Langkah Kedua

129 14 4
                                    

Stasiun Bogor berjarak cukup jauh dari rumah Ran di Dramaga. Ia naik ojek online dari depan rumahnya saat hari masih gelap. Orang tuanya belum bangun, mungkin nanti akan kebakaran jenggot ketika menyadari anak perempuan mereka satu-satunya menghilang di hari pertamanya ospek. 

Ini hari Senin. Hari kerja. Hari pertama dalam seminggu. Hari paling sibuk karena merupakan hari pembuka. Semangat masih menggebu akibat suasana awal minggu yang membingungkan. Distorsi mood lumrah terjadi karena Senin merupakan hari peralihan dari hari libur menuju hari kerja. Meski semangat, namun sebenarnya malas. Tentu kalian mengerti apa maksudnya. 

Ran pergi tanpa pamit pukul setengah 6 pagi. Karena jauh, ia memilih berangkat satu setengah jam sebelumnya guna menghindari keterlambatan dan pertemuan dengan orang tuanya. Ia mendaftar event pendakian ini tanpa persetujuan mereka. Ketika di mobil ia menyampaikan niatnya ini, Sandra dan Anjas hanya tertawa renyah, menganggap Ran bergurau di siang bolong. Sayangnya selera humor Ran tidak seburuk itu.

Ia menyewa semua perlekapan yang diwajibkan untuk dibawa. Ada grup whatsapp yang berisikan seluruh peserta kelompok pendakian ini. Orang-orang dalam regu ini datang dari berbagai daerah. Ran membaca semua percakapan mereka di dalam grup itu. Adrenalin berpacu dalam darahnya ketika ia mengetikkan balasan untuk pertanyaan yang diajukan ketua tim mereka di grup.

Ah, ia akan benar-benar pergi rupanya. . .

Ran tak pernah membahas soal 'naik gunung' lagi pada orang tuanya. Seraya mengurus semua perlengkapan mendakinya diam-diam (sedikit meminta tolong pada Fiya, teman dekatnya di SMA untuk menitipkan semua perlengkapannya di rumahnya), ia juga melengkapi persyaratan ospeknya. 

Meski tak berniat menghadirinya, ia menyiapkan segala hal agar orangtuanya tak curiga kalau ia akan kabur tepat pada hari itu. Ran mengangguk saja tiap kali Sandra memberinya perlengkapan ospek, karena dari dulu itulah yang selalu ia lakukan tiap kali mamanya mengurus keperluannya. 

"Mau pergi naik gunung ya, neng?" tanya sang supir ojek online yang ia tumpangi.

"Iya, kok tau, pak?"

Bapak itu tertawa, "Bawa carrier, matras, sepatu juga sepatu gunung gitu, masa iya mau ke mall? Udah gitu ini saya nganter ke Stasiun Bogor lagi!"

Ran mengangguk-anggukkan kepala, "Oalah.. iya pertama kali, nih, Pak, aku naik gunung!"

"Gunung apa, neng?"

"Gede-Pangrango, Pak."

"Lho deket itu mah! Di stasiun cuma ketemuan aja berarti? Tak kira di Jawa Tengah sana, gitu.." 

"Iya, Pak, banyak yang dateng dari jauh naik kereta soalnya, Pak. Bapak udah pernah naik gunung?" tanya Ran penasaran, barangkali bapak ini punya pengalaman menyenangkan soal mendaki dan wejangan-wejangan yang mesti diingat.

"Dulu naik Gunung Arjuno di Malang pernah pas masih muda. Hati-hati neng kalau di gunung. Banyak pantangannya. Nggak boleh ngomong sembarangan. Sama banyak baca doa," pesan si bapak, "Penting! Minta doa orang tua sebelum naik. Biar lancar sampai turun lagi."

Ran terdiam. Bukan maunya untuk pergi tanpa pamit. Karena ia tahu kalau ia mencoba meminta restu, mereka pasti akan langsung mengurungnya di kamar. Ran tidak bisa mundur setelah mengambil langkah pertamanya. Tak ada tempat kembali setelah ia mengirim uang pendaftaran untuk kebebasannya itu. 

Ia jadi teringat nasihat Fiya ketika ia menitipkan barang-barangnya. Fiya adalah teman baiknya sejak kelas 10. Mereka lengket sejak hari pertama dan sering main ke rumah satu sama lain. Fiya adalah satu-satunya tempat Ran mencurahkan segala keluh kesahnya dan Fiya-lah yang paling tahu bagaimana muaknya Ran akan kekangan orang tuanya. 

"Lo ngapain pake acara kabur naik gunung segala? Gue tau lo kesel sama orang tua lo yang suka ngatur, tapi kalo lo tingkahnya kayak gini, gue juga nggak seneng..." kata Fiya.

Ran mengulum bibirnya, "Gue juga sebenernya takut. Selama ini gue nggak pernah nggak nurut. Ini pertama kalinya gue begini karena gue nggak bisa diam terus. Ini hidup gue, gue berhak milih apa yang gue mau lakuin."

"Gue ngerti. Tapi lo tau nggak kesannya gimana? Lo jadi keliatan nggak bersyukur. Selama ini lo hidup serba cukup. Orang tua lo baik. Mereka cuma mau yang terbaik buat lo."

"Nggak bersyukur?" nada bicara Ran meninggi. Ia tak suka disebut tak bersyukur hanya karena ia menginginkan haknya.

"Emang kedengarannya nyebelin. Tapi coba lo pikirin perasaan orang lain yang beneran pengen kuliah di tempat lo sekarang? Gimana kecewanya mereka yang serius mau tapi nggak keterima. See? Lo keterima, tapi lo malah kabur begini?"

"Fi, lo nggak ngerti gimana rasanya diatur terus-terusan. Gue ngerti maksud lo soal gue harus bersyukur. Tapi gimana gue bisa mensyukuri sesuatu yang nggak gue suka?"

Fiya tetap kekeuh dengan pendapatnya, dan Ran mengerti. Temannya itu tidak lulus SNMPTN hingga ia pasti kesal atau bahkan marah sekali melihat Ran yang menyia-nyiakan kesempatan yang sangat diinginkannya ini. Ran tak bisa membiarkan rasa tak enaknya pada Fiya mengalahkannya kali ini. 

Sesekali ia ingin egois. . .

"Doain lancar ya, Pak.. semoga kuat juga sayanya..." kata Ran pada supir ojeknya ketika mereka sampai.

Stasiun Bogor ramai ketika Ran sampai di sana. Ia menunggu di dekat gedung baru yang sedang dalam pembangunan. Stasiun Bogor sedang dalam tahap pemugaran tahun ini, entah kapan selesainya, tapi akan jadi lebih besar dan modern. 

Jam masih menunjukkan pukul 6.15 pagi ketika Ran sampai. Ia memutuskan untuk mencari sarapan lebih dulu sambil terus memantau grup pendakian di ponselnya. Ia membeli sepiring nasi kuning di depan stasiun. Gerobaknya mangkal tak jauh dari pintu masuk dan keluar stasiun. Ini kali pertamanya datang ke Stasiun Bogor, meski ia orang Bogor.

Sekitar pukul 7.10 grup mulai ramai dengan peserta yang mengabari bahwa mereka sudah sampai di stasiun. Ran bangkit dari penjual nasi kuning dan pergi menemui rombongannya. Ia menyalami ketua tim pendakian yang ia kenali lewat foto profil whatsapp-nya. Senyumnya lebar mengembang ketika menyalami anggota lainnya. 

Pukul 8 pagi semua anggota regu baru berkumpul. Semuanya berjumlah 15 orang. Ran merapat pada dua anggota perempuan lainnya yang ada di rombongan. Ia berkenalan dengan mereka dan lega mengetahui bahwa mereka juga baru berkenalan di sini. Dua belas orang lainnya dalam regu, termasuk ketua adalah laki-laki. Persentase yang lumrah untuk sebuah rombongan pendakian, jumlah anggota perempuan memang biasanya sedikit sekali.

"Kita naik apa Bang Faris dari sini?" tanya Dewi pada ketua.

"Kita naik mobil elf dari sini." 

Mobil mereka telah menunggu di depan pinggir jalan. Atas arahan Faris semua anggota yang punya mabuk kendaraan tidak diizinkan duduk di belakang. Dan bagi yang tidak memiliki mabuk kendaraan harap sadar diri untuk mendudukkan diri di belakang.

Ran tanpa ragu duduk di belakang, bersama anggota laki-laki, sementara Dewi dan Tia duduk di depan. Ran duduk di bangku paling pojok di samping seorang laki-laki yang tampak lebih tua darinya beberapa tahun. Mareka saling melempar senyum setelah duduk. 

Mobil mereka berangkat.

Perjalanan mereka pun di mulai. []

.

.

.

Aku butuh banget vote dan komen kalian untuk ningkatin semangat dan kemampuan nulisku!!! Makasih banget udah baca ARKAN!

-af


ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang