10. Tidak Semua Pahit

4.1K 407 37
                                    

"Masih sering mual?"

"Sudah tidak."

"Insomnia?"

"Sudah berkurang. Karena mungkin anak saya masih bayi dan sering bergadang, jadi kalau terlalu lelah saya tidak langsung bisa tidur pas anak saya sudah terlelap."

Perempuan yang berprofesi sebagai psikolog klinis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tatapannya terus berfokus pada si pasien sembari menggerakkan pena di atas buku konsultasi. "Itu wajar dialami semua Ibu baru," balasnya menanggapi jawaban Ammara. "Masih suka cemas berlebih? Kepikiran?"

"Sudah sangat jarang sekali."

"Masih sering ketakutan tanpa sebab?"

"Sudah lama tidak."

Perempuan itu lagi-lagi mengangguk dan tersenyum. "Bagus sekali. Kondisi kamu sudah jauh lebih baik, Ammara."

"Alhamdulillah."

"Patut disyukuri sekali, Ammara. Kamu sekarang memiliki pendamping yang selalu ada buatmu. Yang bertanggung jawab. Dan yang terpenting nggak akan pernah menyakitimu. Susah mencari pria baik yang bisa menerima kondisimu. Sudah nggak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan. Kamu dikelilingi orang-orang baik yang akan melindungimu dari bahaya apapun diluar sana."

Ammara mengaminkan semua perkataan perempuan di depannya ini. Benar katanya, Tamma memang malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menuntunnya berjalan sampai pada titik sekarang. Tanpa adanya lelaki itu, Ammara tidak yakin bisa bertahan hidup di dunia yang keras ini.

"Kamu memiliki bayi yang lucu. Itu bisa kamu jadikan hiburan loh!"

Perempuan itu menunjuk Ansel yang tengah terlelap di stroller. Ammara sengaja membawa bayinya kemari karena pengasuh yang mengurus Ansel terpaksa ia berhentikan. Ibu satu anak ini syok saat mendapati etika buruk si pengasuh yang sudah ia pekerjakan hampir 6 bulan. Mpasi yang sudah Ammara siapkan tidak pernah masuk di perut Ansel karena ulah si pengasuh yang tidak sabaran dalam menyuapi bayi. Alhasil bobot timbangan Ansel jauh dibawah normal.

Kondisi tersebut sangat menyakiti Ammara. Membuat Ammara semakin enggan memasukkan orang baru ke dalam rumahnya. Tapi ia tidak bisa mengeluhkan semua yang terjadi pada Tamma. Ia tidak ingin lagi menambah beban lelaki itu. Sosok ayah dan kasih sayang yang selalu Tamma berikan untuk Ansel baginya sudah cukup. Tidak perlu lagi hal remeh tentang pengasuh ia keluhkan, Ammara akan menanggungnya sendiri.

Urusan konsultasi selesai. Ammara melirik bayi di sampingnya yang masih terlelap. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Rencananya sebelum pulang ia akan mampir ke kios anggrek. Sudah dari remaja Ammara menjadi pencinta anggrek. Dulu saat masih tinggal di jakarta, ia memiliki taman anggrek yang ia buat ala-ala di apartemennya. Hobinya mengutak-atik anggrek sempat terhenti selama beberapa tahun, tepatnya ketika ia menjalani rumah tangga dengan mantan suaminya. Lelaki itu tidak pernah memberi ruang untuk Ammara bisa menyalurkan hobinya. Memenjara Ammara dalam kehidupan rumah tangga yang menyakitkan. Ammara yang seorang pensiunan pramugari, perempuan yang dikenal lincah dan berprestasi harus tunduk dibawah kungkungan lelaki tak bermoral. Menghacurkan diri Ammara hingga titik nadir.

"Tumben sepi, Mbak?"

Si pemilik kios itu langsung menyambut kedatangannya. "Mbak Ammara, eh si kecil diajak. Iya, ini baru saja buka."

Ammara menyerahkan satu kantong berisi bibit anggrek yang sudah ia tanam di dalam botol.

"Wah, terimakasih," sambut perempuan itu setelah memeriksa dua jenis anggrek tersebut. "Ini yang Bulan sama Dendrobium, Mbak?"

"Iya. Warna putih sama merah."

"Wah, jadi kepengin lihat-lihat koleksinya di rumah."

Ammara mendorong stroller memasuki kios. Untuk beberapa menit disibukkan dengan memilih beberapa tanaman Aglonema yang beberapa bulan ini lagi naik daun. Tanpa terasa waktu sudah semakin sore. Ammara bergegas menuju kasir dan membayar beberapa tanaman yang ia pilih. Ia harus segera pulang karena hari ini dan besok adalah jadwal Tamma bersamanya.

Rumah sepi, tanda jika ART paruh waktu sudah pulang. Berdasarkan informasi dari Tamma, rumah yang sekarang ia tinggali ini dulu dibeli saat lelaki itu baru saja melepas masa lajang. Lima tahun keduanya tinggal di sini sampai pada tahun ke enam pindah ke komplek perumahan yang lebih luas dan elit. Diyana sendiri yang menawarkan rumah ini untuk ia tempati, meski itu melalui perantara suaminya.

Bagi Ammara, rumah ini sangat pas untuk ukuran keluarga kecil. Apartemennya dulu di jakarta juga tidak terlalu besar. Karena urusan domestik Ammara lebih suka mengurusnya sendiri. Ia sangat perfeksionis dalam menentukan tata letak perabot. Ammara adalah perempuan yang sangat rapi. Tidak akan membiarkan rumahnya berantakan barang sedikit pun. Bahkan ia bisa bekerja dua kali lipat lebih giat daripada asisten rumah tangganya.

Ansel sudah terbangun saat perjalanan pulang tadi. Bocah itu tidak menangis, hanya haus dan Ammara sudah menyiapkan ASIP di dalam botol.

Mandi sore Ansel sedikit telat, biasanya jam segini Tamma sudah datang dan lelaki itu akan menawarkan diri untuk memandikan putranya. Tapi hingga magrib dan sekarang sudah lewat dari waktu isya, lelaki itu belum juga mengabari. Mungkinkah Tamma absen kali ini?

Seperti biasa, Ammara menggelar tikar bulu di depan televisi yang menyala. Menemani bayinya yang mulai belajar berdiri bermain mobil-mobilan. Kembali ia melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 9 malam bertepatan dengan suara deru mobil memasuki garasinya. Seketika rasa cemas itu hilang, tergantikan dengan perasaan hangat yang menjalari hati.

"Aku pikir nggak ke sini, Mas!" ujar Ammara seraya mencium punggung tangan suaminya.

Tamma tersenyum. Mengusapkan sebelah tangannya yang bebas pada rambut Ammara. "Ke sini kok. Tadi masih ada urusan. Ansel udah tidur?"

"Belum lah. Masih jam segini."

Sejak lahir Ansel tidak pernah terlelap di bawah jam sembilan malam. Memang waktu tidurnya di siang hari lebih banyak. Itu pula yang membuat jadwal gilir Tamma di rumah ini jatuh di hari Jumat dan Sabtu. Karena Ammara tidak sampai hati membiarkan suaminya bergadang mengurus Ansel, saat besoknya harus bekerja.

Mereka lantas beriringan masuk ke dalam. Begitu melihat kedatangan Ayahnya, Ansel langsung berteriak-teriak girang dan merangkak mendekat. Tamma menyongsong tubuh kecil itu, menghujaninya dengan ciuman gemas yang dibalas kikikan geli oleh sang bayi.

"Anak Papi kok belum tidur sih? Hah? Gimana ini kok belum tidur? Ini udah malam, Dek. Kasian Bundamu udah kecapekan banget. Ayo tidur! Sini, Papi gendong! Tidur ya."

Pemandangan yang selalu bisa membuat Ammara berbunga-bunga. Senyumnya mengembang sempurna oleh celotehan dua makhluk di depannya ini.

"Mas, aku tinggal bersih-bersih dulu ya? Aku belum sempat mandi sama salat."

Tamma menoleh dan mengangguk, lalu kembali fokus dengan bayinya.

Senapas Tiga Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang