10 | Olahraga Bibir

1.8K 164 0
                                    

Kepala Simon makin menunduk. Embusan napas panas pria itu terasa jelas di wajah Raina. Aroma mint menguar lembut dari mulut Simon seiring bibir pria itu yang mulai terbuka, bersiap melahap keranuman yang ditawarkan Raina.

Tinggal beberapa inci lagi dan mereka akan memulai sesi olahraga bibir. Akan tetapi, takdir tidak semudah itu mengabulkan keinginan Simon. Mata pria itu yang telah terpejam sontak terbuka lagi kala mendengar denting pintu lift.

“Brengsek!” Simon langsung melepaskan Raina.

Kesalahan fatal dilakukan pria itu. Akibat panik, dia lupa jika posisi Raina tidak sedang berdiri kokoh. Alhasil, wanita itu langsung jatuh dengan suara keras.

“Ya, Tuhan. Raina, lo enggak apa-apa?” Bram buru-buru menghampiri sang asisten Simon.

Sementara Raina sibuk mengelus-elus pantat yang membentur lantai. Tulang ekornya serasa patah karena kerasnya posisi jatuh. Apalagi dia sempat terpeleset sepatu berhak tinggi yang dikenakan.

Simon terbelalak melihat ulahnya sendiri. Benaknya yang terisi rencana untuk merenovasi ruang asisten pribadi agar menyatu dengan kantornya buyar seketika. Buru-buru dia membantu Raina berdiri. Namun, pria itu kalah cepat dibanding Bram.

“Raina, maafkan aku.” Simon berucap sungguh-sungguh.

Raina hanya mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Dia mengambil tasnya dan mengeluh dalam hati menyadari isinya berceceran ke mana-mana.

Dibantu Bram dan Simon, wanita itu mengumpulkan barang-barangnya. Setelah itu, dia bertanya pada Bram.

“Kenapa kau ke sini?”

“Oh, gue pengen minta bantuan lo bentar.” Bram menoleh pada Simon. “Boleh gue pinjam Raina? Nanti malam gue antar dia pulang.”

“Orang-orangmu sendiri di mana?” Simon mengerutkan dahi.

“Mereka enggak bakalan ngerti soal ginian.” Bram mengacak rambut belakangnya. Wajah pria itu terlihat frustrasi. “Ada klien penting mau datang akhir pekan ini. Iseng gue ajak datang ke party. Sialnya dia mengiakan.”

“Bagus kalau begitu.” Simon yang sudah bisa menguasai diri mulai menemukan ketenangannya.

“Panik gue. Dia sekalian mau teken kontrak setelah party. Gue bingung mau service kayak gimana. Klien prioritas ini.”

“Sama seperti perusahaan kami?” Raina bertanya.

Bram meringis. “Hampir sama, sih. Cuma ini klien baru berasa pengen cabut nyawa gue kalo lakuin salah dikit aja. Gosipnya dia anggota mafia. Gosipnya lagi, dia raja tega bangkrutin perusahaan orang kalo enggak sesuai harapan dia.”

Raina dan Simon bertukar pandang. Keduanya paham ada pengusaha-pengusaha tertentu yang memang menjalankan usahanya dengan kejam. Namun, ketakutan pada rumor yang belum terbukti kebenarannya adalah hal yang salah.

“Raina, kan, udah sering nanganin klien bule. Boleh, ya, gue minta tolong dia?”

“Boleh saja.” Raina menjawab tanpa menunggu persetujuan Simon. Tanpa menoleh pada atasannya, wanita itu memberi isyarat pada Bram untuk pergi.

“Raina, kau harus pulang bersamaku.” Simon berusaha mencegah kepergiannya wanita itu.

Namun, jawaban datar Raina membuat Simon mati kutu.

“Membantu perusahaan rekanan adalah keuntungan bagi kita, Bos. Kau bisa menagih utang budi pada Bram suatu hari kelak.”

Bram menyeringai lebar. “Gue orang yang tanggung jawab, kok. Tenang aja, utang bakal gue bayar lunas.”

Simon hanya mampu melihat kepergian teman dan asistennya. Dengan masygul, dia berjalan pulang seorang diri. Sepanjang perjalanan menuju parkir bawah tanah, pria itu tak henti mengulas senyum.

Dia hampir mengecup Raina. Itu akan jadi ciuman pertama mereka bila tidak ada pengganggu yang datang. Fakta jika wanita itu tidak menolak kedekatannya menerbitkan harapan di hati pria itu.

“Sekarang memang masih gagal, Raina. Lain waktu aku akan melakukannya dengan baik dan benar. Saat itu terjadi, kupastikan kau akan bertekuk lutut padaku.”

Sementara Simon larut dalam euforia angan-angannya, Raina dan Bram melaju ke salah satu mal besar di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tujuan mereka adalah meminta salah satu gerai restoran barbeku untuk mempersiapkan menu di pesta perusahaan Bram.

“Jadi, bagaimana kau bisa bertemu dengan klien tersebut?”

Bahkan setelah satu tahun tinggal di Jakarta, Raina masih terus menggunakan bahasa baku. Lidahnya sangat sulit menirukan dialek penduduk lokal. Semua itu juga dipengaruhi ibunya yang selalu mengajarkan bahasa Indonesia dalam format baku.

Gaya bicara yang sempat ditertawakan Bram di awal perkenalan. Namun, makin ke sini, pria itu mulai bisa beradaptasi dengan qkeformalan Raina.

“Gue menang tender,” jawab Bram. “Presentasi perusahaan gue diterima baik sama mereka. Padahal waktu itu iseng doang.”

“Nilai tendernya?”

“Lima ratus ribu dolar.”

Raina tercengang. “Iklan apa yang akan kau tangani?”

“Produk minuman.” Bram menyeringai. “Favoritnya Simon.”

Raina terbelalak. “Lalu kenapa kau mengajakku? Harusnya kau ajak Simon. Dia tahu soal wine lebih baik daripada aku.”

“Dia memang bagus di pengetahuan produk, tapi gue lagi nyari bantuan orang yang mahir jadi tuan rumah.” Bram mengerucutkan bibir. “Dan jelas itu bukan Simon. Dia aja sering minta bantuan lo buat nyiapin keperluan dia.”

Raina mengangguk singkat. Mereka sudah berada di mal dan segera menuju gerai restoran yang diinginkan Bram. Persiapan makanan mendapat perhatian khusus karena info yang diperoleh pria itu, calon kliennya akan datang bersama sepasukan tim.

“Astaga, dia mau datang ke pesta kasual atau mau menyerang perusahaan orang?” Raina bertanya tak percaya setelah mendengar jumlah orang yang diajukan pihak klien.

“Gue malah lebih takut mereka mabok terus bikin kekacauan.”

“Kalau begitu, pindah lokasi pestamu di rooftop gedung saja. Jika mereka buat ulah, kau tinggal tendang mereka ke bawah.”

Bram terbelalak. “Ya, Tuhan. Lo brutal bener jadi cewek? Ini beneran lo belum pernah kencan sama siapa pun? Hati-hati, susah dapet cowok kalo lo punya otak psikopat kayak gitu.”

Raina berkata santai. “Aku memang tidak sedang mencari pasangan.”

Bram melirik wanita di sampingnya. “Lah, Simon gimana?”

“Dia hanya atasanku saja.”

Bram memutar bola mata. “Gue kira yang namanya aspri sama bos lawan jenis pasti bakal ada cinlok-cinlokan.”

Raina menggeleng. “Tidak semua. Aku hanya berusaha menjaga sikap profesional. Mencari pasangan di tempat kerja adalah jalan instan menuju kelambatan karier.”

Bram manggut-manggut. Mereka melewati salah satu butik desainer papan atas Indonesia. Raina sempat berhenti untuk melihat kebaya yang dipakai manekin.

“Model kebaya ini pernah tersandung kasus terorisme, bukan? Mikhaela Shaik kalau tidak salah.”

Bram mengedikkan bahu. “Namanya udah bersih sekarang. Itu fitnah keji dari Israel katanya.”

“Bahkan politik luar negeri bisa menggapai dunia fashion rupanya.” Raina termenung.

“Lo emang enggak niat pacaran sekarang ini?”

Raina mengangguk mantap. “Aku ingin berfokus pada karier dulu. Menabung banyak uang untuk memulai bisnisku sendiri.”

“Wah, lo kayaknya perlu kenalan sama klien gue, nih. Ambisi dia mirip sama lo.”

“Siapa namanya?” 

Bram menjawab sangat cepat. “Namanya Rafael Rys. Orang Italia.”

***


Janda TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang