Pukul setengah empat sore Tamma baru saja keluar dari firma hukum tempatnya bekerja, yang kurang lebih sepuluh tahun ini ia berkarir sebagai pengacara setelah mengantongi ijazah Sarjana Hukum. Pajero hitamnya dilajukan ke arah Dinoyo untuk bertandang ke Perumahan Tidar. Beberapa jam lalu Ammara memberinya kabar jika bayinya yang baru berusia tiga bulan demam dan rewel. Sebagai Ibu baru dan belum begitu berpengalaman tentu saja membuat perempuan itu sedikit kewalahan.
"Masih rewel?" tanya Tamma sudah berada di tempat tujuan.
"Stttt ... dia baru aja tidur." Tahan Perempuan itu dengan sebelah tangan agar tidak mendekat karena bayinya baru saja terlelap. Setelah menutupi tubuh mungilnya dengan selimut, Ammara berbalik dan menggiring suaminya keluar kamar. Tamma melirik sekilas ke arah sang bayi sebelum mengikuti istrinya.
"Sori, sudah bikin panik," bisik Ammara. Lengannya yang ramping melingkari pinggang Tamma.
"Aku nggak panik," balas Tamma sambil senyum. "Masih nggak pengin cari pengasuh?"
Ammara menggeleng. Suaminya selalu menyarankan baby sitter untuk membantunya merawat Ansel, tapi Ammara tidak pernah setuju. Beginilah hasilnya, ia menjadi kerepotan sendiri.
"Apa sih, Ra yang bikin kamu anti baby sitter? Nggak semua baby sitter itu seperti yang kamu tonton. Kamu masih bisa mengawasinya langsung. Baby sitter bisa gantiin kamu gendong Ansel pas lagi begadang. Bebanmu bisa sedikit berkurang. Ayo lah!"
Ammara diam, tetap tidak setuju. Sementara Tamma sudah habis sabar dengan sifat istrinya yang keras kepala.
"Ya sudah lah, terserah kamu saja! Toh kamu sendiri yang bakal capek kan?"
Ammara tersenyum. Jemarinya yang lentik mengusap dada bidang suaminya. "Jangan marah-marah, Papi. Papi kalau marah serem banget. Laper nggak? Makan di sini ya? Aku siapin sekarang."
"Lain kali saja. Aku buru-buru. Hari ini Shabira ulang tahun. Acaranya habis magrib."
"Ya Allah!" Ammara menepuk jidatnya. "Kok kamu nggak ngasih tahu sih, Yang! Tahu gitu kan aku bisa nitip kado. Hih, kesel."
Tamma mengusap-usap puncak kepala istrinya gemas. Belasan tahun berlalu tidak ada yang berubah dari seorang Ammara yang Tamma kenal. Selalu menjadi perempuan yang polos dan apa adanya.
Keduanya saling pandang. Tatapan Ammara berubah sendu saat menyadari posisi dirinya yang serba salah.
"Hubunganmu sama Diyana ... dia ... masih nggak mau ngomong sama kamu?" hati-hati Ammara mengutarakan rasa penasarannya. Meskipun tanpa jawaban ia sudah bisa menebak dari perubahan paras tersebut.
"Tadi telepon ngomongin soal acaranya Bira. Habis itu sudah. Dia nggak akan ngomong lagi sama aku kalau bukan tentang Bira." Tamma menunduk. Dadanya mendadak sesak saat mengingat perempuan yang menjadi istri pertamanya. "Apa yang harus aku lakukan, Ra?"
Halo, saya nulis cerita baru tentang poligami. The real polygamy. SENSITIF. Jangan maksain baca dan ngomel-ngomel di komentar bilang sudah terlanjur. Saya sudah kasih warning di awal bab. Dan, ini cuma fiksi, seru-seruan. Nggak usah dibawa serius. Oke, Guys. Enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapas Tiga Cinta (TAMAT)
Roman d'amourDiyana tahu lelaki yang dijodohkan oleh Ibunya sudah memiliki seorang kekasih. Meski begitu Diyana tidak pernah menolak. Karena setelah mereka menikah, tidak susah membuat Tamma jatuh cinta padanya. Sepuluh tahun rumah tangga yang dijalani sangat ba...