Langkah Ketiga

115 14 1
                                    

Mobil mereka memasuki jalan tol Bogor menuju Ciawi. Selama perjalanan mereka banyak bercerita soal kisah masing-masing. Faris mulanya yang membicarakan soal awal mula pendakian hari ini. Ia sebenarnya mahasiswa yang kuliah di Malang dan merupakan anggota UKM pecinta alam di kampusnya. Perjalanan ini dicetuskan oleh Dede, teman satu kampusnya yang kini duduk di depan bersamanya. 

"MAPALA kampus kita belum pernah naik Gunung Gede-Pangrango," ujar Dede yang nimbrung, menambahkan cerita Faris.

Akhirnya setelah membicarakan perjalanan ini selama beberapa hari, mereka merealisasikan dan menyebar pengumuman ini di instagram mereka. Faris bilang sudah sering MAPALA kampusnya mengadakan pendakian gabungan seperti ini, namun biasanya hanya gunung-gunung di sekitaran Jawa Tengah. Ini pertama kalinya mereka pergi ke bagian barat pulau Jawa.

Terungkaplah bahwa 12 orang dalam kelompok ini berasal dari kampus dan UKM yang sama dengan Faris, salah satunya adalah Tia, yang kini duduk bersama Dewi. 

"Gue Dewi dari Jogja, ke sini bareng sepupu gue," ia menunjuk laki-laki yang duduk di sebelah Ran.

"Arkan!" laki-laki itu mengangkat tangannya dan menarik senyum. 

"Kalian kuliah?" tanya Faris.

"Iya. Semester akhir. Lagi mumet-mumetnya makanya mau refreshing dikit," jawab Arkan dengan wajah lelah, bersandar ke belakang dan menghela nafas. 

"Kalo kamu?" tanya Arkan pada Ran di sampingnya yang sejak tadi menyimak dengan antusias.

Ran tanpa sadar menegakkan badannya, "Saya Ranita. Asli Bogor. Baru lulus SMA."

"Wooaaa..." seisi mobil heboh mendengar perkenalan Ran.

Ran bingung melihat reaksi tak terduga ini. Bagian mana dari perkenalannya yang patut diganjar sorakan seperti itu.

"Paling muda berarti! Pantesan mukanya masih seger, gak kayak dedengkot yang lain di mobil ini!" seloroh Dede yang langsung disambut timpukan dari anggota lain.

"Kamu sendirian?" tanya Tia terlihat takjub.

Ran mengangguk sebagai jawaban. Ia juga baru menyadarinya sekarang. Bisa-bisanya ia pergi naik gunung bersama segerombolan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Harusnya ia mengajak serta Fiya, walau ia sudah tahu kalau temannya itu akan menolaknya mentah-mentah.

"Wahh... berani banget! Untung ada aku sama Dewi, kalo nggak, kamu cewek sendiri bareng makhluk-makhluk buas ini!" Tia menunjuk semua laki-laki di dalam mobil.

Ah, itu juga tidak terpikirkan.

"Iya, ya.. aku asal daftar aja, sih, kemarin..." Ran menggaruk dagunya yang tak gatal, kebiasaannya ketika kikuk.

"Udah sering naik gunung?" tanya Arkan.

Ran menggeleng, "Ini baru pertama kali."

"Wooaaaa..." sekali lagi mobil ramai dengan seruan takjub.

Ran nyengir melihat reaksi ini. Ia akhirnya mengerti mengapa dirinya sejak tadi terus membuat yang lain bereaksi seperti ini.

"Baru lulus SMA, cewek, baru pertama kalinya naik gunung, . . kok berani-beraninya kamu ikut sendiri?! Temenmu yang lain nggak diajak?" Dewi tampak heran sekali.

Ran kembali menggaruk dagunya, "Aku nggak kepikiran si, Teh..."

"Aku dipanggil teteh!!!" Dewi berseru heboh, Ran baru sadar akan aksen Jawanya yang cukup medok, "Orang Bogor ngomongnya alus semua kayak kamu gini?!" tanya Dewi.

Ran menggeleng, "Udah kebiasaan di rumah manggilnya Teteh... semuanya di sini orang Jawa, ya, aku nggak tau harus panggil apa."

Tia mengibaskan tangan, "Nggak apa-apa, ya Dew? Aku juga pengen dipanggil teteh. Bosen aku di Malang dipanggil Mba terus."

Dewi mengangguk antusias, "Aku pengen juga ngerasain dipanggil Teteh."

Ran tertawa senang. Ia awalnya khawatir kesulitan berbaur bersama orang-orang yang lebih tua dan beda daerah di regu ini, namun ternyata semuanya bersahabat. Faris bahkan menegaskan pada semua laki-laki di dalam bis supaya menjaga anggota perempuan terutama Ran yang tiba-tiba mendapat julukan 'adik kita bersama'. 

Perjalanan mereka dalam mobil memakan waktu kurang lebih 2 jam. Selama melewati jalan tol anggota regu yang baru pertama kali datang ke Bogor tampak memperhatikan jalanan dengan baik. Sesekali mereka akan bertanya pada Ran yang notabenenya adalah orang lokal. 

Mereka melewati simpang gadok dan terjebak macet sebentar. Lalu mobil mereka terus naik menuju Cisarua. Jalanan mulai menanjak dengan pemandangan padat toko-toko dan rumah makan di kanan-kiri jalan. Ran menatap keluar jendela di sampingnya. Mendadak pikirannya berkelana menuju orang tuanya.

Tadi, sebelum ia naik mobil ia sudah mengirim pesan pada Sandra soal kepergiannya. Ran memintanya untuk jangan panik dan menunggu kabar selanjutnya darinya. Ia benar-benar tak ingin diganggu oleh ocehan Sandra di saat acara jalan-jalan dadakannya ini. Ran merasa sudah cukup 18 tahun ia mendengar keluhan Sandra, kini saatnya ia meminta Sandra untuk mendengarkannya. 

Jalanan terus menanjak. Mereka sudah melewati simpang Taman Safari dan terus lurus menuju Puncak. Hamparan kebun teh menyambut retina mereka. Faris mematikan AC mobil dan menyuruh semuanya untuk membuka kaca jendela mobil. Udara dingin pegunungan menerpa wajah mereka. Segar rasanya. 

Jalanan berkelok yang seringkali tajam membuat seisi mobil sesekali miring ke arah kanan, lalu ke kiri. Mereka akan bersorak bagai anak SD ketika itu terjadi. Tak ada seorang pun yang tidur di dalam mobil. Tentu saja sulit memejamkan mata di saat menggebu seperti ini. 

Basecamp pendakian Gunung Gede-Pangrango terasa semakin dekat ketika mobil mereka turun dari Puncak Pas menuju arah Cipanas. Biasanya jalur ini macet parah, tapi karena ini hari kerja, maka jalanan cukup lengang. Pasar Cipanas sedikit macet, namun mereka bisa melewatinya dalam 10 menit.

Ran mengepalkan tangannya ketika Faris mengumumkan kalau mereka sebentar lagi sampai. Jantungnya berpacu cepat menanti petualangan baru yang menyongsongnya. Petualangan yang ia pilih demi hidupnya. Petualangannya sendiri yang pertama. 

"Bawa carrier yang berapa liter?" tanya Arkan ketika mobil mereka berbelok ke sebuah gang bergapura. 

"20 liter, A'," jawab Ran refleks memanggil Arkan dengan panggilan 'Aa' karena ia memang orang sunda tulen. 

Arkan tersenyum mendengar panggilan itu, mengangguk.

Tak lama mobil mereka berhenti di jalan kecil menanjak, di depan sebuah warung. Semuanya turun ketika supir mobil mereka mengatakan bahwa mereka sudah sampai. Semua anggota regu pendakian menggendong carrier mereka dipunggung dan mengikuti Faris menuju jalan kecil menanjak di samping warung. 

Di atas ada rumah warga yang dilengkapi dengan warung nasi dan penginapan sederhana untuk para pendaki. Mereka makan siang sebentar di sana sekaligus beristirahat setelah 2 jam duduk dalam mobil. Sang pemilik warung nasi mempersilakan mereka untuk memakai kamar mandi rumah mereka jika membutuhkannya. 

Tak lama datang lima orang pendaki lain, 4 laki-laki dan seorang perempuan. Salah satu dari mereka langsung menghampiri Faris. Dengan tawa kencang mereka berpelukan erat, menepuk punggung satu sama lain. Seperti kawan lama yang baru bertemu setelah sekian lama keduanya saling merangkul.

"Kenalin! Ini temen gue Zaki, dia sama temen-temennya yang akan jadi pemandu kita hari ini!" Faris mengumumkan dengan sumringah, "Dia yang tau trek pendakian Gede-Pangrango, gue juga belum pernah naik Gede-Pangrango. Jadi mulai sekarang Zaki yang bakal mimpin."

"Kita berjuang bareng-bareng mulai dari sini!" Zaki mengangkat kepalan tangannya di udara. [] 

.

.

.

[31/03/20]

Aku pernah naik Gunung Gede Pangrango Desember 2017 lalu.

Ini aku tulis karena pengalaman yang nggak terlupa itu!

Jangan lupa komen dan vote-nya menteman!!!

-af



ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang