"Mbak Diyana kurusan loh! Dari yang terakhir kita ketemu, dua bulan yang lalu sekarang sampean kelihatan lebih kurus."
"Nggak usah mancing-mancing! Kita ketemu buat kerjaan ya, bukan curhat urusan pribadi."
"Hahahaha! Tapi Mbak Diyana tetap masih cantik sih. Duh yang cantik begini aja dimadu, gimana aku? Ish, jadi parno mau nikah."
"Diam! Kamu mau pesan menu apa?" Diyana mendorong buku menu pada Kinanti. Gadis itu menyengir kecil sebelum menulis menu pesanan dan menyerahkannya pada pelayan resto.
"Kalau aku jadi sampean nggak kuat aku, Mbak! Meskipun suamiku gantengnya kayak nabi Yusuf dan tajirnya kayak nabi Sulaiman. Tak kuat aku bila harus dimadu. Hahahaha."
Kinanti memang sialan!
"Senangnya dalam hati, kalau beristri dua. Hahahaha. Senangnya jadi Mas Tamma, punya istri dua semua cantik-cantik banget. Eh tapi dia bisa adil nggak? Kalau nggak bisa, dosa besar loh! Kata pak ustaz nanti di akhirat jalannya miring."
Diyana mendengus. "Ini urusan kita dilanjutin nggak?"
"Hahahaha iya, iya ... lanjut dong."
Mereka kembali ke pokok bahasan utama yang membuat keduanya bertemu. Selain pernah menjadi adik kelas Diyana di SMA, dulunya mereka pernah bertetangga, rumah orang tua mereka bersebelahan. Itulah yang membuat mereka begitu dekat sebelum keduanya harus terpisah karena Diyana ikut suaminya ke kota. Meski begitu keduanya tetap menjalin komunikasi hingga sekarang. Semua yang terjadi dalam rumah tangga Diyana sudah bukan rahasia lagi bagi Kinanti. Dan gadis ini bermaksud menggunakan jasa EOnya untuk pernikahannya yang akan digelar bulan depan.
"Tetap pilih Indoor? Nggak mau coba Outdoor? Yang lagi hits banget sekarang."
"Sejauh ini tetap pengin Indoor sih, Mbak."
Diyana mengangguk. "Ajak calonmu di pertemuan selanjutnya. Jangan mau sendirian."
"Iya, iya. Kalau bukan karena dia sibuk dan terlanjur janjian sama Mbak Diyana, mana mau aku berangkat sendiri!"
Diyana kembali membuka dokumen di iPadnya. "Jadinya mau pakai adat apa? Lokal, nasional atau internasional?"
"Nah itu, Mbak. Masalahnya aku sama calon suami belum ngambil keputusan. Nanti deh aku kabarin via WA ya."
"Haduh, kamu ini. Apa gunanya ketemu kalau ujung-ujungnya via WA lagi."
Diyana menekuk case dan menyandarkan iPadnya. Lalu ia memposisikan benda tersebut hingga layarnya bisa tampil di antara mereka. Diyana mulai menjelaskan beberapa tema dasar yang bisa jadi pertimbangan untuk Kinanti. Sampai satu jam lamanya pertemuan mereka usai dan ditutup dengan makan siang.
"Aku balik duluan ya? Mbak Diyana masih mau di sini?"
"Iya. Ini aku kelarin ngetik tinggal sedikit lagi. Kamu hati-hati di jalan."
"Oke. Aku duluan. Assalamu'alaikum."
Baru beberapa detik berlalu Kinanti kembali ke hadapannya dengan napas ngos-ngosan. Diyana menatap heran.
"Mbak, coba lihat itu! Itu Mas Tamma bukan? Yang pakai jas abu-abu?"
Diyana mengikuti arah telunjuk Kinanti, dan seketika jantungnya mau copot. Suatu momen yang mati-matian dihindarinya akhirnya terjadi juga. Tamma menggiring seorang perempuan yang sedang menggendong bayi memasuki restoran. Lengan Tamma menyongsong pinggang si perempuan, persis seperti saat lelaki itu memperlakukan Diyana selama ini. Lelaki itu tidak pernah segan bersikap manis pada pasangannya di depan umum.
Diyana mencoba mengendalikan diri. Ia tidak mau terlihat menyedihkan di hadapan Kinanti. "Kamu buruan balik sana!" titahnya tegas.
"Mbak Diyana nggak apa-apa?" Kinanti menatapnya dalam, khawatir.
Diyana paling benci dikasihani. "Sudah sana!" usirnya lagi.
Tapi gadis di depannya ini malah sibuk melempar tatapan bergantian antara dirinya dengan sosok pasangan yang mengambil posisi meja di pojok ruangan. Dilakukan secara berulang-ulang sampai Diyana merasa sangat risi. Diyana mendengus kasar.
"Mbak Diyana beneran nggak apa-apa? Beneran kuat, Mbak?"
"Kalau kamu nggak buruan pergi, ini makan siang kita, kamu aja yang bayar!"
"Oh, oke-oke, Mbak. Aku balik duluan. Mbak Diyana jaga diri baik-baik ya."
Diyana kembali mengarahkan pandangannya ke sosok yang berhasil menyerap seluruh tenaganya hingga oksigen di sekitasnya terasa menipis. Ia lekas membuang pandangan saat salah satu dari mereka menyadari keberadaannya. Jantungnya semakin berdetak cepat. Pikirannya berperang, Tamma tidak mungkin mau repot-repot mendatanginya saat di sisi lelaki itu sudah ada seseorang yang istimewa. Karena jauh sebelum ia hidup bersama suaminya, perempuan itu sudah lebih dulu mengisi hari-hari Tamma selama bertahun-tahun.
"Sayang, kamu di sini?" Akhirnya, Diyana merasakan pundaknya disentuh. Dan wangi parfum maskulin yang sangat ia sukai melingkupinya. Diyana memilih tidak menjawab basa basi yang dilontarkan suaminya. Sudah tahu dia di sini, kenapa masih nanya!
"Kamu sendiri aja? Gabung di sana yuk, Sayang?"
Apa katanya? Kali ini Diyana mendongak. Menatap suaminya yang menyebalkan tapi sangat tampan dengan pakaian resmi. "Nggak usah," tolaknya mencoba tenang.
"Kalau gitu, boleh ya aku ajak mereka ke sini?"
"NGGAK!" Diyana melotot. Berani-beraninya Tamma!
Mungkin suara Diyana kali ini terlalu nyaring sehingga menarik perhatian seisi restoran. Lelaki di sampingnya juga tampak kaget oleh respon tersebut. Diyana menunduk sembari membuang napas pelan. Lagi-lagi mencoba mengendalikan diri untuk tetap tenang dan sabar.
"Aku udah selesai kok, Mas. Tadi ketemu klien terus sekarang orangnya sudah balik duluan. Sekarang aku mau balik ke kantor," lapornya kalem menahan getaran.
"Mas anterin?"
"Nggak perlu. Aku bawa mobil sendiri."
Tamma mundur saat istrinya beranjak dari kursi dan membereskan iPad ke dalam tas. Diyana sempat melirik ke arah perempuan di seberang sana yang tengah menggendong bayinya sebelum berjalan menuju pintu keluar restoran dengan ditemani Tamma di sampingnya.
"Sayang!" panggil Tamma sambil menahan lengan istrinya yang hendak membuka pintu mobil. Mau tidak mau tatapan keduanya kembali bersinggungan.
"Kalau nyetir hati-hati. Jangan ngebut. Bira sering cerita kalau Maminya suka ngebut. Jangan ya, Sayang?"
Diyana tidak sempat menghindar saat lelaki itu mendaratkan kecupan di pipinya.
"I love you."
Perempuan yang mengenakan hijab voal polos dengan blouse marun dipadukan rok span hitam itu segera menempatkan dirinya di balik kemudi. Diyana tidak habis pikir, Tamma baru saja mengungkapkan perasaannya tapi nyatanya lelaki itu mampu mendua. Setelah mobil Diyana keluar dari pelataran restoran, barulah air matanya tumpah tak terbendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapas Tiga Cinta (TAMAT)
RomanceDiyana tahu lelaki yang dijodohkan oleh Ibunya sudah memiliki seorang kekasih. Meski begitu Diyana tidak pernah menolak. Karena setelah mereka menikah, tidak susah membuat Tamma jatuh cinta padanya. Sepuluh tahun rumah tangga yang dijalani sangat ba...