Langkah Keempat

116 12 5
                                    

Mereka mendaki Gunung Gede Pangrango via Gunung Putri. Jalur yang terkenal paling sulit di antara jalur pendakian Gunung Gede Pangrango yang lain; Cibodas dan Salabintana. Jalur ini sepenuhnya menanjak dan jangan bermimpi akan menemukan jalur landai. Jika lewat jalur Cibodas kita masih disuguhkan dengan pemandangan beberapa air terjun dan bahkan sumber air panas, jalur Gunung Putri harus puas dengan pohon-pohon rindang, batu, serangga, batang pohon tumbang yang mulai melapuk, akar dan lumut.

Selepas dzuhur regu mereka yang akhirnya berjumlah 20 orang itu berkumpul di GPO (Gede Pangrango Operation) atau lebih akrab dengan sebutan Basecamp, sebuah bangunan bambu yang berfungsi sebagai tempat melapor para pendaki yang lewat jalur Gunung Putri. Mereka melewati kebun warga untuk sampai ke Basecamp dari warung nasi tempat mereka makan siang. Jaraknya dekat, sekitar 300 meter. Simaksi sudah diurus lebih dulu oleh Zaki, jadi mereka bisa langsung memulai pendakian. 

Ran merapat pada Tia yang menarik lengannya mendekat ketika Zaki meminta mereka membuat lingkaran. Kedua-puluh anggota regu menatap Zaki. Suasana mendadak terasa khidmat. Di bawah naungan langit biru cerah mereka semua berdiri berserah. Angin lembah bertiup pelan, menerbangkan anak-anak rambut. 

"Sebelum mulai mendaki, baiknya kita berdoa dulu," Zaki merapatkan tangannya di depan, "Berdoa menurut kepercayaan masing-masing, dimulai!"

Semua kepala menunduk. Semua mata tertutup. Hati mereka mulai sibuk merapal doa, memohon pada Yang Kuasa untuk keselamatan mereka hingga kembali turun lagi esok harinya. Pikiran mereka berkelana, pada puncak yang akan mereka capai di ujung pendakian ini. Membiarkan gambarannya menggantung, menjadi target yang harus mereka gapai. 

Ran berdoa sepenuh hati. Pendakian pertamanya. Perjalanan pertamanya. Pilihan pertamanya. Keputusan pertamanya. Langkah pertamanya. . . dalam hidup yang tak pernah sepenuhnya menjadi miliknya. 

Untuk beberapa detik ketakutan menyergapnya. Wajah cemas orang tuanya muncul di benaknya. Ran mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan yang benar. Ia harus memberanikan dirinya mulai dari sekarang jika ia ingin mewujudkan mimpi-mimpinya yang selama ini tertunda. 

"Ma... Pa... sedihlah sebentar... kecewalah sebentar... aku janji akan jadi anak yang bisa kalian banggakan nantinya dengan pilihanku sekarang!" 

Ran mengusap air matanya yang mengalir tanpa terasa. Ia takut sekaligus bersemangat. Tangannya mengepal kuat ketika Zaki menyudahi doa mereka. 

"Mulai dari sini gue tegasin ke kalian, jangan gengsi! Mendaki itu capek banget. Bukan perjalanan yang bisa kita taklukin dengan ego. Kita harus rendah hati. Kalo capek langsung bilang. Jangan sok-sokan kuat, nggak mau ngakuin kalo butuh istirahat. Banyak pendaki yang gagal karena mereka gengsi. Mau kalian udah pro atau masih pemula, jangan kalo capek yang istirahat. Capek satu, kita berhenti semua. Oke?" kata Zaki.

Kami menjawab kompak dengan suara rendah. Lembah perkebunan di sekeliling kami sunyi, seolah menyimak pengarahan Zaki bersama kami. 

"Jaga ucapan, jangan ngomong sembarangan. Jaga pikiran, jangan bengong. Jaga tekad, jangan sampai semangat turun. Kita di alam bebas yang bukan wilayah kita. Sopan santun tolong dijaga. Kita juga harus saling menjaga satu sama lain, terutama 4 anggota cewek kita," Zaki melihat Ran, "Terutama Ran yang paling muda di antara kita dan baru pertama kali naik gunung," Ran menyeringai, "Paling penting! Jangan buang sampah sembarangan! Bawa semua sampah kita sampai turun lagi!"

Sekali lagi seluruh anggota menyahut serentak dengan suara rendah yang bergema. 

Pendakian pun dimulai.

Ran menatap hamparan perkebunan kol yang mereka lewati di awal jalur pendakian. Ia teringat kembali pada orang tuanya yang kini sedang menunggu kabarnya. Ran mengeluarkan ponselnya yang baru ia aktifkan. Masih ada sinyal di bawah sini. Ia menatap lama nomor Sandra, menimbang apakah ia harus menelepon. 

"Telepon aja," kata Arkan yang entah sejak kapan sudah berjalan di sampingnya.

Ran menoleh, "Iya. . ."

Ran mendial nomor Sandra. Hanya butuh satu detik sampai teleponnya di angkat. Suara panik Sandra terdengar di ujung telepon. Ran bahkan bisa membayangkan wajah paniknya saat ini. Wajah yang sama ketika ia tak langsung pulang ke rumah seusai sekolah karena ia pergi ke rumah Fiya untuk mengerjakan tugas.

"Aku lupa ngabarin, Ma, maaf.." Ran cengengesan di telepon. Ia meminjam telepon rumah Fiya ketika ingat bahwa ia belum miminta izin.

"Kamu bikin Mama panik tau nggak! Izin dulu apa susahnya, sih! Mama jemput di gerbang nggak ada. Mama tungguin sampai sekolah sepi kamu nggak keluar juga. Mama bingung nanya siapa!" Sandra bicara seperti kereta, lupa sepenuhnya pada titik dan koma yang harusnya ada dalam ujarannya. Suaranya meninggi.

Ran hanya bisa mendengar ceramah 30 menit itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kepanikan Sandra, tapi ia pikir ini berlebihan. Yang penting sekarang ia sudah tahu keberadaan Ran. Ceramahnya sekarang sebenarnya tidak diperlukan.

Ran tahu ia anak satu-satunya. Seluruh perhatian dan kasih sayang yang mereka berikan tertuju hanya padanya. Tapi harusnya jangan sampai membatasi geraknya. Kadang Ran ingin meminta mereka untuk sedikit santai, tapi ia selalu tak punya kesempatan untuk menyuarakan keinginannya. 

Ran menghentikan langkahnya, namun tetap melihat ke arah rombongan mereka yang melangkah di sekitarnya. Ia memastikan masih ada orang di belakangnya selama ia berbicara dengan mamanya.

"Aku udah mulai mendaki, Ma.. habis ini aku nggak akan bisa ngabarin karena nggak ada sinyal."

Ran bisa mendengar Sandra menangis, "Kamu kok tega si, nak, sama Mama? Kamu tega ninggalin Mama begini? Ah. . . pusing kepala Mama. Kamu bisa pulang sekarang nggak? Mama jemput di mana pun kamu! Jangan gini sama Mama. Ini Papa kamu juga khawatir banget sama kamu. Pulang, ya, nak, sekarang?"

"Aku pergi kan bukannya nggak pulang, Ma.. aku udah di rumah lagi lusa. Mama sama Papa nggak usah khawatir, aku naik gunung nggak sendiri.." 

Tangis Sandra makin menjadi, "Kalo kamu pulang sekarang, Mama sama Papa janji nggak akan marah sama kamu. Pulang, ya, nak? Hu. . . kok bisa sih kamu pergi ke tempat bahaya kayak gitu tanpa izin kita?!"

"Soalnya aku tau kalian nggak akan ngasih izin kalo aku bilang," Ran berkata sedikit merasa jahat, "Doain aku ya biar selamat sampai puncak dan turun lagi besok. Dah, Mah... Pah..."

Ran menutup teleponnya tanpa mendengar balasan Sandra lagi. Ia langsung menonaktifkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam carriernya. Ia menarik nafas dalam setelah pembicaraan yang menyesakkan itu. Ia menatap jalur di depannya, yang lain sudah berada cukup jauh di depan, kecuali dua orang yang masih berdiri di dekatnya.

"Udah? Yuk." Dewi menyeringai, menelengkan kepalanya agar Ran cepat menyusul yang lain.

Arkan di sebelahnya juga tersenyum lebar, "Kita ketinggalan nanti. Kalo nyasar nggak ada yang nolong," candanya

Ran mengangguk kencang. Ia berlari kecil menghampiri Dewi dan Arkan, lalu mendaki dengan langkah seribu menyusul yang lain. [] 

.

.

.

[31/03/20]

I'm on mood! 

Doain supaya aku bisa istiqomah update chapter-nya! 

Vote and komennya ditunggu!

#dirumahaja

-af


ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang