6. Meledak

5K 533 61
                                    

"Sudah aku kasih tahu ya, Din ... gimana pun alasannya, apapun alasan Tamma nikahin itu perempuan, kalau aku jadi kamu, aku nggak bakal kuat. Jangankan harus berbagi, suamiku muji-muji artis di tv aja rasanya aku udah pengin ngamuk-ngamuk kok. Apalagi kamu harus berbagi, bukan cuma tubuhnya, tapi juga hati dan perasaannya. Bisa-bisa aku langsung stroke. Ampun. Amit-amit."

Sofi, sahabat dekat Diyana dari sejak kuliah sekaligus partnernya di Disos Madak usaha EO miliknya. Memang bukan yang pertama kalinya perempuan ini mengomel saat mendapati Diyana dengan wajah pucat dan mata yang sembab.

"Kita hanya akan ngebahas sesuatu yang diulang-ulang saja, Din. Dan itu sangat membosankan. Tapi, kita kerja bareng. Tiap hari kita ketemu. Aku manusia yang punya hati dan perasaan, sebagai sahabatmu aku nggak bisa cuma diam saja."

Diyana mendesah. Kepalanya tertunduk sejenak sebelum kembali diangkat dan menatap perempuan di depannya lekat-lekat. "Dia hampir gila sebelum ketemu Tamma, Sof. Saat itu kondisinya benar-benar parah," ujarnya pelan.

"Terus apa gunanya tenaga medis kalau nggak bisa nyembuhin dia?" tantang Sofi tak ingin kalah. "Kenapa harus suami orang, hah?"

"Dia nggak pernah putus berobat. Dan tentang kenapa harus Tamma, aku udah pernah jelasin, aku nggak mau ngomongin itu lagi."

"Padahal itu yang jadi masalah utamanya." Perempuan yang juga menjadi salah satu owner dari usaha EOnya itu mengibas remeh. "Sesuatu yang nggak mau kamu omongin karena sebenarnya kamu nggak pernah sanggup ngejalani hubungan kayak gitu."

Diyana seperti baru saja dipukul telak.

"Dia cantik. Dia bisa dapat duda atau laki-laki single di luar sana."

"Cari laki-laki yang baik dan tulus itu juga butuh waktu, Sof. Saat itu dia butuh sandaran. Belum tentu juga ada laki-laki yang bisa nerima dia dalam kondisi hamil dan punya gangguan mental. Belum lagi harus berhadapan dengan orang di masa lalunya yang psikopat. Kamu tahu kan gimana ribetnya aku sama Bira sebelum mantan suaminya dipenjara, aku harus bolak-balik keluar kota buat ngungsi."

"Oke, kalau memang dulu masalahnya karena itu. Sekarang dia sudah sembuh kan? Meskipun belum seratus persen kondisinya sudah lebih baik kan? Dan mantan suaminya sudah dipenjara, nggak bakalan ganggu-ganggu dia lagi. Suruh Tamma ceraikan dia. Tamma udah punya istri dan anak yang wajib dijaga. Itu perempuan butuh laki-laki? Gampang, aku cariin. Aku punya banyak kenalan duda tajir nggak kurang-kurang baiknya."

Diyana menunduk sembari menggeleng lemah.

"Apa lagi sih?" sentak Sofi.

"Nggak bisa gitu, Sof. Seorang suami itu tanggung jawabnya sampai akhirat. Dan pernikahan itu sakral. Bukan seperti main game yang kalau nggak cocok lalu ganti game yang lain. Saat laki-laki sudah memutuskan sanggup menikah, dia mengambil tanggung jawab istrinya dari orang tuanya. Dia wajib mendidik, melindungi, bahkan saat sepasang suami istri itu mengalami cekcok, mereka disarankan untuk intropeksi supaya nggak sampai terjadi perceraian. Dan aku nggak mungkin minta Tamma ceraikan perempuan itu, Sof. Hubungan mereka baik-baik saja. Bisa-bisa aku yang bakal kualat."

"Itu kalau kamu sanggup!" bantah Sofi, sudah kehabisan sabar untuk berdebat. "Nyatanya kamu nggak sanggup dipoligami. Nyatanya kondisi membagi Tamma bikin kamu tiap hari nangis. Kamu nggak capek kayak gini terus? Tekanan batin tiap hari?"

"Untuk ikhlas butuh waktu, Sof. Dan aku ...."

"NGGAK USAH CERAMAH!" Sofi tidak lagi bisa menahan rasa kesalnya. "Gimana pun kamu ceramah, aku nggak bakal dengerin. Aku nggak pro sama poligami tai kucing! Bodo amat! Jadi kalau kamu nggak mau ikutin saranku, mending kita nggak usah bahas ini lagi."

"Ah, senangnya kalau punya klien yang terima oke begini. Dari kemarin dapetnya yang ribet mulu. Aku bisa tidur nyenyak akhirnya."

Hening sejenak. Perdebatan antara Diyana dan Sofi terhenti saat satu orang lagi pemilik Disos Madak datang. Perempuan itu membuka lemari es dan menuangkan air mineral dingin untuk minum.

"Din, aku baru saja ketemu Shabira masih pakai seragam lagi makan siang di restoran tempatku ketemu klien. Mau aku samperin nggak jadi pas aku lihat dia ternyata lagi sama emaknya yang baru. Kalian akur? Sejak kapan?"

Informasi yang dilontarkan Sindi berhasil membelenggu arah pikirannya. Lalu yang terbayang kemudian adalah sosok Shabira tengah menyambut keberadaan perempuan itu di sisinya. Bahkan Diyana masih mengingat saat Tamma berjanji tidak akan memasukkan perempuan itu di hidup Shabira tanpa seizinnya.

Diyana keluar dari ruang kantor membawa langkah gusar. Kedua matanya memanas, siap meluruhkan segala emosi yang selama ini tertahan. Perempuan lain hadir membelah hati Tamma menjadi tidak utuh lagi. Cukup. Cukup sudah ia membiarkan dunianya jungkir balik karena duri yang memaksa masuk.

Diyana mengurangi laju mobilnya saat ada kendaraan yang tidak asing keluar dari pelataran rumahnya. Dulu Tamma pernah sekali menggunakan mobil mini itu saat mengalami kendala ban bocor. Pegangan tangannya pada setir mengerat. Detak jantung Diyana naik berkali-kali lipat. Berani-beraninya perempuan itu menginjakkan kaki di kediamannya!

"Iya, Pi. Ini Bira sudah di rumah. Iya, baru saja sampai. Tante Ammara ajakin Bira makan siang dan mampir ke toko mainan. Katanya Tante Ammara belum sempat kasih Bira kado ulang tahun. Tante Ammara baik banget ya, Pi? Bira di rumah sama Mbak Sri. Mami belum pulang."

Senyum semringah putri kecilnya membuat tubuh Diyana langsung kaku. Bom waktu terasa begitu cepat menerjang. Begitu tega menyeret satu-satunya milik Diyana yang masih tertinggal.

"Bira lupa sama nasihat Mami?" Pelan Diyana melangkah ke arah sang buah hati yang tengah sibuk bermain dengan mainan baru. Bocah itu menatapnya polos belum sadar dengan ketegangan yang ditebarkan oleh Ibunya.

"Mami nggak pernah bosan-bosan ngasih tahu Bira. Jangan pernah sekali-kali berinteraksi sama orang asing! Tapi lihat, apa yang udah Bira lakuin! Bira lupa sama nasihat Mami!"

Teriakan nyaring Diyana sontak membuat bocah di depannya kaget. Shabira mundur dengan wajah pucat dan ketakutan. Boneka Elsa di genggaman mungilnya hampir terjatuh.

"Bira memang nggak sayang Mami!"

"Mam Mami ...." Suara bocah itu tercekat.

"Nggak ada gunanya dong Mami ngasih nasihat kalau Bira cuma bisanya ngelanggar! Sudah Mami kasih tahu, kalau Mami Papi telat jemput sekolah, Bira tunggu di dalam. Di ruang guru. Nanti Mami samperin ke dalam. Bira lupa? Bira memang nggak pernah nurut sama Mami!"

Segala jenis pesakitan terasa menghantam tubuhnya. Meledak. Dan Diyana seolah lupa diri. Tangis nyaring sang buah hati tidak lagi menjadi prioritas. Diyana hanya ingin memusnahkan barang yang perempuan itu tinggalkan di rumahnya.

Senapas Tiga Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang