Langkah Kelima Belas

278 21 4
                                    

Ran membawa dua buah derigen kosong di sebelah tangannya. Sementara tangan lain membawa botol air mineral ukuran 1.5 liter. Ia mengikuti Zaki yang berjalan di depannya bersama Dewi. Irisnya tak henti-hentinya menatap takjub alun-alun yang sedang mereka seberangi sekarang. Mereka melewati beberapa area camp rombongan pendaki lain yang dengan ramah menyapa. Angin kencang yang rasa-rasanya bisa menerbangkan tubuhnya terus bertiup, menerbangkan anak-anak rambutnya yang bebas tak terikat.

Di ujung timur alun-alun mereka berbelok ke sebelah kiri, berjalan turun menuju lembah kecil yang dialiri sungai sempit. Pendaki lain juga terlihat sedang mengisi derigen air mereka. Ketiganya langsung berjongkok, bergabung bersama yang lain mengisi derigen dan botol air yang mereka bawa. Air ini nantinya akan dipakai untuk memasak sarapan, serta mengisi persediaan air untuk perjalanan turun.

"Foto dulu yuk di sini," Dewi menunjuk plang petuntuk yang tertanam tak jauh dari jalur sumber air. "Lu, fotoin kita!" Dewi menaruh derigen air miliknya dan menyerahkan ponselnya pada Zaki yang terlihat malas.

Ran segera berdiri di samping Dewi, nyengir lebar sebagai pose pertama.

"Yuk udah yuk. Kita mau turun sebelum dzuhur," Zaki mengudahi sesi foto itu.

Dewi segera mengambil ponselnya dari tangan Zaki, lalu memeriksa hasil jepretan cowok sunda itu.

"Ah, gak ada yang bagus fotonya!"

Zaki mendengus, "Ran, yuk jalan. Tinggal aja deh ni anak satu. Ribut mulu!"

Ran terbahak melihat Zaki yang dihadiahi pukulan keras di punggung oleh Dewi.

"Eh, eh, Teh, derigen airnya kok ditinggal?" Ran memanggil Dewi yang ngeloyor lebih dulu.

"Biarin si Zaki yang bawa!"

Zaki memejamkan matanya, menahan kesal, beberapa saat kemudian wajahnya kembali cerah. "Arkan!"

Mendengar nama itu Ran langsung menoleh. Senyumnya mengembang lebar melihat sosok jangkung itu.

"Kalian lama. Di suruh nyusulin. Itu si Dewi kenapa duluan?"

Zaki menggedikkan bahu, "Derigen bawa ya, tuh!"

Arkan menatap Zaki yang segera berlari mengejar Dewi, meninggalkan dirinya dan Ran yang kini memandangnya geli.

"Kenapa sih mereka?" tanya Arkan bingung.

Ran tertawa kecil, menggedikkan bahunya, "Susul, yuk."

.

Selesai sarapan Zaki mengumpulkan anggota rombongannya. Seluruh tenda sudah rapi, kembali masuk ke dalam keril. Bekas api unggun sudah dibersihkan dan semua sampah kelompok kami sudah terkumpul rapi di dalam trash bag yang kini menggantung di keril Dede.

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, terutama pasak tenda yang sering kali terlewat, rombongan mereka akhirnya memulai perjalanan menuju puncak Gede. Pelan tapi pasti, langkah mereka membelah alun-alun Surya Kencana yang membentang diketinggian 3000 mdpl sejauh kurang lebih satu kilo meter.

Angin gunung bertiup kencang hingga derunya terdengar jelas menggores jaket anti air mereka. Hangatnya sinar matahari pagi kontras dengan dinginnya udara, menjadi penyeimbang suhu yang pas. Embun-embun di pucuk edelweiss perlahan sirna. Menguap. Melangit.

Dari alun-alun mereka masih harus menempuh perjalanan selama satu jam untuk bisa mencapai puncak. Jalur yang dilewati sungguh bukan hal yang bisa di syukuri. Setapak batu dengan undakan-undakan tinggi menyambut mereka. Untunglah tidak terlalu licin meski jalur itu masih terasa lembab pagi ini.

Ran berjalan mantap. Hatinya tak mampu menahan gejolak antusias sekaligus gugup yang menjelma mulas di perutnya yang kenyang. Lebam di kakinya ternyata lebih banyak dari yang ia kira, serta ada tambahan luka di telapak tangannya hasil jatuhnya yang kedua di pos 4 semalam. Meski begitu, ia tetap melangkah, mengabaikan sakit di tubuhnya.

"Ran kaki kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Tia cemas mendengar ringisan Ran.

Sebagai jawaban Ran hanya menggeleng dan tersenyum.

"Mau pake track pole aku?" Tanya Dewi seraya menyodorkan sepasang tongkat kecil di genggamannya untuk menopang tubuh.

"Nggak, Teh ... nanti kalo udah kerasa capeknya baru pinjem yaa."

Para anggota cowok yang memang sudah biasa mendaki melangkah mantap, sebentar saja mereka sudah jauh di atas. Sementara para anggota cewek melangkah pelan namun pasti. Jalurnya yang benar-benar hampir tegak lurus memaksa mereka berhenti setelah dua langkah, menyandar pada batang pohon basah berlumut.

Ran melangkah mengikuti jejak Tia di depannya, sepenuhnya sadar akan keberadaan Arkan yang terus membuntutinya. Mereka kembali berada di paling belakang rombongan.

"Eh gila ya aku engap banget," Tia berkacak pinggang, menunduk menopang tangannya di lutut.

"Iya, ih ... ini mah lebih-lebihan dari kemarin," timpal Ran yang sedang berusaha mengisi paru-parunya.

"Ran aku minta minum dong,"

Ran menyodorkan botol air mineral yang nangkring di sisi kerilnya.

Tiga puluh menit kemudian, jalur terjal berbatu itu berganti dengan jalan berpasir. Pohon-pohon di sekitar mereka mulai jarang, hingga akhirnya mereka sampai di area terbuka tak berpohon. Pagar tali terlihat tak jauh dari ujung jalur pendakian. Ran tahu, mereka sudah sampai.

Ran menghirup udara sedalam-dalamnya. Perlahan kakinya melangkah mendekati batas tali di depannya. Matanya melebar seiring penampakan kawah luas di bawah sana terlihat. Mayahari yang bersinar cerah ditemani sedikit gumpalan awan berarak. Di sebelah timur terlihat puncak Pangrango yang menjulang misterius. Tiba-tiba saja hatinya mencelos. Hadiah besar yang kini sedang dinikmati irisnya telak memukul dadanya, menimbulkan sesak yang memannggil air matanya keluar dari persembunyian.

Baginya perjalanan ini bukan hanya soal mendaki. Ia menyadarinya begitu air matanya mengalir. Sebuah tekad yang ia bawa sejak di rumah langsung menguat. Puncak gunung ini menyadarkannya betapa ia ingin memiliki hidupnya seutuhnya. Ia sudah berjalan sejauh ini, untuk pertama kali, memperjuangkan keinginannya.

"Puncak gunung emang punya efek begini, ya ..." seloroh Arkan yang sudah berada di sampingnya.

Ran buru-buru mengusap air matanya. Mendadak malu.

"Nggak pa-pa lagi ... aku juga pertama kali muncak nangis," Arkan terkekeh, "Capek banget. Sepanjang perjalanan rasanya pengen mati, nyesel banget ikut mendaki. Begitu sampe puncak, rasanya terharu aja ternyata diri ini mampu!"

Ran mengangguk, "Kukira aku juga nggak bakal kuat. Masih nggak percaya akhirnya sampai. Perjalanannya panjang banget, kirain nggak bakal sampai dan bener kata A Arkan, rasanya mau mati," Ran terkekeh.

"Hidup juga gitu!" Seloroh Arkan, "Selalu ada hasil yang pantas untuk semua usaha kita. Kadang kalau mau mencapai sesuatu emang harus maksa. Sama kayak kita mendaki, sebenarnya bisa sampai puncak itu sebagian karena dipaksa. Harus terus jalan karena untuk balik lagi udah kadung berangkat ..."

Ran mengerti arah pembicaraan ini, "Aku mau kuliah di Jogja!"

"Pergi lah ..."

"Mama nggak ngasih ..." Ran menggigit bibirnya, "Tapi setelah pendakian ini rasanya aku bisa berjuang buat mimpiku itu. Puncak emang punya efek begini, ya ..."

"Good," Arkan menepuk pucuk kepala Ran.

.
.
[11/05/21]

Aku bisa ngelanjutin cerita ini cuma karena ada satuuu aja pembaca ... iya, sekuat itu power pembaca buat penulis!!!

Thanks a lot buat yang udh baca cerita ini 💞

-af

ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang