Langkah Kedua Belas

84 9 1
                                    

Di Pos 3 mereka bertemu dengan rombongan lain yang juga sedang dalam perjalanan naik. Rombongan mereka ama sekali bukan terdiri dari anak muda, melainkan 2 orang bapak-bapak dan seorang ibu berkerudung yang terlihat gagah dengan carriernya. Mereka tersenyum, ikut rehat bersama rombongan Ran yang masih duduk. 

"Adek-adek ini orang mana?" tanya salah satu bapak.

"Kita ada yang dari Jawa Tengah, ada yang dari Bogor, Pak. Bapak-Ibu sendiri?" jawab Dede yang duduk paling dekat dari mereka.

"Kami dari LIPI Cibinong sini dekat." jawab Si Bapak.

"Bapak sama Ibu ini peneliti?" tanya Ran yang tahu persis apa dan di mana LIPI itu. 

LIPI adalah kepanjangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebuah lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Tugasnya adalah mengkaji dan menyusun kebijakan nasional, menyelenggarakan riset, memantau dan mengevaluasi segala hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Intinya, lembaga ini berisi peneliti-peneliti paling hebat di Indonesia.

Si Bapak mengiyakan, "Kami ke sini untuk urusan penelitian. Ini kalian pada masih kuliah apa gimana?"

Si Ibu dari rombongan itu kini sibuk mengeluarkan termos dan menawarkan kopi pada teman-teman laki-laki. Mereka tentu dengan senang hati menerimanya. Beginilah keramah-tamahan khas pendaki, kopi menjadi pendekat dan alat komunikasi yang amat baik. 

"Sebagian kami kuliah, sebagian kerja, ni paling bontot baru lulus SMA." Zaki menunjuk Ran yang dengan cepat mangangkat tangan.

"Oalah... enak ya masih pada muda kalian! Ada yang tertarik jadi peneliti, nggak, di sini?" Si Bapak bertanya, nadanya sedikit menantang.

Dewi dengan cepat menunjuk Arkan yang sedang menyeruput kopinya, "Dia 'tuh, Pak, anak Kehutanan UGM!" 

Tiga peneliti itu berseru mendengarnya, "Ealah! Calon penerus kita-kita ini!" Si Bapak tertawa senang, "Baik-baik, ya, kuliahnya! Saya tunggu kalo udah jadi peneliti nanti!" Si Bapak merogoh saku celana kargonya, mengeluarkan dompet kecil dan mengambil sebuah kartu, "Nih, simpen aja kartu nama saya, siapa tau nanti butuh!" Ia menyodorkan kartu namanya pada Arkan 

Arkan tersenyum lebar, dengan sopan menerimanya, "Makasih, Pak...." Arkan melirik kartu nama di tangannya, "Handoko." 

Pak Handoko menepuk pundak Arkan, "Mari, kami lanjut lagi! Kalian jangan terlalu lama di sini, kemalaman nanti!" 

Kami menyahut serempak ketika para peneliti itu bangkit dan mulai mendaki kembali. Zaki juga akhirnya berdiri. Melihatnya kami semua pun ikut berdiri. 

"Kita juga jalan lagi, yuk. Udah mulai gelap, nanti kalo kemalaman di jalan susah, mulai dari Pos 3 sampe Pos 5 nanti nggak ada lahan datar buat camp darurat soalnya. Pokoknya kita harus sampe Pos 5 sebelum jam 9, ya!" 

Mereka semua berangkat setelah mendengar Zaki. Perlahan langkah mereka menjauhi gazebo pos 3, di bawah temaram hutan yang mulai direngkuh malam. Suara-suara hewan malam mulai terdengar satu persatu, suaranya bercampur menjadi hiruk pikuk yang sama sekali berbeda dengan kota, suaranya memanjakan telinga meski mereka tak bisa memastikan satu-satu suara apa saja yang mereka dengar. Perpaduannya menghadirkan orkestra alam yang menenangkan.

Semua rombongan mengeluarkan senter dan headlamp mereka. Zaki berpesan untuk benar-benar memperhatikan jalan dengan baik, dan teman-teman kelompok, memastikan tidak ada yang tertinggal dalam gelapnya hutan. Zaki tidak mengizinkan rombongannya terpotong, ia terus meminta untuk merapatkan langkah. 

Malam yang bertandang menurunkan suhu di hutan. Ran yang tidak memakai jaket sedari awal kini baru bisa merasakan dingin. Meski berkeringat, tapi hawa dingin yang menyergap tak mampu ia tahan. Sembari rehat, Ran melepaskan carriernya, dan memakai jaketnya. Sementara rombongan mereka terus melangkah melewatinya. 

ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang