"Kamu sekarang lagi di mana sih, Mas? Kok rame banget, banyak anggrek."
"Ini di belakang rumah, Sayang."
"Siapa yang bikin taman kayak gitu?"
"Ya ini, Bundanya Ansel."
Diyana cukup tertegun mendapat informasi tersebut. Sudah menjadi kebiasaan, saat lelaki itu menghabiskan waktunya di rumah istrinya yang lain, Tamma dan Diyana akan bertukar kabar melalui telepon. Dan ini untuk yang pertama kalinya mereka melakukan video call. Diyana langsung merasa asing dengan background yang terpajang di layar ponselnya. Karena sejak pindah lima tahun yang lalu, rumah yang menjadi tempat tinggal pertamanya dengan Tamma itu tidak seperti yang ia saksikan sekarang. Sebenarnya, Diyana sudah merasakan ada yang beda saat tadi suaminya berpindah dari ruang keluarga ke dapur dan berakhir di tempat yang katanya belakang rumah.
Belakang rumah ada taman? Diyana berusaha untuk tidak mengubah ekspresinya karena ia langsung dilanda penasaran berat. Ia tidak ingin menampik, meski hanya sekilas pandang, interior dan hiasannya tampak menarik. Kira-kira, bagian rumah mana lagi yang sudah dirubah oleh perempuan itu?
"Halo, Mami ... kok ngelamun? Sayang?"
"Oh, hai. Maaf, maaf."
Tamma menuntun tangan mungil Ansel yang melambai-lambai di layar. Bocah itu semakin heboh kala Diyana merespon dengan senyuman manis dan celotehan menggoda.
"Apa? Mau gendong Mami?" godanya pada si bayi. "Dia nggak minum formula, Mas?"
"Nggak. Tapi dia punya stok ASIP di kulkas. Kalau lagi sama aku minumnya pakai botol, Sayang. Ini botolnya." Tamma mengangkat botol berisi ASIP yang sudah hampir habis ke depan layar ponsel."
"Oh, gampang kalau gitu. Ajak ke sini!"
"Hah? Sekarang?"
"Ya nggak sekarang. Aku lagi sibuk di toko. Kapan-kapan aja ke rumah."
Tamma tertawa. "Oke, oke."
"Aku tutup ya? Lagi repot banget. Empat pesenan acara jamnya hampir barengan."
Tamma mengangguk.
"Bye, Ansel. See you ...."
"Klapertart sama teh hangat, Mbak! Aku tunggu di dalam sama Bosmu."
Diyana mendengar suara seseorang yang baru saja memesan menu. Pintu ruangannya menyusul terbuka.
"Sin!" panggilnya.
Perempuan berpenampilan rapi itu langsung merebahkan diri di sofa. "Tebak deh aku baru aja meeting sama siapa? Kalau bukan ini orang, aku nggak bakalan mau meeting di akhir pekan begini."
Diyana ikut bergabung di sebelah Sindi. Ia masih diam belum menanggapi. "Siapa memangnya?" tanyanya kemudian.
"Tebak aja!" titah Sindi. Perempuan itu melengos sambil menikmati menu pesanannya. "Gimana sih cara bikinnya ini? Enak banget."
"Kamu ketemu siapa?" Diyana sedang tidak ingin membuang waktunya dengan bermain tebak-tebakan.
"Ben."
Diyana melotot.
"Awalnya aku sama asistennya sih. Yang ngurusin persiapan ultah anaknya. Aku nggak tahu kalau anaknya Ben."
"Dia di Malang?"
"Baru sampai minggu lalu. Katanya akan terus di sini. Sekolah anaknya juga sudah pindah ke sini. Tapi ada kabar sedih ...."
Diyana mengerutkan kening. "Apa?"
"Istrinya meninggal pas ngelahirin anaknya. Pendarahan."
"Oh, ya ampun! Kapan itu? Anaknya umur berapa?" Tentu saja kabar barusan membuat Diyana syok.
"Lima tahun. Minggu depan ini dia ulang tahun."
"Begitulah ya, maut, nggak ada yang tahu. Masih muda, produktif, yang seharusnya perjalanannya masih panjang, tapi kalau Allah udah berkehendak, kita bisa apa?"
"Tadi dia juga nanyain kamu loh!"
Diyana menyimak.
"Nanyain kabarmu. Ya, aku jawab aja kabarmu baik. Usahanya tambah banyak. Tambah kaya. Sekarang sudah hijrah, pakai jilbab."
Kali ini Diyana tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya.
"Terus dia minta nomor WAmu, yaudah kukasih aja."
"Hih! Kenapa dikasih?!" Reflek Diyana melempar bantalan sofa ke arah perempuan menyebalkan itu.
"Nggak usah GR. Dia kan orang penting. Siapa tahu mau pesen kue buat acara, atau jasa EO. Ya kan? Terus dia juga tanya, apa suamimu tetap Hestamma? Kujawab, ya iyalah siapa lagi?!"
"Pertanyaan aneh!" rutuk Diyana. Apa yang dipikirkan laki-laki itu, memangnya dia tampak seperti perempuan yang suka gonta-ganti pasangan?
"Soalnya dia pernah lihat Tamma di rumah sakit. Pas lagi ngejenguk koleganya. Dia bilang, Tamma sama mantannya yang pramugari."
"Ya kenapa kamu nggak bilang kalau itu juga istrinya Tamma?!" Suara Diyana sedikit naik.
"Idih, ogah deh! Ujung-ujungnya nanti jadi panjang. Si Ben nggak cukup tanya sampai situ aja. Aku lagi meeting kerjaan, Din ... bukan konsultasi rumah tangga orang. Najis!"
"Janc ...."
"Heh, heh ... udah hijrah loh. Nggak boleh ngomong kasar." Sindi mengangkat sebelah tangannya.
Diyana menghembuskan napas cepat dan menyandarkan punggungnya pelan. "Banyak yang ngira Tamma itu selingkuh tahu nggak?! Padahal mereka nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka itu pada sok tahu!"
"Deritamu! Salah sendiri mau digituin."
"Sin, please ...."
"Jujur, Din ... dulu, aku seneng banget sama Tamma. Kagumlah. Dia sama Tuhan dikasih paras diatas rata-rata. Dikampus dia terkenal, berprestasi, ketua bem. Waktu tahu ternyata dia udah punya pacar, aku tetap seneng sama dia. Tetap ngefans lah. Rasa kagum adik tingkat ke senior. Biasa kan? Terus saat dapat kabar dia nikah sama sahabatku, tambah seneng lagi lah aku sama dia. Serius, Din ... aku tuh seneng banget sama dia. Nyatanya dia emang suami yang baik buatmu selama sepuluh tahun ini. Kalian rukun. Bahagia. Tambah makmur hidupnya. Ya kan? Tapi, Din ... rasa senengku sama Tamma saiki wes ilang, mboh parane nangdi. Kecewa aku sama dia!"
"Kalau udah habis mending pulang deh!" Diyana berdiri, memilih berhenti. Tahu jika perdebatan soal rumah tangganya tidak akan pernah ada habisnya.
"Aku mau bungkus cheese cake buat Salsa." Sindi menyebutkan nama anak gadisnya.
Setelah mengantarkan si tamu ke teras depan, Diyana kembali masuk dan bergabung dengan para karyawannya yang sibuk menghandel pesanan. Dengan begini, siapa tahu bisa mengubah suasana hatinya menjadi lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapas Tiga Cinta (TAMAT)
RomanceDiyana tahu lelaki yang dijodohkan oleh Ibunya sudah memiliki seorang kekasih. Meski begitu Diyana tidak pernah menolak. Karena setelah mereka menikah, tidak susah membuat Tamma jatuh cinta padanya. Sepuluh tahun rumah tangga yang dijalani sangat ba...