Langkah Kesepuluh

86 11 9
                                    

Pada titik ini Ran sudah mulai bisa merasakan kelelahan yang menggerayangi otot-ototnya. Naik tiga-lima langkah, ia berhenti, kembali tiga-lima langkah, ia mengambil nafas panjang, lalu setelah tiga-lima langkah lainnya, Ran menyandarkan tubuhnya pada batang pohon pertama yang ia lihat. Keringat membuat lembab kulitnya di tengah udara dingin pegunungan, ia tetap tidak menggunakan jaketnya. 

Anggota-anggota lainnya terus memberinya semangat sepanjang perjalanan mulai dari pos kedua tadi. Ran melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Menurut Zaki Pos 3 cukup jauh dari Pos 2 dan jalanan setelah hujan yang becek membuat sol sepatu kami berat. 

Meski lelah Ran tetap tidak menerima tawaran anggota laki-laki untuk membawakan carriernya, padahal Dewi sudah menyerah dan memberikan carriernya pada Zaki! Ran menatap bingung ketika Zaki kekeuh ingin membawakan carrier Dewi, lalu semakin bingung ketika Dewi memilih Zaki daripada Arkan--sepupunya sendiri--yang juga menawarkan hal yang sama. 

"Oh gitu, ya, kamu? Kuaduin Budhe nanti!" kata Arkan ketika Dewi membantu Zaki berdiri setelah memberikan carriernya.

Dewi mencibir, melanjutkan langkahnya beriringan dengan Zaki. Sejak meninggalkan Pos 2, Dewi memang terlihat berjalan beriringan dengan Zaki, mengobrol banyak hal sementara Zaki tetap awas pada anggota rombongannya. Ran tidak terlalu memperhatikan karena ia hanya fokus pada jalan di depannya dan hutan di sekitarnya.

Ran ikut bersorak ketika Arkan menyoraki Dewi dan Zaki di sebelahnya, pun anggota lainnya. Mereka tertawa-tawa melihat Dewi yang berkelit sementara Zaki ikut bersorak kegirangan. Ran menggunakan kesempatan itu untuk menghentikan langkahnya, menikmati tawa sekilas dan rehat sejenak--untuk kesekian kalinya--di tengah perjalanan yang masih panjang ini. 

"Nih.." Arkan menyodorkan padanya sebungkus madu.

Ran mengerutkan dahi, menerimanya dengan ragu.

"Kalo naik gunung itu kamu harus makan yang manis-manis buat nambah tenaga! Paling bagus gula merah, tapi aku gak suka rasanya!" Arkan mengerutkan hidungnya, menggeleng, "makanya kalo aku biasanya diganti sama coklat dan madu." 

Alis Ran terangkat mengetahui fakta baru ini, "Masuk akal! Gula itu kan emang sumber tenaga! Aku baru tau kalo itu ngaruh pas naik gunung!"

"Makan! Sambil jalan dicemilin aja.." 

"Makasih, A.." Ran membuka bungkus madu, menaruh potongan kemasannya di kantung samping carriernya untuk dibawa kembali turun esok hari. 

"Tapi A Arkan lucu juga, ya!" lanjut Ran.

"Kenapa? Aku emang lucu, aku tau, banyak yang bilang!"

Ran memutar bola matanya malas, "Nggak suka gula merah! Lidahnya kayak anak kecil berarti."

"Emang enggak enak rasanya! Manis-manis hambar nggak jelas gitu rasanya. Kalo dimakan nggak ada enak-enaknya sama sekali, ngapain makan yang rasanya nggak enak gitu kalo ada yang enak!" Arkan mengeluarkan coklat pasta dari saku celananya.

Ran mengerutkan dahi, "Enak, ah, manis gula merah!"

"Manis doang! Manis itu nggak menjamin makanan jadi enak!" Arkan mengemut coklat pasta di tangannya, "Ada coklat yang 'super enak' kenapa makan gula merah yang cuma 'enak'?!"

Ran terkekeh, masuk akal! 

"Aku nggak bawa apa-apa lagi..." Ran menghela nafas, "Aku nggak tau, di grup WA nggak ada yang bilang, di daftar bawaan pribadi juga nggak ditulis!"

Arkan mengangguk, "Iya juga, harusnya di grup, kita ngingetin hal-hal kecil kayak gini juga, ya. Kita kayaknya nggak nyangka kalo bakal ada pemula, deh, soalnya ternyata pas aku tanyain, semuanya udah pernah naik gunung minimal sekali kecuali kamu." 

ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang