3 | Malam Pertama dengan Wanita Lain

2.4K 204 1
                                    

Raina akhirnya bisa merebahkan badan. Kasur hotel yang dihuninya sangat empuk dan nyaman. Namun, terasa asing dan dingin tanpa kehadiran Rafael.

“Sialan kau, Rafe. Aku sudah bertahan selama ini dan kau masih saja menganggapku tak ada?”

Raina mencengkeram selimut. Dia berguling-guling tak tentu arah. Perasaannya tak tenang. Dia sengaja meninggalkan gawai di rumah keluarga Vecchio dengan harapan tidak ada yang bisa mengendus jejaknya.

Dan dirinya juga sudah melakukan persiapan matang sejak seminggu usia perkawinan mereka.

“Kalian pikir bisa menindasku begitu saja?” Raina akhirnya menyerah.

Dia bangkit dan menyeret tubuh ke meja rias. Tempat dia meletakkan ransel kecilnya. Benda berukuran sebesar buku tulis itu hanya bisa dimasuki dompet kecil dan buku tabungan. 

“Menerima tawaran ibumu sama saja bekerja sama dengan setan, Rafe.” Raina bermonolog. Dikeluarkannya dompet berisi uang tunai cukup banyak.

Dia telah memindahkan seluruh uang yang diperolehnya selama perkawinan ke rekening khusus yang sulit dilacak oleh Vecchio. Raina perlu mengamankan dirinya dari prospek kemiskinan jika terjadi sesuatu yang buruk padanya. 

“Kau tak bisa memblokir rekeningku, Rafe.” Raina terkekeh. Dibacanya nominal saldo yang tercetak di buku tabungan.

“Yah, terima kasih untuk oleh-olehnya. Setidaknya menikah denganmu tak ada ruginya.” Raina menepuk buku tabungan.

Kini, perempuan itu berjalan ke kamar mandi. Dilucutinya jubah satin yang sedari tadi membungkus tubuh. Dia tak mengenakan apa pun di balik helaian tipis itu. Tidak ada pakaian dalam karena Rafael tak menyukai istrinya mengenakan carikan kain penutup alat vital.

“Kau kejam, Rafe.”

Diamatinya bilur-bilur di pergelangan tangan dan kaki. Meski Rafael sudah berhati-hati saat mengikatnya, tetap saja bekas benda sialan itu masih terlihat di kulit eksotisnya.

“Tapi aku menyukai kekejamanmu.” Perempuan itu menghela napas.

Jemari lentiknya yang tidak berpulas cat kuku warna apa pun menari-nari di kulit sehalus sutera. Raina memejamkan mata, membayangkan jemarinya adalah jemari Rafael. Bibir perempuan itu meloloskan nama sang kekasih sebelum terengah dan menggelosor di lantai.

“Astaga, bagaimana aku bisa lupa padamu?” Air mata kembali merebak. Kasar Raina mengusapnya dengan punggung tangan.

“Hanya sebulan dan kau sudah mengubahku jadi monster. Brengsek kau, Rafael.”

Raina masih terus memaki sang suami, hingga beberapa lama. Saat keluar dari kamar mandi, jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia hanya punya waktu satu jam sebelum bertemu dengan pengacara yang diam-diam dikontaknya selama menikah dengan Rafael.

Hanya ada mantel bulu panjang. Raina memakainya dan memastikan seluruh bagian tubuh tertutup dengan sopan. Dia memulaskan lipstik yang berhasil dimasukkannya dalam tas persiapan melarikan diri.

Lobi berdominasi warna abu-abu itu terlihat lengang saat Raina keluar lift. Resepsionis yang semalam melayaninya masih setia duduk di belakang meja. Pandangan Raina menyapu ruang tunggu dan menemukan sesosok pria berumur setengah abad yang duduk di sofa tunggal.

Perempuan itu sedikit menggigil kedinginan. Cuaca musim semi Milan belum menampakkan tanda-tanda kehangatan. Di luar matahari belum memunculkan sinarnya, tetapi kegelapan sudah mulai meninggalkan peraduan. 

Raina bergegas menghampiri pria berpakaian perlente itu. Seorang pengacara senior dari firma hukum terkenal di Milan.

“Selamat pagi, Nyonya.”

Raina hanya mengangguk sekilas. Dia sedang tidak dalam suasana hati yang bagus.

“Maaf memintamu datang sepagi ini. Ada hal sangat penting yang harus kubicarakan.”

Pengacara itu menatap Raina dalam diam. Ekspresinya tenang, tetapi sepasang mata kelabu itu mengamati saksama sosok mungil di hadapannya.

Dirinya mengenal Raina Prameswari sebagai perempuan keturunan Indonesia yang bermukim di Italia. Pertama kali bertemu, pria itu tak menyangka Raina masih berusia dua puluh tahun. Perempuan itu memiliki kualitas kedewasaan yang langka ditemukan pada orang seusianya.

“Apakah Anda ingin mengajukan gugatan perceraian?”

Raina senang sang pengacara bicara tanpa berputar-putar. Secara tegas, perempuan itu menganggukkan kepala.

“Ya. Secepatnya, Signore. Aku ingin sesegera mungkin berpisah dengan Rafael Vecchio.”

***

Serena menarik koper mungilnya. Keletuk sepatu berhak lima belas senti yang dikenakannya membaur dengan kebisingan terminal kedatangan internasional. Kacamata hitam bertatahkan berlian yang membentuk logo sebuah rumah mode Italia bertengger melapisi mata hijaunya.

Hingga tiba di pelataran depan bandara, perempuan itu menolehkan kepala kanan-kiri. Hidung mancungnya mengerut. Decakan kesal keluar dari bibir berlapis lipstik merah menyala.

“Kenapa kau tak bilang kalau keluar dari terminal sini?”

Serena menoleh sangat cepat. Bibir yang semula mencebik masam kini berubah melengkung ke bawah. Senyum lebarnya tersungging untuk sang penjemput.

Meninggalkan koper begitu saja, Serena berlari kencang ke arah lelaki muda dengan postur jangkung dan ramping berotot. Perempuan itu meloncat begitu saja ke pelukan si lelaki. Tanpa malu-malu dia melingkarkan sepasang tungkai mengelilingi pinggang yang ramping.

“Rafe! Aku kangen dirimu!” Serena menghadiahkan hujan ciuman ke seluruh wajah lelaki itu.

Dan dia berlama-lama memagut bibir tipis Rafael. Sayang, si lelaki tidak merespons rayuannya.

“Rafe?” Serena mengerucutkan bibir.

Tangannya melingkari leher lelaki itu. Dia masih nyaman bertengger di gendongan Rafael.

“Jaga tingkahmu,” kata Rafael dingin.

“Hei, aku merindukanmu.” Serena memprotes.

“Tapi aku tidak.”

Perempuan bertinggi seratus tujuh puluh lima senti dengan tubuh langsing bak model itu setengah meronta saat Rafael menurunkannya. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa karena lelaki itu tengah menatapnya sangat tajam.

“Aku sudah jadi suami orang.”

Serena mencibir. “Sejak kapan status itu membelenggumu? Kau bahkan menghabiskan malam pertama pernikahanmu denganku, bukan dengan istri mungilmu itu.”

Serena menangkap basah raut muka kaku Rafael. Perempuan itu tertawa kecil. Jemari lentik berkuku panjangnya mengusap dada bidang Rafael.

“Kau tak akan bisa lepas dariku, Rafe. Jadi, menyerahlah.”

Lelaki itu menggerutu. Dia berjalan ke arah koper Serena lantas menyeretnya pergi. Sebuah mobil sedan sederhana berwarna biru tua menjadi arah baru Rafael melangkah. Namun, tangannya dicekal Serena.

“Kau yakin menjemputku dengan mobil butut itu?” Hidung Serena mengerut jijik.

“Iya.”

“Mana mobil sport-mu?”

“Aku sedang malas membawanya.”

Serena menghentakkan kaki kesal. “Rafe, apa jadinya bila orang melihatku menumpang mobil sebutut itu?”

“Pendukungmu akan memuja kesederhanaanmu. Media akan menyatakan dirimu bangkrut,” jawab Rafael enteng.

“Aku tak mau!” tolak Serena.

“Kalau begitu, naik taksi limosin. Aku tak punya waktu meladeni tingkah manjamu.”

Serena hendak protes lagi, tetapi menahan diri tepat waktu karena gawai Rafael berdering. Perempuan itu penasaran mengamati ekspresi sang lelaki yang mendadak berubah sangat serius.

“Rafe, ada apa?” Serena menyentuh bahu Rafael.

“Serena, aku minta maaf. Pulanglah dengan taksi. Ada hal penting yang harus kuurus di kantor pengacara. Kau masih ingat jalan pulang, bukan?”

***

Janda TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang