Langkah Kesebelas

80 11 5
                                    

Selain Fiya, teman di dekat Ran hanya buku-buku pelajaran. Sifatnya yang cukup introvert berpengaruh banyak pada dunia pergaulannya. Ran selalu gugup jika berhadapan dengan orang baru. Berbeda dengan Fiya yang memang supel, yang dengan sumringah selalu bersemangat ketika ada kesempatan mengenal orang baru.

Jika Ran berakhir bisa berkomunikasi dengan baik, itu berarti orang itu duluan yang mengajaknya bicara. Ran hanya tidak pernah punya keberanian untuk menyapa orang lain lebih dulu. Bahkan jika ia sedang di tempat umum dan butuh ke toilet, ia akan berkeliling sendiri mencarinya tanpa berani bertanya pada orang lain di mana letak toilet.

Alasan Ran selama ini tak pernah menyinggung soal betapa cemerlang prestasi sekolahnya selama ini adalah berkat pelajaran Budi Pekerti yang diajarkan oleh Bu Imi di SMP; bahwa kita tidak boleh sombong dan suka pamer!

Tapi apa benar karena alasan ini Ran selalu jengah ketika orang-orang membicarakan prestasinya?

Petanyaan Arkan mengenai percaya diri membuatnya memikirkan kembali alasannya sekarang. Apa jangan-jangan selama ini alasan tidak boleh sombong dan pamer itu hanya tameng belaka? Tameng yang perlahan melindunginya dari kesadaran atas alasan sesungguhnya; bahwa Ran tidak percaya diri sama sekali atas semua pencapaiannya itu!

Ran amat berprestasi. Sejak SD ia sudah jadi langganan juara Olimpiade tingkat nasional dan bahkan melaju ke tingkat internasional. Ia juga kerap menjuarai lombat debat bahasa inggris dan speech contest. Kuliah pun kemarin ia disarankan oleh guru-gurunya untuk mengambil kampus di luar negeri karena nilainya lebih dari cukup untuk program beasiswa.

Ran bukannya tidak mau, tapi kuliah di Jogja saja tidak diberi izin, apalagi di luar negeri, mimpi pun jangan!

Ran tidak bisa menerima kenyataan bahwa selama ini ia tidak merasa percaya pada dirinya sendiri! Dengan semua prestasinya, harusnya bahkan ia bisa menyombong ke sana ke mari sesuka hati, sementara orang-orang akan merasa iri padanya, memandangnya sebagai penutan dan berharap-harap menjadi dirinya.

"Karena kamu bales pesan di WA grup aja nggak jadi terus. Apa namanya kalo bukan nggak pede?" Arkan memilih untuk mendorong Ran kali ini, ia penasaran mengapa Ran menjadi sangat tidak terima hanya karena pertanyaannya ini.

Mata Ran bergetar, ia melihat tanah di sekitarnya dan tidak berani menatap Arkan.

"Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak pede bahkan cuma buat bales pesan di WA. Itu hal paling gampang sedunia. Sekarang aku tanya kamu begini, kamu malah keliatan nggak terima dan marah, kenapa? Kalo dugaanku salah, harusnya kamu nggak marah," kata Arkan.

Mereka sudah berjalan selama satu jam dengan trek yang terus menanjak dan licin. Langit di balik dedaunan sudah meredup, kali ini bukan mendung, tapi malam sedang perlahan memeluk bumi. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 5 sore.

Ran akhirnya mendengak, bersusah payah di antara nafasnya yang pendek menjawab, "Balas pesan WA di grup yang isinya orang asing sama sekali nggak mudah buat aku yang introvert!"

Arkan menggeleng, "Introvert nggak membuat kamu nggak pede. Coba liat contoh penyanyi terkenal Isyana itu! Dia introvert tapi dia pede nyanyi di depan orang banyak."

Ran mengerutkan dahi, "Aku bukan Isyana."

"Iya, kamu Ranita," Arkan menekan nama lengkap Ran, "Coba liat sekarang akibat kamu nggak berani nanya di grup WA? Banyak info yang akhirnya nggak bisa kamu dapat. Kamu akhirnya nyesel belakangan karena nggak pede nanya."

Ran mencerna kata-kata Arkan. Kalau dipikir lagi kejadian seperti ini sering terjadi padanya. Ketika sekolah mengadakan acara yang membutuhkan dress code. Ran tidak pernah memberi usul, pun tak pernah menyanggah usul bahkan ketika ia sadar ia tak punya warna baju yang akhirnya dipilih. Ujungnya ia akan susah sendiri, merutuk sendiri, mengapa ia tak bilang saat rundingan tadi kalau ia tidak memiliki baju warna itu.

ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang