8. Racun dalam Mahligai

5.3K 506 38
                                    

"KDRT lagi?"

"Lain. Ini ceweknya biduan."

"Yang habis enak ditinggalin?"

"Dia hamil. Katanya nggak tanggung jawab nggak masalah yang penting dikasih nafkah tiap bulan."

"Terus yang satunya kemarin?"

"Yang kemarin teman bobok doang."

"Gendeng!"

Sesampainya di kantor, Tamma langsung menambahkan daya pada ponselnya dan menghubungi Shabira. Ia lega akhirnya putri kecilnya itu sudah diantar oleh Ammara sampai rumah.

"Kabare musuhmu piye? Iku temenan ta dipindah mrene?" Tamma ikut nimbrung dengan dua kawannya yang tengah membahas oknum pejabat dari kota sebelah, lawan klien dari salah satu temannya tersebut. Tahun lalu, oknum pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya ini menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dan akhirnya ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat oleh KPK. Dan tiba-tiba sekarang sudah berada di lapas Sragen. Seolah belum cukup permasalahan yang menimpa si terpidana, satu demi satu para kaum hawa yang pernah bersinggungan dengannya mendatangi kantor tempat Tamma bekerja. Dari mulai istri sah, siri, hingga teman dekat dengan aduan yang beragam.

"Okeh duwite, Bro. Golek seng cedek tala. Koyo dirimu kakean duwit bojo ora cukup siji toh?"

"Jancuk, takoni tenanan."

Kedua kawan seprofesinya itu langsung tergelak saat Tamma melontarkan umpatan kasar.

"Dirabi lo karo dekne. Lak mending dijak seneng-seneng tok wae bar rampung. Ketimbang kesroh karo bojo, iso belaen."

"Menengo, Cuk!" Tamma memilih sibuk dengan ponselnya. Sedangkan kedua temannya masih terus menggodanya saling bersahutan.

"Diyana seng ayune koyo ngunu, iseh kurang trimo dekne."

"Golek maneh seng luwih ayu. Ck ck ck."

"Koen sek iso nyinyiri wali kota kakean wedokan."

"Ora popo. Ancen wong lanang jatahe papat."

"Seng penting adil, ngunu?"

"Kalau aku nggak munafik, Bro. Maksudku gini. Contohnya pernikahanku, udah berjalan 10 tahun. Rasa bosan itu kadang muncul. Apalagi kalau urusan tempat tidur. Bojo pancet, rasane yo pancet. Semangat kerja berkurang karena kebutuhan nggak tersalurkan dengan baik. Bagiku nggak masalah cari hiburan di luar yang penting istri tetap jadi satu-satunya."

Ternyata berdiam di kantor dengan kedua manusia ini bukan solusi baik.

"Bojo seng ayune koyo Diyana? Bah."

"Masio ayune koyo midodari teko langit. Ini soal rasa. Nek ora ganti, wes tala, pancet."

Mas, kamu cepatan pulang. Tadi aku papasan sama Diyana. Dia pasti hapal mobilku.

Pesan whatsApp yang baru saja dikirim oleh istri keduanya mengusir suara-suara di sekitar Tamma. Lelaki dengan penampilan resmi itu keluar kantornya dengan langkah gegas. Dan hanya membutuhkan waktu 15 menit perjalanan ia sampai di kediamannya di daerah Blimbing.

Pemandangan yang tidak pernah Tamma sangkakan akan terjadi tepat di depan matanya. Selama ini Diyana memang tegas dalam mendidik anak. Tidak jarang Tamma mendapati bentakan ringan yang istrinya itu lontarkan saat Shabira susah dinasehati. Tapi yang kini ia saksikan tidak seperti biasanya. Istrinya itu mengamuk. Dari mulutnya tidak berhenti mengeluarkan kalimat-kalimat marah pada sang putri kecil. Merampas sesuatu dari tangan Shabira dan mendorong bocah itu kasar saat akan menghalangi langkah ibunya yang menjauh. Jantung Tamma seperti akan meledak saat ini juga.

"Jangan, Mami! Itu mainan Bira! Jangan, Mami!" Teriakan dan tangisan Shabira memenuhi ruang keluarga yang luas.

Tamma segera merengkuh dan menggendong putri kecilnya itu. Seorang ART hanya berdiri kaku dengan wajah cemas, tidak punya nyali untuk mencegah keriuhan yang disebabkan oleh sang majikan.

"Cup cup, Sayang. Itu Mami cuma pinjam bentar. Nanti juga dibalikin. Jangan nangis, kan Bira udah gedhe."

Tangis Bira semakin kencang. Tamma memberi isyarat pada ART untuk mengikutinya. Lelaki itu membawa putri kecilnya duduk di gazebo yang berada di halaman depan. Setelah beberapa menit berlalu, Shabira sudah lebih tenang. Tamma kembali masuk rumah mencari keberadaan istrinya.

Lelaki itu berdiri di tengah-tengah pintu yang menghubungkan antara kamar dan balkon. Membiarkan perempuan dengan jarak beberapa meter darinya tengah membakar sesuatu barang. Aktivitas pekerjaan yang padat membuatnya terlalu enggan beradu urat. Tapi rasa kesalnya melihat sikap Diyana pada anaknya membuat Tamma tidak ingin tinggal diam.

"Kalau saja kamu bisa dihubungi, nggak akan aku nyuruh orang lain jemput Bira," ujar Tamma pelan. Ia bisa menangkap respon tak suka dari perempuan di depannya.

Diyana melangkah pelan ke arahnya. Melempar tatapan sinis. "Kamu bisa telepon kantorku. Bisa ngasih tahu Sofi atau Sindi. Kamu punya nomornya," balasnya ketus.

"Kantormu dihubungi sibuk terus, dan aku nggak kepikiran ngasih tahu teman-temanmu karena HPku lowbat."

"KARENA YANG ADA DALAM KEPALAMU CUMA PEREMPUAN ITU AJA!"

Tamma mengepalkan kedua tangannya. Amarahnya mulai merangkak naik. Beginilah kondisi hubungannya dengan perempuan yang menjadi ibu dari anak semata wayangnya, dalam kurun waktu tujuh bulan. Egonya sebagai seorang suami menentangnya untuk mengalah. Tapi apalah daya, kecintaannya pada seorang Diyana terlalu dalam.

Tamma mengikuti langkah istrinya yang memasuki kamar mereka. Dibuka satu-satu kancing jas yang masih melekat di tubuhnya, dilemparnya pelan di sandaran sofa. Lalu menekuk kemeja putihnya hingga siku. "Kamu bilang, bagianku jemput Bira sekolah. Oke, aku sanggupin. Sementara kamu paham sendiri seberapa sibuknya aku ...."

"Jadi sekarang kamu ngeluhin soal itu?!" Diyana berbalik dan mereka saling bertatapan tajam.

"Dengerin dulu! Aku belum selesai ngomong!" Kini nada suara Tamma ikut meninggi. "Kalau kamu mau baca pesanku, kamu nggak harus marah-marah sama Bira. Bira itu nggak ngerti apa-apa, Din. Percuma kamu marah-marah sama dia."

"Tapi kamu udah janji sama aku, Mas. Kalau kamu nggak akan nemuin Bira sama perempuan itu. Cukup kamu aja, Mas, jangan anakku."

Rasa-rasanya kepala Tamma sudah mau meledak. "Jadi kamu milih Shabira nunggu berjam-jam di sekolahnya? Nggak kasian kamu sama anakmu?"

Diyana tidak menjawab. Perempuan itu masuk ke dalam ruangan ganti dan menutup pintunya kasar. Bagi Tamma, sikap Diyana kali ini sangat kekanakan sehingga ia memilih tidak ambil pusing. Lebih baik ia menghabiskan waktunya bersama Shabira.

Senapas Tiga Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang