlihat mengulas senyum meski tipis. Percakapan berbahasa Indonesia mereka juga terdengar lancar dan akrab.
“Halo, aku masih ada di sini.” Simon tak tahan lagi setelah sepuluh menit penuh berdiam diri.
Bram menoleh ke arahnya. “Oh, maafin gue, Bro. Lupa gue kalo lo ada di sini.”
Simon mengedikkan bahu yang ditepuk Bram. Sejujurnya dia tidak membenci pemilik bisnis periklanan yang bironya tepat berada di gedung samping Acasha. Beberapa kali perusahaannya memanfaatkan jasa Bram untuk melakukan promosi produk.
Namun, siang ini kekesalannya mendadak muncul. Sudah berhari-hari dirinya tidak bisa menghabiskan waktu tenang bersama Rania. Beban kerja gila-gilaan tuntutan dari perusahaan induk di Amerika membuat Simon jadi senewen.
Saat kesempatan untuk berduaan dengan Rania tiba, justru datang pengacau berkedok teman. Bersikap sok akrab dan memonopoli Rania seorang diri. Ingin rasanya pria itu menghantam roda kemudia. Akan tetapi, dia harus menjaga citra diri sebagai pengusaha yang flamboyan.
“Gimana kantor?” Bram seolah tak merasakan kekesalan Simon.
“Buruk,” jawab pria itu jujur. “Penjualan produk di wilayah Jawa bagian timur belum sesuai target. Kenaikan penjualannya sangat rendah. Hanya lima persen per bulan. Jika terus dibiarkan seperti ini, kurang dari setahun lagi Acasha harus hengkang dari wilayah itu.”
Bram, seorang pria Indonesia peranakan Jakarta asli dengan usia sebaya Simon, melirik Raina. Ekspresi wanita bertampang blasteran itu kembali datar. Decak halus Bram terdengar keras.
“Kalo ada orang tanya kerjaan di jam istirahat, itu basa-basi doang, Bro.” Bram menghentikan ocehan Simon. “Lo cukup bilang ala kadarnya aja. Bikin bosen, tahu!”
Dari spion atas dasbor mobil, Simon melirik Bram dalam tatapan tersinggung. Pria bertampang lokal dengan kulit sawo matang dan senyum tak pernah lepas dari bibir itu terlihat mencolek Rania.
“Apalagi kalo ada cewek secantik ini deket kita. Pantang ngomongin kerjaanlah.”
Simon melotot galak. Rania kembali mengulas senyum tipis. Bram beraksi lagi.
“Jadi, gimana referensi film yang gue kasih kemaren?”
Simon menyipitkan mata. Perasaannya tak tenang saat mendengar Rania menjawab pertanyaan Bram dengan keakraban yang belum pernah ditunjukkan wanita itu pada Simon sebelumnya.
“Sudah kubilang, aku tak terlalu suka nonton film. Aku lebih nyaman membaca buku.”
“Ah, ngebosenin lo.” Bram menghempaskan punggung ke sandaran sofa. Namun, sedetik kemudian pria itu kembali duduk mendekati Raina.
“Gue punya kopi baru. Asli dari Medan, oleh-oleh temen gue baru mudik dari sana. Lo mau coba?”
“Kopi apa?” Kali ini Raina menunjukkan ketertarikan yang tampak jelas.
“Sidikalang. Rasanya lebih light ketimbang gayo yang gue kasih tempo hari.”
Simon makin kesal dengan percakapan dua orang itu. Apalagi melihat kebekuan Raina seolah mencair di hadapan Bram. Dengan sengaja, dia membelokkan kendaraan tanpa menginjak pedal rem. Alhasil Bram yang tidak mengenakan sabuk pengaman harus rela terguling akibat manuver sang sopir.
“Buset, lo enggak bisa kalem dikit kalo nyetir?” gerutu Bram.
“Kalian membicarakan hal yang tak kumengerti,” protes Simon.
“Yah, gimana mau ngerti? Lo sukanya wine, kita orang demennya kopi. Mana nyambunglah?”
“Memangnya kamu sendiri tidak suka wine?” Simon mengangkat alis tinggi-tinggi.
“Enggaklah. Gue enggak suka minol (minuman beralkohol). Haram buat gue minum gituan.”
Simon mencibir dalam hati. Tampang Bram memang rapi meski ada aura eksentrik di sana. Namun, seorang Bram sangat jauh disebut religius. Karena itu, Simon tak percaya saat pria di jok belakang menggunakan hukum agama untuk menolak tuduhannya.
Hanya saja, Simon tidak berminat untuk berdebat. Kepalanya sudah penuh dengan berbagai pekerjaan. Pria itu memutuskan makan siang di salah satu restoran eksklusif yang terletak di wilayah SCBD, Jakarta Selatan.
Sayang, kekesalan Simon makin memuncak saat melihat Raina justru makin menempel pada Bram begitu turun dari mobil. Dua orang itu tampak serius membicarakan hal-hal tentang kopi. Topik yang sama sekali tidak disukai oleh Simon.
“Raina?” Pria itu memanggil saat Bram berada cukup jauh di depan mereka.
“Ya, Simon?” Raina kembali memasang topeng dinginnya di hadapan pria itu.
Simon mengernyitkan dahi. “Kenapa kau seformal itu padaku sementara tidak pada Bram?”
Raina mengamati pria yang berjalan jauh di depan mereka. Sepertinya Bram sudah sangat kelaparan karena kakinya seolah melesat bak busur panah.
“Karena kau atasanku dan Bram termasuk klien kita,” jawab Raina datar.
Kernyit di dahi Simon makin dalam. Spontanitas pertanyaannya meluncur begitu saja, menggambarkan kejujuran hatinya saat itu.
“Apa aku perlu jadi klienmu agar bisa mendapatkan senyumanmu?”
Raina tertegun. Langkahnya terhenti sejenak.
“Apa maksudnya itu?”
“Ayolah, Raina. Kita sudah sama-sama dewasa. Tak perlu basa-basi lagi.” Simon mendekati wanita yang berjarak satu setengah meter darinya itu.
“Aku cemburu melihatmu bersikap hangat pada pria lain. Seharusnya aku yang hanya mendapat senyumanmu. Jadi, apa kau akan memberikan hal yang sama padaku mulai dari sekarang, Raina?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Janda Tersayang
RomanceRaina tidak ingin orang lain mengetahui statusnya sebagai janda dari pewaris perusahaan farmasi besar Italia, Rafael Vecchio. Apalagi wanita itu sudah memiliki kehidupan yang tenang. Jauh dari kebrutalan mantan suaminya. Namun, Raina dikejutkan saat...