Semua berawal dari saat suaminya meminta izin ingin membantu seorang teman lama yang memiliki kasus KDRT. Tidak menyangka bila membantu yang dimaksud lelaki itu berarti harus menikahi. Selama ini Tamma selalu berurusan dengan klien dari banyak kalangan. Mulai dari orang biasa, pejabat daerah, sampai selebritas. Sudah tidak heran bila mendapati suaminya bersinggungan langsung dengan seorang klien yang masih muda dan cantik. Dan itu pun dibuktikan selama masa kerja sebagai pengacara kurang lebih sepuluh tahun lelaki itu sangat profesional, karirnya bagus, tidak sekalipun pernah memiliki skandal maupun cacatan hitam. Diyana baru mengetahui identitas perempuan yang suaminya sebut teman lama setelah status keduanya berubah.
Dari situ Diyana sadar, jika mencintai seorang Hestamma memang tidak mudah. Ironisnya meski merasa sangat marah, kecewa, dan terkhianati tapi rasa cintanya pada lelaki itu tidak pernah berkurang. Perasaan sakit dan senang itu bisa berjalan beriringan di hatinya. Yang mana sakitnya memiliki seorang madu bukanlah main-main. Tidak bisa dijabarkan oleh lisan atau dituangkan pada tulisan, rasanya menonjok dada, mengusik ketenangan jiwa.
Tamma akan membagi waktu dua hari untuk keluarga barunya, tidak kurang dan tidak lebih, dan sisa hari yang lain lelaki itu masihlah seperti dulu. Masih menjadi milik Diyana, masih mencintai Diyana, masih memprioritaskan istri pertamanya lebih dari siapapun. Tapi tetap saja kondisi hati yang Diyana kehendaki tidak lagi utuh untuknya seorang. Dan itu satu-satunya masalah yang terus mengusiknya. Diyana belum sanggup berbagi. Diyana belum bisa menerima bahwa setiap apa yang menimpa hidupnya adalah takdir yang harus diimani. Diyana hanya manusia biasa, bukan selayak istri-istri nabi yang mudah legowo menjalani kehidupan poligami, yang mana di tengah-tengah keluarganya ada perempuan lain. Meski begitu, Diyana juga tidak pernah menentang adanya proses poligami yang memang diperbolehkan dalam agamanya.
Diyana sudah selesai mengenakan daster rumah setelah berendam kurang lebih lima belas menit. Ia duduk di depan cermin rias menyisir dan menguncir rambut panjangnya sedikit ke atas. Acara ulang tahun Shabira cukup menguras waktu dan energi. Diyana yang memang memiliki bisnis EO dan Bakery terjun langsung mengurus kebutuhan acara. Mulai dari pembuatan kue dan dekorasi.
Seperti biasa, sebelum tidur Diyana akan melakukan serangkaian ritual perawatan kulit dan wajah. Bertepatan dengan munculnya tubuh gagah yang memasuki kamarnya. Diyana segera beranjak dari kursi rias menuju ruang ganti untuk menyiapkan pakaian ganti. Meskipun hampir lima bulan hubungan keduanya dingin, tapi melayani kebutuhan lelaki itu tidak pernah Diyana tinggalkan.
Suasana tenang dan hening. Lelaki itu hanya menatapnya sekilas dan langsung memasuki kamar mandi setelah melepas jam tangan, dan meletakkan ponsel beserta dompetnya di meja nakas. Diyana buru-buru menyelesaikan kegiatannya yang sempat tertunda.
Belum sampai sepuluh menit merebahkan tubuhnya di tempat tidur, suara pintu kamar mandi terbuka. Diyana pura-pura tidur. Wangi sabun yang segar menyesaki penciuman disusul oleh goyangan pelan ranjang di sebelahnya. Lelaki itu menggeser tubuhnya hingga tidak ada jarak. Lengannya yang kukuh memeluk Diyana dari belakang.
"Sayang, cepet banget tidurnya?"
Suara itu lirih, tenang, dan menggoda. Salah satu dari sekian banyak kelebihan yang membuat Diyana jatuh hati pada seorang Hestamma. Selain fisiknya yang rupawan, pembawaannya kalem dan hangat. Ciri-ciri lelaki idaman yang penyabar dan penuh kasih sayang.
"Kata Bira, Mami capek banget habis ngedekor birthdaynya Bira. Mami sendiri yang bikin kue tartnya Bira. Benar begitu, Sayang?"
Diyana memilih diam. Matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat. Meski detak jantungnya berkejaran karena pelukan suaminya yang semakin erat.
"Mau Mas pijitin nggak? Bagian mana yang capek? Di sini, di sini ...."
"Mas!" Diyana berbalik dan menampik tangan suaminya yang mulai berkelana. Lelaki itu pura-pura kaget. Menyebalkan sekali!
"Sana kamu! Jangan dekat-dekat! Aku nggak mau!" bentak Diyana sewot.
"Biasanya kamu suka minta pijit kalau lagi capek."
"Nggak lagi!"
"Kenapa?"
Diyana membalikkan tubuhnya, membelakangi suaminya. Marah-marah dengan lelaki lempeng benar-benar menguji kesabaran, karena saat Diyana mengeluarkan kalimat ketus kesannya jadi seperti bocah yang merajuk pada orang tuanya karena tidak dibelikan es krim. Sementara suaminya tetap tenang dan tersenyum. Seperti tanpa dosa.
Berkali-kali Diyana sakit saat menyadari bahwa perlakuan manis lelaki ini tidak hanya untuk dirinya. Ada perempuan lain di luar sana yang juga memiliki hak yang sama. Kenyataan bahwa, cinta, hati dan tubuh suaminya bukan hanya miliknya seorang. Wanita mana yang kuat bila disandingkan dengan mantan kekasih yang masih berdiri kokoh di hati suaminya. Diyana jelas-jelas kalah.
Keringat dingin menghiasi pelipis. Dadanya berdetak menyakitkan. Tubuh Diyana bergetar menahan luapan emosi. Air matanya tumpah lagi. Pelukan dan gumaman tak mampu meredam gejolak jiwa yang nyaris patah arang.
"Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapas Tiga Cinta (TAMAT)
RomanceDiyana tahu lelaki yang dijodohkan oleh Ibunya sudah memiliki seorang kekasih. Meski begitu Diyana tidak pernah menolak. Karena setelah mereka menikah, tidak susah membuat Tamma jatuh cinta padanya. Sepuluh tahun rumah tangga yang dijalani sangat ba...