Langkah Pertama

203 19 8
                                    

"Kan Mama udah bilang, kamu pasti bisa masuk universitas dan jurusan ini!" Sandra mengelus kepala anak semata wayangnya itu, senyum bangga muncul di wajahnya.

Anjas menepuk-nepuk pundak Ran, tak banyak bicara, namun Ran lebih dari tahu arti diam itu, bahwa papanya, lebih dari apapun, bangga sekali padanya. 

Mereka sedang berkumpul di kamar Ran untuk melihat pengumuman hasil SNMPTN yang hari ini diumumkan. Sejak pendaftarannya dua bulan lalu, Sandra dan Anjas sudah mewanti-wanti pengumuman ini. Sandra bahkan sudah melingkari tanggalnya di kalender rumah mereka sesaat setelah Ran mendaftar.

Hanya Ran diruangan itu yang tampak tak bersemangat. Bibirnya tersenyum, namun matanya sendu. Ia menatap nanar layar laptop yang menyala, fokus pada kata Selamat! yang terpampang jelas di layarnya. Foto pada kartu peserta SNMPTN-nya tersenyum, senyum yang sama seperti yang kini terpatri di wajahnya.

Sandra amat bersemangat menyiapkan semua keperluan kuliah Ran, hingga Ran sendiri bahkan tak perlu repot memikirkannya. Sandra hilir mudik ke bank, kampus dan sekolahnya untuk mengurus pendaftaran Ran, sementara Ran hanya mengekorinya saja. Sandra bahkan membelikannya beberapa potong pakaian baru, sepatu, alat tulis, tas dan bahkan ponsel baru yang lebih bagus dari ponselnya yang sebelumnya. 

Ran sudah tahu sejak awal, kalau akhirnya lagi-lagi begini. Ketika lulus SD ia masih amat belia untuk mengerti apa yang sedang dilakukan orang tuanya padanya, ia menurut saja ketika Sandra memasukkannya ke SMPN 1 Kota yang dekat dengan rumahnya. Tapi ketika lulus SMP, ia mulai terganggu dengan hal ini. Ia sudah jelas mengatakan kalau ia ingin melanjutkan ke SMAN 1 Kota, tapi Sandra bersikukuh memasukkannya ke sekolah swasta elit yang tak jauh dari rumahnya.  

Ran perlahan mulai mengerti, bahwa orang tuanya membesarkannya untuk kebanggaan mereka sendiri. Bahwa Ran adalah bukti kemampuan mereka dalam mendidik anak. Bahwa Ran adalah wajah tua mereka di depan para kolega. Bahwa Ran adalah alat pewujud mimpi-mimpi mereka. . . selain anak perempuan semata wayang.

"Ma, aku kenapa nggak boleh masuk SMAN 1 Kota, sih?"

Sandra tersenyum, "Jauh sayang. Susah antar-jemputnya."

Alasan yang terlalu klasik untuk mengatur hidup anak mereka. Ran sendiri sepertinya sudah terbiasa dengan hidupnya yang serba diatur ini, hingga ia lupa bagaimana mengatakan keinginannya. Apakah pada akhirnya ia akan kehilangan suaranya sepenuhnya? Ha. . .

Tiga tahun di SMA. Semuanya berjalan sesuai keinganan Sandra dan Anjas. Ran tak banyak berkomentar, yang penting ia dapat uang jajannya, ponselnya, wifinya, tempat tinggalnya, dan . . . orang tuanya? Yang jelas ia berkewajiban menjadi anak berprestasi yang bisa dibanggakan ketika Sandra pergi arisan atau ketika Anjas rapat dengan klien. 

Ran mengira semua kekangan ini akan berakhir begitu ia menginjak umur dewasa (setidaknya menurut hukum). Tapi rupanya ia keliru. Lulus dari SMA ia langsung menyadari hal ini, bahwa ia tak akan pernah memiliki hidupnya sampai akhir hayatnya nanti. 

"Kamu daftar SNMPTN di IPB aja, jurusan dokter hewan, ya? Biar kuliahnya nggak jauh-jauh dari rumah, biar bisa pulang-pergi aja," ujar Sandra ketika mereka sedang nonton acara talk show di malam hari. 

Ran menoleh, "Aku mau nyoba daftar di Jogja, ya, Mah... aku pengen banget ngerasain nge-kos, hidup mandiri gitu."

Sandra menoleh dengan cepat, "Jauh banget! Nggak! Mama nggak izinin kamu kuliah jauh-jauh. Kampus bagus yang dekat kan ada, ngapain kamu pergi jauh-jauh buat kuliah doang?!"

"Ya, kan, belum tentu diterima juga, nyoba aja dulu. Kalo nggak diterima, ya udah aku nurut Mama, deh.." Ran memeluk lengan Sandra manja, memohon dengan tatapan matanya.

Sandra bahkan tak perlu berpikir untuk menolaknya keras-keras, "Nggak! Kalo keterima gimana? Nggak! Udah, nanti kamu daftar SNMPTN-nya bareng Mama, biar Mama liatin isinya."

Ran hanya bisa menghela nafas berat dan langsung menyenderkan kepalanya ke sandaran sofa. Ia menatap layar televisi lebar tanpa minat setelahnya dan masuk kamar lima menit kemudian. Ia saja yang bodoh, berharap apa dia berani-beraninya bilang mau kuliah di Jogja? Ha! Ia pasti sudah tak waras. 

Sandra ajeg dengan janjinya. Ia memeloti layar laptop bersama Ran ketika pengisian SNMPTN. Ia bahkan merebut laptop Ran dan mengisikan seluruh form-nya untuk Ran. Setelah selesai ia tersenyum puas sekali. Ia mencium puncak kepala Ran dan keluar dari kamar anaknya sambil bersenandung.

Begitulah ceritanya ia berakhir menjadi mahasiswa baru di IPB jurusan Kedokteran Hewan. Yah.. setidaknya usaha mamanya selama 3 tahun menyuruhnya belajar mati-matian dan ikut les sana-sini membuahkan hasil yang memuaskan. Ia sendiri tidak menyangka kalau ia akan diterima. 

Hampa rasanya ketika jadwal ospek mahasiswa baru diumumkan. Orang-orang bilang masuk kuliah itu mendebarkan, penuh keantusiasan karena mereka akan naik jenjang dari siswa menjadi mahasiswa. Tapi Ran sama sekali tidak merasakannya. Ia tersenyum datar ketika Sandra memberikannya satu stel kemeja putih dan rok hitam yang sudah rapi di setrika untuk hari pertama ospeknya yang masih sebulan lagi.

Guru-guru di sekolahnya mengucapkan selamat pada Ran, memuji-muji Sandra dan Anjas yang sukses mendidik anak semata wayang mereka. Ran hanya mengangguk menerima ucapan selamat itu. Bahkan ketika adik-adik kelasnya menghampirinya di acara wisudanya dan kembali memberinya selamat karena topik yang sama, ia hanya tersenyum dan menyuruh mereka untuk cepat berfoto.

Ran muak sekali pada hidupnya setelah ia pulang dari acara wisudanya. Sepanjang perjalanan pulang ia hanya diam saja memainkan ponselnya. Ia melihat feeds instagramnya yang ramai dengan postingan teman-temannya yang mengunggah foto wisuda mereka. Ran mengetuk dua kali foto-foto tersebut tanpa benar-benar memperhatikannya. 

Jarinya berhenti ketika foto pemandangan puncak gunung muncul di layarnya. Ah, Ran memang suka mengikuti akun-akun pecinta alam di instagramnya, bermaksud menghibur diri yang terjebak dalam mimpi orang tuanya. Ia membaca captionnya dengan seksama. 

 GEDE-PANGRANGO 2958 mdpl 

date: 5-6 September 2016

meeting point: Stasiun Bogor/Senin, 5 Sept 2016/7am

IDR: 250K

Ran menatap promosi perjalan tersebut baik-baik. Ia selalu ingin pergi naik gunung. Namun sayangnya ia tak pernah punya kesempatan. Pun orangtuanya tak akan memberinya izin. Bisa kalang kabut mereka jika mendengar Ran mengatakan keinginan ini. Sekolah lebih dari 3 km dari rumah saja tak diberi izin, apa lagi naik gunung yang kesannya amat berbahaya. 

Ran yang biasanya akan mengurungkan niatnya, namun hari ini ia berbeda. Rasa muaknya akan hidupnya yang terasa tak pernah jadi miliknya mendorongnya bertindak. 

"Ma, Pa, aku mau naik gunung!"

Langkah pertamanya sudah ia ambil. []

.

.

.

Aku usahain ini selesai segera tanpa tertunda! 

Udah lama banget aku gak nulis cerita panjang, jadi mumpung lagi panas-panasnya aku akan maksimalin updatenya! XOXO

-af


ARKAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang