Langkah Ketujuh

101 12 2
                                    

Sampai di Pos 1 kami disambut oleh gapura semen berlumut yang sudah hampir hancur bertuliskan TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO di atasnya--juga hampir menghilang. Ada sebuah gazebo kecil tak jauh dari gapura, keadaannya sudah tidak terlalu baik, atapnya sudah ditumbuhi lumut dan bolong-bolong hingga cahaya teduh matahari mengintip di selanya. Di tiang tengah penyangga gazebo sebuah papan hijau berkarat menempel bertuliskan POS 1 LEGOK LEUNCA.

Mendung yang menyelimuti langit hutan siang itu setia mengapung di atas, namun nampaknya masih menahan diri untuk menumpahkan muatannya. Zaki sudah mewanti-wanti rombongan untuk menyiapkan jas hujan kalau-kalau hujan turun di tengah perjalanan mereka. 

Trek dari GPO sampai Pos 1 cukup landai, meski tetap tak menemukan sedikit pun trek datar. Butuh satu jam lebih untuk rombongan mereka sampai di sana, sementara sebagian anggota kelompok mereka yang mendaki duluan entah di mana, mungkin saat ini jarak mereka sudah lumayan jauh. 

"Legok lenca," Tia membaca dengan aksen jawa yang medok pada huruf 'g' di kata 'legok'.

Dewi menepuknya, "Coba kita denger gimana pelafalan yang bener, dari orang asli sini!" Dewi melambaikan tangannya pada Ran.

Ran yang masih belum terlalu lelah berlari kecil menghampiri Dewi dan Tia. Ia duduk di samping mereka berdua yang sengaja di kosongkan untuk dirinya. 

"Coba, Ran, baca!" titah Dewi, menunjuk papan nama pos di tiang gazebo.

"Legok Leunca," Ran membaca dengan bunyi 'eu' khas yang hanya bisa sempurna keluar dari lidah asli sunda. 

"Loh kamu orang sunda?" tanya Zaki yang duduk di depannya, di atas sebuah akar pohon besar.

Ran mengangguk, "Aku asli Bogor."

"Oh iya? Orang sini dong, sama-sama orang Bogor kita! Kirain rombongan ini isinya orang Jawa Tengah semua!" Zaki melirik sisa rombongan lain, "Siapa lagi yang dari Bogor? Temen kamu?"

Tia menggoyangkan jari telunjuknya, "Dia pergi sendiri, Mas! Keren, yo?!"

Mata Zaki membulat, "Serius? Nih, biasanya yang begini ni kalo nggak udah sering naik gunung, ya amatir, kamu yang mana?"

Ran nyengir lebar, mengusap keringat di dahinya, "Baru pertama, A'..."

"Tuh, kan! Ceunah, geh..." celetuk Zaki dalam Bahasa Sunda kasar.

Ran tergelak mendengarnya, ia tentu mengerti ekspresi itu, teman-teman di sekolahnya sering bermain-main dengan Bahasa Sunda seperti itu. Kurang lebih maknanya adalah, "tuh kan! apa kubilang!". 

"Keliatan ya amatirnya, A'? Ngeliat aku kayaknya nih anak bukan pro, tapi kok berangkat sendiri?!"

Zaki mengangkat telunjuknya, menunjuk-nunjuk di udara, nah itu! Itu dia maksudnya! Dewi dan Tia yang ikut mendengarkan menepuk tangan mereka, setuju pada Zaki. Mereka bersama menertawakan Ran, termasuk Arkan yang duduk di sebelah Zaki saat ini.

"Penasaran banget ya sama sensasi naik gunung? Saking pengennya sendiri juga jadiin aja, ya?" Zaki bertanya retoris, "Hati-hati, ya!" 

"Dari tadi juga udah hati-hati banget jalannya!" sahut Ran meyakinkan.

"Bukan jalannya," Zaki menggeleng, "Hati-hati jatuh cinta sama pendakian!"

Seruan 'eaaaa' panjang terdengar dari para anggota yang lain, para laki-laki bahkan ribut bertepuk tangan di tengah hutan, membuat riuh suasana yang tadinya sunyi. Beberapa dari mereka mengolok-olok Zaki dengan semangat, melontarkan kata-kata yang sama cringey-nya dengan kata-kata Zaki tadi, lalu tertawa bersama setelahnya. 

ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang